Revitalisasi Halte Ikonik Jalan Terus Tanpa Rekomendasi Ahli
Bangunan baru halte tak sesuai tata kota karena menghalangi pandangan ke Bundaran Hotel Indonesia dan Tugu Selamat Datang, serta Gereja Koinonia di Jakarta. Namun, Pemprov DKI tetap melanjutkan revitalisasi halte.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi sejumlah halte ikonik oleh Transjakarta keliru dari segi tata kota. Bangunan Halte Tosari, Halte Bundaran Hotel Indonesia, dan Halte Stasiun Jatinegara menghalangi pandangan obyek cagar budaya sehingga Tim Ahli Bangunan Gedung mesti mendesak adanya perbaikan desain.
Namun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pembangunan Halte Transjakarta di Jalan MH Thamrin dilanjutkan.
”Lanjut,” kata Anies singkat seusai acara Supermentor Farewell to Gubernur Anies Baswedan on Leadership, Pengabdian, dan Reformasi, Minggu (2/10/2022).
Danang Priatmodjo, anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia, menyayangkan terus berlanjutnya revitaliasi halte ikonik meskipun muncul banyak protes. Keberatan ahli dan warga karena bangunan baru tak sesuai tata kota dan menghalangi pandangan ke Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan Tugu Selamat Datang, serta Gereja Koinonia di Jatinegara, Jakarta Timur.
”Sosok halte terlalu besar, menghalangi pandangan. Dalam urban design, itu termasuk kategori visual obstruction. Buruk bagi tata kota,” ujarnya, Senin (3/10/2022).
Pengamat tata kota ini meminta Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) bidang Arsitektur dan Perkotaan DKI Jakarta untuk kembali menyampaikan keberatan atas revitalisasi halte ikonik. Keberatan harus berbarengan dengan desakan membongkar bagian halte yang menjadi penghalang cagar budaya.
”TABG mesti menyampaikan lagi. Ini momentum bagus, yakinkan juga penjabat gubernur bahwa revitalisasi halte ikonik itu keliru dari segi tata kota,” katanya.
TABG belum mengeluarkan rekomendasi dan persetujuan teknis revitalisasi halte ikonik, tetapi revitalisasi jalan terus di tengah penolakan.
”Sudah banyak keberatan. Semua keberatan, tetapi apa boleh buat mereka alasannya menggunakan izin membangun prasarana, bukan persetujuan bangunan gedung,” tutur Yayat Supriyatna, anggota TABG bidang arsitektur dan perkotaan.
TABG sejak setahun lalu telah memberikan catatan penilaian dan rekomendasi terhadap revitalisasi halte ikonik. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut ataupun konsultasi hingga proses revitalisasi berjalan.
Yayat Supriatna, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti
Dalam dokumen TABG bidang arsitektur dan perkotaan tertanggal 16 Juni 2021, Transjakarta diminta menanggapi penilaian terhadap rencana revitalisasi halte ikonik.
TABG menyayangkan waktu setahun tanpa ada tindak lanjut dari Transjakarta. Kemudian pembangunan berjalan di luar catatan penilaian dan rekomendasi dari tim ahli.
Ikon nasional
Sebelumnya, sejarawan JJ Rizal saat dikonfirmasi mengatakan, pembangunan Halte Transjakarta Tosari-Bundaran HI harus dihentikan karena merusak pandangan ke Patung Selamat Datang serta Air Mancur Henk Ngantung warisan Presiden Soekarno dengan Gubernur Henk Ngantung sebagai poros penanda perubahan ibu kota kolonial ke ibu kota nasional di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
”Mohon Pak Gubernur Anies Baswedan stop pembangunan halte yang arogan di kawasan cagar budaya penanda sejarah perubahan kota kolonial jadi kota nasional warisan Soekarno. Jangan biarkan halte itu jadi noda di buku sejarah masa pemerintahan Bapak (Anies) yang kaya prestasi,” kata Rizal.
”Halte tetap di tempat, tetapi carilah model arsitektur yang ramah dan respek pada kawasan sejarah (heritage), desain yang lebih merunduk menghormat vista cagar budaya, bukan yang dengan sengaja malah memanfaatkan ruang yang bernilai komersial untuk dikomersialisasi,” katanya.
Jika tidak dihentikan, Jakarta akan kaya infrastruktur, tetapi miskin karakter.
Alasan penghentian, kata Rizal, Patung Selamat Datang dengan Air Mancur Henk Ngantung dinilai penting bukan semata karena karya Presiden Soekarno, maestro seni rupa Edi Sunarso, serta Gubernur Henk Ngantung. Namun, itu menjadi simbol keramahan bangsa, semangat bersahabat melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selain itu, Hotel Indonesia bukan sekadar simbol awal pariwisata modern Indonesia pascakolonial, melainkan arsitektur karya Abel Sorensen, arsitek Markas Besar PBB, dengan para maestro lukis dan sastra Indonesia yang oleh Soekarno disebut pembuka wajah muka Indonesia.
Menurut Rizal, kawasan bersejarah warisan Soekarno dalam 20 tahun terakhir telah jadi korban vandalisme berbagai kepentingan, berebut dengan macam-macam alasan, tetapi satu tujuannya, yaitu mengapitalisasi posisinya yang strategis.
”Jika tidak dihentikan, Jakarta akan kaya infrastruktur, tetapi miskin karakter,” katanya.
Pembangunan halte diganti di sekitar HI dan Sarinah menjadi penanda sejarah untuk mengingatkan bahwa ibu kota nasional berbeda dari ibu kota kolonial yang merujuk pada simbol ekonomi kapitalisme yang rakus. Ibu kota nasional adalah ibu kota ekonomi kerakyatan.
”Seharusnya sebagai bagian dari badan usaha milik Jakarta, PT Transjakarta yang busnya wira-wiri di ruang bersejarah warisan Soekarno itu berefleksi mengadopsi etos kerja maestro, berkelas dunia, tetapi berorientasi kerakyatan serta menjaga sumber inspirasi kota, yaitu warisan sejarahnya,” katanya.
Beda sikap
Menanggapi pernyataan JJ Rizal, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bersikap berbeda dengan Gubernur Anies. Menurut dia, informasi JJ Rizak akan menjadi perhatian dan pertimbangan.
”Nanti kami akan cek kembali. Seharusnya proses pembangunan di Jakarta melalui aturan dan ketentuan, termasuk memperhatikan cagar budaya,” katanya.
Riza menambahkan, revitalisasi halte mendesak karena tidak lepas dari peningkatan jumlah penumpang yang signifikan.