Vonis 14 Tahun Penjara bagi Pelaku Pencabulan Anak Panti Asuhan di Depok
Perjuangan memberantas tindak kekerasan seksual dan upaya perlindungan kepada anak dan perempuan belum berakhir. RUU TPKS diharapkan bisa menjadi payung hukum untuk memberantas kekerasan seksual.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pengadilan Negeri Depok memutuskan Lukas Lucky Ngalngola bersalah atas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani. Ia divonis pidana 14 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 3 bulan kurungan.
Sidang putusan atas kasus Lukas Lucky Ngalngola digelar di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Kamis (20/1/2022), dipimpin Ketua Majelis Hakim Ahmad Fadil dan dua hakim anggota, Fausi dan Andi Musyafir. Terdakwa Lukas Lucky Ngalngola mengikuti persidangan melalui siaran langsung dari Rumah Tahanan Kelas I Cilodong.
Lukas Lucky Ngalngola diputuskan bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap satu korban anak, yaitu Y (14). Saat kasus kekerasan seksual terungkap pada September 2019, Y masih berumur 12 tahun.
Ahmad Fadil mengatakan, dari keterangan saksi dan alat bukti, majelis hakim menyatakan terdakwa Lukas Lucky Ngalngola terbukti bersalah melakukan tindak pidana, ancaman kekerasan, memaksa anak untuk berbuat cabul.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 14 tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” katanya.
Lukas Lucky Ngalngola terbukti melanggar Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Ada sejumlah pertimbangan majelis hakim yang memberatkan terdakwa, di antaranya tindakan terdakwa merupakan penyakit masyarakat dan perbuatan tercela. Perbuatan terdakwa juga dinilai dapat merusak mental dan tumbuh kembang anak ke depan. Selain itu, terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
Terkait putusan tersebut, Bayu Ferianto selaku kuasa hukum Lukas Lucky Nglangola menyatakan banding.
Di luar persidangan, Bayu mengatakan, hukuman yang diberikan terlalu berat. Selain itu, tidak semua saksi sebanyak delapan orang dihadirkan dan didengar dalam pembuktian fakta di persidangan sebelumnya.
”Terlalu berlebihan (hukuman 14 tahun) terhadap apa yang tidak dipertimbangkan. Ini terlalu berlebihan, Harus dibebaskan, dong. Tidak ada saksi. Katanya ada delapan anak di dalam angkot, tetapi yang dijadikan saksi hanya dua anak. Dua anak tersebut pun bicara tidak pernah ikut potong rambut, enam anaknya ke mana?” lanjutnya.
Apresiasi
Sementara itu, putusan majelis hakim diapresiasi oleh perwakilan keluarga dan pengurus Panti Asuhan Fransiskus Asisi serta sejumlah kelompok pemerhati anak dan perempuan. Panti asuhan itu kini menjadi rumah baru bagi anak-anak yang dulu tinggal di Panti Asuhan Kencana Benjana Rohani.
Kuasa hukum dan pendamping korban, Judianto Simanjuntak, mengatakan, meski tidak ada hukuman pemberat, ia mengapresiasi keputusan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 100 juta kepada Bruder Angelo.
”Kita terima dengan baik. Ini suatu preseden baik untuk penegakan hukum bahwa negara ini hadir. Indonesia darurat kekerasan seksual, Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik. Ada hakim, jaksa, dan polisi mempunyai hati nurani memberikan langkah tepat dalam proses peradilan hingga putusan,” kata Judianto.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Istania Iskandar, perjuangan melawan tindak kekerasan seksual serta upaya perlindungan kepada anak-anak dan perempuan belum berakhir. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperkuat oleh negara dalam menghadirkan keberpihakan kepada korban. Hal itu perlu dukungan kuat pula oleh sinergitas lintas sektor.
Untuk itu, katanya, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) diharapkan bisa menjadi kekuatan hukum untuk memastikan pemulihan korban secara penuh, layanan hukum yang komprehensif, hingga aparat penegak hukum yang memiliki perspektif baik atau berpihak kepada korban.
”Kita tidak ingin penanganan kasus kekerasan seksual berlarut. Korban harus lebih diperhatikan. Saat ini kami memberikan perlindungan kepada empat korban (kasus Lukas Lucky Ngalngola) berupa bantuan medis dan psikologis. Terkait psikologis ini belum maksimal. Ini perlu dipastikan dan diperkuat juga ke depan,” ujar Livia.
Ia melanjutkan, penting pula dalam penanganan hukum yang komprehensif, pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya wajib membayar denda, tetapi juga pemenuhan hak restitusi.
”Terkait restitusi, masih ada berkas yang kurang lengkap. Menurut saya, ini penting secara hukum dan untuk para korban yang dibebankan kepada pelaku. Denda dari putusan hakim itu masuk ke negara, sementara restitusi untuk korban. Ini hak yang harus ada karena korban atau keluarga sudah berjuang dan ini untuk proyeksi psikologis korban juga,” tutur Livia.