Saya duga banyak dari kita yang mengikuti berita (dugaan) kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Lesti Kejora. Banyak yang tidak habis pikir mengapa hal sedemikian itu sampai dapat terjadi.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Banyak dari kita mengikuti berita kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora. Banyak yang bertanya, mengapa orang tega melakukan KDRT pada pasangannya sendiri, apalagi apabila kekerasan yang dilakukan parah dan membahayakan. Media dipenuhi berita tersebut, dan masyarakat—entah artis atau orang biasa—terus membahas hal yang terjadi.
Sebagian berbagi bahwa yang dialami Lesti sama seperti pengalamannya pada masa lalu. Mereka bercerita bahwa umumnya insiden kekerasan akan terus berulang. Meski demikian, menyedihkan bahwa cukup banyak korban memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan berkekerasan itu.
Berputar
Adalah Lenore Walker (1979) yang mencermati dan pertama kali mengungkapkan, mengenai siklus yang umum tampil dalam hubungan berkekerasan. Konteks hubungan yang dimaksud sering konteks perkawinan atau hubungan pacaran. Dapat juga terjadi dalam relasi orangtua dan anak, hubungan atasan dan bawahan, atau relasi persahabatan. Intinya, kekerasan terjadi bukan antara orang yang saling tidak mengenal. Korban dan pelaku telah saling mengenal, dan ada dimensi khusus yang bersifat emosional dalam relasi mereka.
Yang ditemukan Walker tersebut ternyata memang banyak ditemui oleh para pendamping korban ataupun para peneliti isu kekerasan. Siklus yang umum berputar pada hubungan berkekerasan terdiri dari beberapa fase, yakni (a) fase tenang, (b) fase ketegangan, (c) fase ledakan kekerasan, dan (d) fase rekonsiliasi.
Bayangkan kita jatuh cinta kepada seseorang, entah karena tampilannya yang rupawan, sikapnya yang santun, kepandaiannya, gayanya yang jenaka, dan sebagainya. Kita melihatnya sebagai sosok yang ’paling keren’. Di awal hubungan, kita sebenarnya belum betul-betul mengenalnya dan mungkin hanya mengidealisasinya.
Sejalan dengan waktu, kita mulai saling mengenal sisi yang ”lebih asli”. Misalnya, ternyata si A tidak sabaran dan pemarah, atau si B tidak ”sepatuh” atau ”sesetia” seperti yang diharapkan oleh A.
Maka, mulailah terjadi ketegangan. Misalnya si A marah kepada B karena alasan apa pun. Misalnya, terlambat keluar ketika dijemput, ”terlalu ramah” kepada teman-temannya, berbeda pendapat dengan A, menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan keinginan A, dan lain-lain. B yang terkejut mungkin merasa tidak terima sehingga terjadilah pertengkaran. Pertengkaran, tak disangka-sangka, memicu ledakan kekerasan yang pertama. A menampar B sambil memaki.
Bayangkan, apabila Anda menjadi B, apa yang akan terjadi? Apakah Anda akan membalas tindakan A dengan kembali menamparnya? Apakah Anda akan langsung mengambil tindakan memutuskan hubungan?
Hal di atas mungkin saja, tetapi sangat jarang terjadi, terutama apabila yang mengalami tindakan kasar atau kekerasan itu perempuan. Pada umumnya perempuan akan sangat terkejut, tidak mampu berkata-kata, terdiam, mungkin menangis karena sakit hati. Sambil di benaknya berkecamuk pertanyaan: ”Mengapa dia melakukan hal itu? Tadi saya salah apa, sampai dia melakukan hal itu kepada saya?”
Korban dapat mulai mempersalahkan dirinya sendiri. Apalagi apabila lingkungannya juga mempersalahkannya, atau pelaku sangat pandai berkata-kata dan memutar balik fakta yang membuat korban mulai berpikir kacau dan meragukan dirinya sendiri.
Fase rekonsiliasi terjadi ketika korban mencoba memaafkan, mengembangkan harapan baru, berusaha mempercayai janji dari pelaku bahwa kejadian tersebut tidak akan terulang lagi. Sering, laporan ke polisi dicabut pada fase ini. Sayangnya, fase rekonsiliasi ini sering tidak berlangsung lama. Akan muncul lagi ketegangan, yang disusul kembali oleh kekerasan-kekerasan lanjutan.
Pendampingan dan penelitian menunjukkan bahwa pada kasus-kasus yang parah, siklus kekerasan akan berputar menjadi lebih cepat, dengan intensitas kekerasan yang lebih parah dan membahayakan. Pada kasus-kasus seperti ini sering diperlukan orang luar untuk dapat membantu korban keluar dari jerat kekerasan.
Pembelajaran
Saya tidak menonton televisi sehingga tidak mengenal nama Lesti. Dua bulan lalu saya mulai mencari-cari berita tentangnya setelah pak sopir yang sering mengantar saya memuji-mujinya dengan penuh rasa kagum dan bangga. Perempuan kecil sederhana dari kampung yang berjuang bertahun-tahun mulai dari mengikuti audisi dan ajang kompetisi hingga menjadi seperti sekarang.
Lesti telah menjadi model peran dan teladan bagi masyarakat bawah, perempuan dan laki-laki, mengenai kerja keras, kreativitas, keberhasilan, kesederhanaan, sikap hormat kepada orangtua, kerendahan hati, dan banyak lainnya. Keberaniannya untuk langsung melaporkan KDRT yang dialami ke pihak kepolisian juga menjadi contoh bagi masyarakat banyak.
Kita belajar banyak mengenai KDRT dari pemberitaan yang ada. Memprihatinkan bahwa dengan gambaran kekerasan yang demikian serius masih ada yang menyepelekan dan memelesetkan istilah KDRT menjadi ”keharmonisan” atau ”keromantisan” dalam rumah tangga.
Sementara itu, banyak penggemar Lesti juga sangat kecewa ketika diberitakan ternyata ia mencabut laporan, tidak lama setelah suaminya ditetapkan sebagai tersangka. Demikianlah, Lesti dan banyak korban lainnya masih harus banyak berjuang untuk sungguh dapat keluar dari siklus kekerasan.
Kita menghormati korban yang memiliki kebesaran hati untuk memaafkan. Semoga itu bukan berarti ia memilih tinggal dalam siklus kekerasan, melainkan memutuskan untuk keluar tanpa harus menghukum pelaku. Semoga pembelajaran dari proses menyakitkan setelah dilaporkan juga mampu menjerakan pelaku sehingga ia dapat menjadi manusia yang lebih penyayang dan rendah hati.
Secara khusus saya menyampaikan hormat atas respons cepat dari polisi. Semoga bapak ibu polisi memiliki kesabaran menghadapi korban yang berulang melapor dan mencabut laporan, suatu hal yang dapat sangat melelahkan. Terima kasih.