Cabut Laporan KDRT, Polisi Tetap Pantau Kondisi Lesti
Korban KDRT seperti Lesti harus lebih dikuatkan meski memilih berdamai dengan pasangannya. Korban KDRT rentan terjebak di siklus kekerasan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan laporan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT oleh artis, Lesti Kejora, tidak membuat polisi berhenti memantau kondisi psikologisnya. Penguatan seperti itu tetap dibutuhkan karena Lesti rentan masuk dalam siklus KDRT.
Kepala Seksi Humas Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi saat dihubungi, Sabtu (15/10/2022), mengatakan, polisi dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) tetap memantau kondisi psikologis artis 23 tahun bernama asli Lestiana tersebut.
Pendampingan dan pemantauan itu tetap diberikan meskipun Kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan menangguhkan penahanan Rizky Billar, suami Lesti yang sebelumnya ditetapkan tersangka dugaan KDRT pada Rabu (12/10/2022). Penangguhan atau penundaan diberikan setelah Lesti mencabut laporan yang ia buat pada 28 September 2022.
”Kemarin ada di PPA dan juga dari kita tetap pantau. Selama 3 bulan biasanya. Lewat telepon kita tanyakan masih ada KDRT atau tidak,” kata Nurma.
Baca juga: Rizky Billar Jadi Tersangka dan Harus Ditahan Lebih dari itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta Siti Mazuma menilai korban KDRT seperti Lesti harus lebih dikuatkan meski memilih berdamai dengan pasangannya. Orang terdekat, seperti keluarga dan teman, harus bisa memberi penguatan dan perlindungan terhadap Lesti.
”Yang perlu diakukan adalah kasih penguatan, dapat support dari orang-orang terdekat agar dia tidak jadi korban berulang. Manipulasi dari pelaku sering terjadi, kalau tidak niat dan serius, sebagian besar lebih dari 80 persen KDRT bisa terjadi lagi,” ujarnya saat dihubungi hari ini.
Jumat lalu, Lesti menuturkan, anak menjadi alasan di balik pencabutan laporan kasus KDRT tersebut. ”Alasannya, anak saya karena mau bagaimanapun suami saya, bapak dari anak saya,” kata Lesti di Polres Metro Jakarta Selatan, seperti dikutip dari Kompas.com.
Menurut Siti, alasan Lesti membuatnya berada di lingkaran yang sama dengan perempuan korban KDRT pada umumnya. Lingkaran KDRT itu bergerak dari adanya kekerasan, lalu ada permohonan maaf, upaya perbaikan, masa bulan madu, hingga kembali ke tahap kekerasan.
Lingkaran tersebut membuat banyak kasus KDRT tidak mendapat penanganan hukum yang serius kendati sudah ada perundangan khusus yang melindungi korban, yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Catatan Tahunan LBH Apik Jakarta Tahun 2021 juga memotret kecenderungan tersebut. Dari 374 pengaduan KDRT yang diterima LBH Apik Jakarta, sebanyak 132 kasus berakhir dengan somasi dan 127 kasus dimediasi. Sementara itu, hanya 6 kasus dilaporkan ke polisi dan 4 kasus yang naik ke tahap pengadilan.
Selain faktor korban, Siti juga menilai aparat penegak hukum belum seluruhnya memiliki perspektif atau pemahaman hukum yang sesuai. ”Jarang sekali kasus KDRT yang bisa diterima polisi terus visum. Polisi cenderung pakai jalur damai, KDRT dianggap kekerasan ringan,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Siti Aminah Tardi, yang dihubungi terpisah, mengakui, berbagai situasi tersebut menjadi hambatan dalam penerapan UU PKDRT. ”Ini menunjukkan bagaimana sulitnya korban mendapatkan keadilan, bahkan di pintu awal sistem peradilan pidana,” ujarnya.
Ia juga berharap Lesti bisa memutus siklus KDRT untuk menghindari kekerasan berulang. Caranya, mengakui bahwa relasi dengan pasangan yang pernah menjadi pelaku tidak sehat, lalu meminta bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor perkawinan.