Bruder Angelo, Terdakwa Pelaku Kekerasan Seksual di Panti Asuhan Depok, Ajukan Kasasi
Setelah banding ke Pengadilan Tinggi Bandung gagal, terdakwa kekerasan seksual di panti asuhan di Depok, Bruder Angelo, mengajukan kasasi ke MA. Pendamping korban berharap MA menguatkan putusan vonis bersalah.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pemerhati anak hingga kuasa hukum korban kekerasan seksual yang dilakukan Lukas Lucky Ngalngola alias Bruder Angelo meminta majelis hakim Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan putusan Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, yang sudah memutuskan terdakwa bersalah. Pasalnya, pihak Bruder Angelo mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pada 20 Januari 2022, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok memvonis 14 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000 subsider 3 bulan kurungan kepada Bruder Angelo, terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Perumahan Mutiara Depok, Jawa Barat.
Ermelina Singereta dari Pembela Hukum Anak Indonesia sekaligus pendamping hukum korban mengatakan, dari putusan PN Depok itu, Angelo menyatakan keberatan dan mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
”Pengadilan Tinggi Bandung telah memutuskan perkara dan menguatkan putusan PN Depok. Putusan itu berkeadilan bagi korban dan kami mengapresiasi. Namun, Lukas (Bruder Angelo) mengajukan kasasi dari dua putusan itu,” kata Ermelina, Minggu (18/9/2022).
Pendamping hukum korban, Judianto Simanjuntak, melanjutkan, upaya hukum kasasi ke MA yang diajukan oleh terdakwa Bruder Angelo melalui penasihat hukumnya pada 9 Mei 2022 menunjukkan pihak terdakwa tetap bertahan pada sikapnya yang tidak mengakui melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap korban.
”Banding sampai kasasi sebenarnya tidak mengherankan karena selama persidangan di PN Depok, terdakwa selalu membantah kekerasan seksual kepada korban. Kami mengharapkan majelis hakim MA yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini agar menggunakan hati nuraninya memutuskan yang terbaik demi penegakan hukum terdahap terdakwa. Tujuannya adalah selain untuk mewujudkan keadilan bagi korban, juga keadilan bagi publik,” ujar Judianto.
Berdasarkan hukum acara pidana, kata Judianto, kasasi ke MA merupakan upaya hukum biasa yang terakhir. Tidak ada lagi upaya hukum biasa setelah kasasi. Jika nanti majelis hakim MA memutuskan perkara maka dengan sendirinya putusan kasasi MA tersebut dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, dan mengikat.
Judianto juga mengharapkan majelis hakim kasasi di MA agar menguatkan putusan PT Bandung dan putusan PN Depok. Sebab, kekerasan seksual yang dialami korban berlatar belakang relasi kuasa. Terdakwa merupakan pengasuh anak-anak, termasuk korban di panti asuhan.
Tidak hanya itu saja, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa juga mengakibatkan korban mengalami trauma, ketakutan, dan cemas. ”Memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban dan publik dari putusan majelis hakim Mahkamah Agung,” katanya.
Nancy Sunarno dari Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan menilai, kekerasan seksual merendahkan harkat dan martabat manusia, mengingkari dan bertentangan dengan kemanusiaan. Oleh karena itu PT Bandung yang tetap memutuskan hukuman untuk terdakwa sudah tepat. Langkah ini diharapkan berlanjut di tingkat MA.
Peristiwa kekerasan seksual sangat banyak terjadi terhadap perempuan dan anak. Untuk itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual harus benar-benar diterapkan oleh penegak hukum kepada pelaku kekerasan seksual. ”Penegakan hukum yang berpihak kepada korban,” kata Nancy.