Rencana detail tata ruang bukan semata kelonggaran untuk mengakomodasi masukan atau saran. Keberadaannya menjawab kebutuhan masa mendatang, tak hanya sesaat. Pekerjaan rumah tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta saat ini.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, STEFANUS ATO, HELENA FRANSISCA NABABAN
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (20/9/2022). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan sosialisasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta pada Rabu (21/9/2022).
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan atau RDTR-WP mempertimbangkan pengaduan terhadap tata ruang yang selama ini terjadi. Namun, keberadaannya untuk menjawab kebutuhan masa mendatang, bukan hanya kondisi sesaat.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan seusai rapat kerja dengan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta, Senin (15/8/2022) lalu, mengungkapkan, proses pencabutan Perda Nomor 1 Tahun 2014 dilakukan lantaran sudah terbit Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang RDTR-WP.
”Isinya revisi dari Perda 2014. Kemudian Pergub mengapresiasi keberatan masyarakat, mempertimbangkan pengaduan warga selama ini, termasuk rencana strategis DKI ke depan,” ucap Pantas, Kamis (22/9/2022).
Salah satu apresiasi, pertimbangan, dan rencana strategis tersebut ialah pemanfaatan sebagian wilayah berzona hijau selama belum dibutuhkan atau digunakan pemerintah. Hal lainnya ialah mengakomodasi penggunaan teknologi digital.
”Kelonggaran tetap terbatas, yang penting pengendalian tegas penegakan hukum dan jangan lagi ada diskriminasi,” katanya.
Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono secara terpisah menyebutkan, kelonggaran dan penegakan aturan akan tampak ketika RTRW sudah dibahas karena Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW ini belum direvisi.
Kebutuhan mendatang
Rencana tata ruang bukan semata kelonggaran untuk mengakomodasi masukan atau saran. Keberadaannya menjawab kebutuhan masa mendatang, bukan hanya saat ini.
Secara legal formal penggunaan ruang di Jakarta sudah diatur dalam rencana tata ruang wilayah sejak 1965. Perencanaan pertama, Rencana Induk 1965-1985, mengatur pengembangan kota ke segala arah, 15 kilometer dari Monas (Kompas, 23 Desember 2013).
Berikutnya, terbit Rencana Umum Tata Ruang 2005, yang mulai mengatur pengembangan hanya ke arah timur dan barat serta mengurangi tekanan pembangunan di utara. Pembangunan di selatan sebagai daerah resapan mulai dibatasi. Ketika RTRW 2010 dikeluarkan pada 1999, arah pengembangan kota justru diarahkan ke utara.
Selanjutnya RTRW 2030 menyebutkan, arah pengembangan pembangunan tetap sama dengan tetap membatasi pertumbuhan di selatan. Pembangunan diarahkan secara vertikal dan kompak karena makin sesaknya ruang Jakarta.
Kepadatan lalu lintas di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2022).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Lanskap Kota Jakarta, Minggu (15/3/2020).
Dalam Kongres Wilayah IAP Cabang Jakarta di 2004 para pembicara satu suara bahwa Pemprov DKI dalam merencanakan kota tidak jelas arahnya. Penataan kota salah urus dan tambal sulam (Kompas, 27 Februari 2004).
Selain sarat berbagai kepentingan, konsep penataan kota dibuat sendiri-sendiri, tanpa melibatkan partisipasi publik, yakni masyarakat. Repotnya lagi, antara RTRW (berbasis peta skala 1 : 50.000), RDTR (1:5.000 sampai 10.000), dan Rencana Teknis (1:500-1.000) tidak saling klop.
Perbaikan kemudian muncul dalam proses pengesahan RDTR DKI 2010-2030. Gubernur saat itu, Joko Widodo, menunda pengesahan untuk menjaring aspirasi warga. Dengan demikian, tata ruang merupakan hasil pemikiran bersama dan negosiasi demi mewujudkan Jakarta yang lebih baik (Kompas, 11 Juni 2013).
RDTR 2010-2030 diharapkan bisa jadi alat pengendali peruntukan tata ruang dalam membangun kota Jakarta hingga tahun 2030. Substansi materi perda RDTR berupa pola pengembangan kawasan dan sifat lingkungan, RDTT di 44 kecamatan, rencana pemanfaatan ruang, peraturan zonasi, perizinan, rekomendasi, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi (Kompas, 12 Desember 2013).
Namun, model pengembangan kawasan terpadu yang akan diterapkan di Kampung Bandan dan Manggarai gagal. Sebut saja kasus di Kalibata, Jakarta Selatan. Kompleks hunian vertikal di atas lahan 12,5 hektar yang awalnya untuk masyarakat menengah ke bawah itu justru disesaki penghuni bermobil pribadi (Kompas, 22 Juni 2015).
Belum lagi soal pemberian izin kepada pengembang yang ingin melampaui koefisien luas bangunan menghadapi sejumlah tantangan, (Kompas, 27 Maret 2014). Beban di wilayah tertentu di Jakarta sudah sangat tinggi. Apabila ditambah, tentu akan memberikan dampak besar terhadap lingkungan, mulai dari penggunaan air hingga efek jangka panjangnya.
Begitu lebih tinggi maka unit lebih murah. Masyarakat tidak perlu lagi jalan 1-2 jam dari luar kota ke Jakarta. Tidak perlu lagi membeli kendaraan pribadi. (Anies Baswedan)
TANGKAPAN LAYAR SOSIALISASI RDTR DKI JAKARTA
Tangkapan layar RDTR DKI 2022
Belum menjawab
Berkaca dari catatan sebelumnya, RDTR Jakarta 2022-2030 hasil revisi saat ini pun dinilai belum fokus dalam menyelesaikan berbagai persoalan utama di Ibu Kota.
Pengamat perkotaan dari Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga, Rabu (21/9) menjelaskan, dari sosialisasi umum RDTR Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022, banyak pekerjaan rumah yang harus difokuskan agar mendorong masyarakat memiliki mimpi bersama menggapai Jakarta bebas macet, bebas banjir.
”Secara teknis, harus lebih fokus lagi, dua hal saja dulu (banjir dan macet),” katanya.
Nirwono menilai, peningkatan pengguna transportasi publik dan pemberian izin pembangunan hunian vertikal di berbagai kawasan berorientasi transit (TOD), secara teknis belum menjawab permasalahan Jakarta. Sebab, kenaikan jumlah pengguna transportasi publik belum bisa dipastikan merupakan warga Jakarta yang bermukim di dekat simpul transportasi publik.
Pemprov DKI yang menyebut Ibu Kota telah memiliki lima TOD dinilai Nirwono klaim tak berdasar.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Kiri ke kanan: peneliti Jakarta Property Institute (JPI) Urfi Amalia, Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryono, dan Direktur Program JPI Mulya Amri menyampaikan hasil riset JPI bahwa generasi milenial mayoritas berminat untuk tinggal di hunian vertikal di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Wendy Haryanto, Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI), menjelaskan, kehadiran moda transportasi seperti MRT, LRT, juga Transjakarta mendukung terwujudnya kawasan transit. ”Ini akan menggerakkan pengembang di sekitarnya,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam sosialisasi Pergub Nomor 31 Tahun 2022 tentang RDTR DKI menyebutkan, dengan mengembangkan kawasan TOD dalam radius 800 meter di sekitar stasiun atau simpul transportasi, maka bangunan yang akan mewujud adalah bangunan tinggi.
”Begitu lebih tinggi, maka unit lebih murah. Masyarakat tidak perlu lagi jalan 1-2 jam dari luar kota ke Jakarta. Tidak perlu lagi membeli kendaraan pribadi,” kata Anies.
Wendy menambahkan, dengan kawasan transit, pemerintah perlu membuat kebijakan yang membatasi kepemilikan kendaraan, membatasi area parkir, hingga umur kendaraan. Pemprov DKI mesti bekerja sama dengan pemda sekitar. DKI perlu menyediakan angkutan umum yang saling terkoneksi dan membuat nyaman mobilitas untuk mendorong lebih banyak warga memakai kendaraan umum.
Untuk menyediakan hunian bagi masyarakat yang tidak bisa mengakses perbankan dan berpenghasilan rendah, turut campur pemerintah diperlukan. Diantaranya dengan penyediaan rumah susun sederhana sewa atau subsidi rumah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Nirwono Joga
Nirwono melanjutkan dari berbagai persoalan itu, ia meminta pemprov fokus sosialisasi kembali kepada target-target terkait, misalnya investor, pengembang, hingga warga terdampak. Sosialisasi ini bertujuan memberi pemahaman dini kepada masyarakat yang berpotensi terdampak pembangunan dan penataan ruang.
RDTR baru ini, kata Nirwono, juga belum secara detail memberi arah pada misi Jakarta bebas banjir di 2030. Di satu sisi, perluasan sungai, situ, dan embung membutuhkan proses relokasi. Di RDTR seharusnya tergambar semangat relokasi manusiawi, mulai dari tempat relokasi hingga proyek rusunawa di dekat TOD.
Nirwono mengingatkan, RDTR 2022-2030 yang berisi berbagai rencana arah pembangunan Jakarta juga terdapat tanggung jawab dinas terkait. Dinas-dinas wajib sosialisasi, menjabarkan, dan menerjemahkan isi RDTR. Untuk itu, RDTR perlu lebih jelas dan tegas dengan gubernur sebagai pengarah dan pengawasnya.
Kiranya proses RDTR agar menjadi penunjuk arah pembangunan Jakarta untuk kebaikan saat ini dan nanti masih harus diperbaiki serta dibuktikan lebih lanjut.