Ketika Tugu Selamat Datang Dikepung Monster Kembar
Proses pembangunan dua halte ikonik Bundaran HI dan Tosari dinilai melanggar kaidah pelestarian cagar budaya. Warga menilai, kawasan Bundaran HI hilang rohnya karena dikepung sepasang halte raksasa.
Sabtu (1/10/2022) siang, Novia Widya baru saja turun dari taksi daring di pintu masuk Stasiun MRT Bundaran HI selepas Sarinah. Ia bingung menatap rangka-rangka besi di depannya.
Bermaksud berjalan kaki ke arah pusat perbelanjaan besar di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), ia terdiam saat hendak menyeberang pelican crossing di depan Wisma Nusantara. “Itu bangunan apa? Besar sekali,” tanya warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat itu.
Sambil berjalan menyeberang, matanya tak lepas dari rangka-rangka besi yang menjulang. “Kawasan ini jadi terkesan sumpek,” kata perempuan berusia 45 tahun itu.
Sampai di seberang, ia kembali melihat bangunan itu. “Ini bukannya dulu halte Transjakarta ya? Besar sekali ini. Kenapa tidak dibuat simpel saja seperti dulu?” kata Widya lagi.
Baca Juga : ”Okupasi” Terang-terangan di Poros Jakarta
Yono (35), warga Pondok Kopi, Jakarta Timur yang ditemui di taman Stasiun Dukuh Atas mengatakan, melihat halte baru Tosari dan Bundaran HI yang sedang dibangun, ia seperti melihat dua raksasa. “Pandangan jadi tidak leluasa. Terlalu besar,” katanya.
Sejak April 2022 lalu, PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) gencar melakukan revitalisasi terhadap 46 halte busnya. Tahap awal, ada empat halte yang dijadikan halte ikonik, yaitu Sarinah, Bundaran HI, Tosari, dan Dukuh Atas.
Lalu ada empat halte integrasi, yaitu halte Cikoko Stasiun Cawang, halte Stasiun Jatinegara 2, halte Kebon Pala, dan halte Stasiun Juanda. Sisanya, adalah halte biasa baik halte di ujung ataupun halte transit.
Untuk dua halte ikonik Bundaran HI dan Tosari, serta satu halte integrasi Stasiun Jatinegara 2, akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan juga kritikan. Bukan hanya kritikan terhadap bentuk bangunan yang besar, desain yang mengganggu visual, namun juga karena proses pembangunan yang tidak melalui diskusi atau pembicaraan dengan tim ahli cagar budaya (TACB) dan tim sidang pemugaran (TSP) DKI Jakarta.
Baca juga : Revitalisasi Halte Ikonik Jalan Terus Tanpa Rekomendasi Ahli
Proses pembahasan perlu dilakukan karena lokasi pembangunan halte Bundaran HI dan Tosari ada di kawasan yang diajukan sebagai obyek cagar budaya dan halte Stasiun Jatinegara 2 dekat obyek cagar budaya. TACB dan TSP ini bersama dengan tim bidang arsitektur perkotaan atau TAP merupakan penasehat Gubernur DKI Jakarta.
“Ini bukan badan independen yang muncul sendiri dan kemudian menimbulkan keonaran. Bukan. Badan itu ditunjuk gubernur dengan niat baik supaya proses-proses yang terkait kepentingan publik seperti aspek cagar budaya, aspek kehandalan bangunan, hingga aspek perkotaan diperhatikan, ada filter,” kata anggota TACB DKI Jakarta Bambang Eryudhawan, Jumat (30/9/2022).
Kembali ke halte ikonik yang tengah mendapat sorotan, Bambang menegaskan, TACB TSP tidak mempermasalahkan proyek revitalisasi halte. “Yang kita permasalahkan itu masalah kepekaan perancangnya terhadap skala dan proporsi dan posisi,” ujarnya.
Bambang melihat langkah revitalisasi halte sebagai niat baik Transjakarta untuk melakukan inovasi di Jakarta. “Tentu itu kita support. Tetapi kita memerlukan kepekaan. Kepekaan terhadap apa yang kita letakkan pada satu tempat yang sesungguhnya punya makna,” katanya.
Baca juga : Warga Ingin Revitalisasi Halte Transjakarta Tak Sekadar Ikonik
Sebagai warga negara, pemilik proyek seharusnya memiliki kepekaan terkait lokasi dari bangunan yang akan dikerjakan. Seperti halte Bundaran HI dan halte Tosari yang terletak di sisi selatan dan sisi utara Bundaran HI, TACB sudah mengusulkan sebagai obyek cagar budaya sejak 2019.
Ketua TSP DKI Jakarta Boy Bhirawa menjelaskan, meski belum ditetapkan oleh Gubernur DKI, kawasan itu berstatus obyek diduga cagar budaya (ODCB). Artinya, siapapun yang melakukan apapun di area itu harus memperlakukannya sama seperti obyek cagar budaya.
Sebagai ODCB, kawasan Bundaran HI menjadi area penting dengan nilai kesejarahannya. Kawasan itu juga menjadi bagian dari ruang kota yang memiliki karakter ironik, dimana dia menjadi penanda kota, juga menjadi bagian dari poros utama kota.
Kawasan Bundaran HI menjadi ikon dengan kesejarahan tinggi karena berkaitan erat dengan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962. Tugu selamat datang yang dibangun menjadi penyambut bagi tamu-tamu negara yang mendarat di bandar udara Kemayoran waktu itu.
Poros Thamrin-Sudirman menjadi poros utama yang dibangun sebagai penanda Jakarta baru di era kemerdekaan Indonesia. Poros itu menjadi etalase bagi Jakarta baru.
Jadi ini persoalan perancangnya yang tidak pęka terhadap skala, proporsi, dan lokasi sehingga ada makna-makna lain yang bukan cuma disenggol, tetapi juga diinjak
Dengan nilai kesejarahan itu, menurut Boy, pembangunan halte baik yang di Bundaran HI ataupun di Tosari, tidak bisa memaksakan diri untuk menjadi ikonik. “Figur utama tetap Tugu Selamat Datang sekaligus bundarannya. Yang ikonik ya dia, objek (bundaran dan tugu) itu,” katanya.
Terlebih lagi, karena nilai kesejarahan itu ditambah lagi letak halte yang dibangun di median jalan, maka halte itu tidak boleh terlalu tinggi, tidak boleh melebar ke jalan. “Jadi posisinya memang secukupnya kebutuhan dari halte saja, tidak mengada-ada,” kata Boy.
Masih hangat dalam ingatan, pada Juli 2018, Gubernur DKI Anies Baswedan meminta supaya jembatan penyeberangan orang (JPO) yang terletak di samping Bundaran HI dirobohkan. JPO yang terbentang dari trotoar di depan Wisma Nusantara dan berakhir di trotoar di ujung Hotel Hyatt itu dinilai menghalangi pemandangan ke patung Selamat Datang.
Perobohan dilakukan menjelang pesta olahraga Asian Games 2018 di Jakarta. Anies waktu itu mengatakan, JPO perlu dirobohkan supaya para tamu dari mancanegara dapat menyaksikan patung selamat datang itu saat melintas di jalan itu menuju dan dari arena olahraga.
Dalam perkembangan, Anies pula yang menugasi PT Transjakarta untuk merevitalisasi halte. Dalam penugasan itu ada halte integrasi dan halte ikonik. Transjakarta menerjemahkan halte ikonik dan integrasi menjadi bangunan menjulang tinggi dua lantai dan memanjang. Lantai atas direncanakan akan ada ruang komersial seperti kafe.
Baca Juga : Revitalisasi Halte Ikonik Berpotensi Ganggu Estetika Ruang Tugu Selamat Datang
Bambang melanjutkan, dengan nilai kesejarahan itu, kalaupun ada inovasi yang ditempatkan di kawasan itu, perlu kehati-hatian. “Tidak menghambat pembangunan, tetapi kita perlu kehati-hatian,” ujarnya.
Sejak awal, Bambang melanjutkan, persoalannya adalah posisi halte yang terlalu dekat dengan ruang yang dianggap sakral dari sisi apapun juga. Kedua, TACB TSP ingin kalaupun ada yang ditempatkan, mesti fokus pada fungsinya, yaitu halte, tidak melebar dengan adanya ruang komersial.
Kalau di bawah tanah itu soal lain. “Karena itu tradisi semua subway di seluruh dunia juga pasti ada komersialnya. Tapi itu di bawah tanah,” ujarnya.
Jadi halte yang didorong, karena DKI Jakarta pro transportasi umum. “Jadi balonnya sudah cukup, jangan ditiup-tiup terlalu besar,” kata Bambang menegaskan.
Karena ada prosedur dan aspek kehati-hatian yang diabaikan, persoalan lain muncul yaitu menyinggung ruang sakral tadi, baik poros maupun nodes dari BHI, patung Sudirman di sisi selatan, juga patung pahlawan dan gereja Koinonia di Jatinegara yang bersejarah juga.
“Jadi ini persoalan perancangnya yang tidak pęka terhadap skala, proporsi, dan lokasi sehingga ada makna-makna lain yang bukan cuma disenggol, tetapi juga diinjak,” Bambang menjelaskan.
Pengamat perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga juga menegaskan, halte harus dibangun sesuai fungsinya. Sebagai tempat transit, memindahkan penumpang dari MRT ke Transjakarta, dari trotoar ke halte, dari bus ke bus.
Secara teknis, bangunan yang ada mengganggu atau “merusak” nilai dari cagar budaya yang ada di sekitarnya. Secara visual kota saja sudah mengganggu.
Dalam membangun, menurut Nirwono, sudah ada pertimbangan perhitungan dalam konsep panduan arsitektur kota. “Panduan arsitektur kota mengatur, bagaimana menempatkan bangunan terhadap bangunan di kiri kanannya, bagaimana dia tidak menutupi visual dari patungnya, misalnya. Jadi sudah ada jarak pandangnya, bentuk bangunan, dan sebagainya,” ujarnya.
Nirwono menegaskan, dengan polemik yang terjadi, Gubernur menjadi pihak yang bisa menghentikan sementara pembangunan supaya Transjakarta kembali menjalani prosedur yang dilewati.
“Ini menunjukkan sikap, satu, gubernur serius atau tidak terhadap nilai cagar budaya, kawasan cagar budaya BHI. Sebagai mantan mendikbud, harusnya menunjukkanl kepedulian nilai-nilai sejarah itu, tidak hanya sekadar bangunan baru yang merusak nilai sejarah, mengurangi nilai sejarah,” kata Nirwono.
Kedua, ini juga menujukkan sikap gubernur, dia mendengarkan atau mengabaikan tim TACB TSP yang dia bentuk dan disahkan oleh gubernur itu sendiri. “Kalau kasus-kasus seperti ini terjadi terus, maka saya meminta supaya Pemprov DKi meninjau ulang keberadaan tim tersebut,” ujarnya lagi.
Baca Juga : Langgar Kaidah Pelestarian Cagar Budaya, Revitalisasi Sejumlah Halte Diminta Dihentikan
Untuk itu Nirwono berpandangan, revitalisasi halte sebaiknya dibangun untuk fungsi halte, tidak melebar ke komersial apalagi akan ada tempat untuk nongkrong. Apabila tujuannya untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum, maka Transjakarta sebaiknya memperhatikan pola operasi dimana di dalamnya ada headway atau jarak antarbus yang diperhatikan secara detil. Tidak perlu membangun halte sebesar itu.
Banyak pihak mendorong Transjakarta untuk mematuhi prosedur yang diabaikan itu. Sekarang saja, warga nonDKI Jakarta yang ditemui di kawasan Bundaran HI berkomentar, kawasan itu sumpek.
“Saya merasa aneh dengan adanya dua bangunan raksasa yang mengapit kawasan Bundaran HI. Seperti monster. Kawasan itu jadi hilang rohnya dengan adanya sepasang bangunan raksasa yang menutupinya,” ujar Bagus Merta (30), karyawan perusahaan yang berkantor di Thamrin.
Baca Juga : Gubernur Anies : Pembangunan Halte Tosari - HI Dilanjutkan