Desakan Tuntaskan Kasus Predator Anak Depok oleh ”Bruder Angelo”
Penanganan kasus kekerasan seksual anak-anak oleh ”Bruder Angelo” lamban, terkesan kaku, legistis atau berpandangan sempit, dan mengabaikan perspektif kemanusiaan.
DEPOK, KOMPAS — Satu tahun lewat, penyelidikan kasus dugaan kekerasan seksual anak-anak oleh LLN atau ”Bruder Angelo” dinilai lamban. Para pihak mendesak Polri, khususnya Kepolisian Resor Depok, segera mengusut tuntas kasus itu agar menimbulkan efek jera.
Poengky Indarti dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai, Polres Depok terlalu lamban menuntaskan penyidikan. Kasus tersebut terungkap 13 September 2019 ketika sejumlah korban melaporkan kejadian itu ke Polres Depok.
”Kami, Kompolnas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mendesak Polres Depok untuk segera menuntaskan penyidikan kasus pencabulan anak-anak yang pernah diasuh Lukas Lucky Ngalngola atau Bruder Angelo. Selama ini berjalan lamban sehingga negara mengabaikan hak anak-anak korban selama hampir dua tahun lamanya,” kata Poengky dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3/2021).
Baca juga : Bela dan Tuntas Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Sehari setelah laporan saat itu, polisi menangkap Bruder Angelo. Namun, ia hanya tiga bulan saja mendekap di kamar tahanan. Pada 9 Desember 2019, ia bebas. Berkas penyidikan yang tidak lengkap membuat polisi tidak bisa melanjutkan kasus dugaan kekerasan seksual ke tingkat pengadilan.
Sampai saat ini, Lukas, yang juga dijuluki ”kelelawar malam” oleh para korbannya, masih bebas berkeliaran. Bahkan, ia membuka panti lagi dan hidup bersama anak-anak di bawah umur.
Kompolnas, menurut Poengky, akan mengawal kasus tersebut. Selain itu, pihaknya sudah menerima pengaduan dari kuasa hukum secara resmi dan siap menindaklanjutinya serta akan menggelar perkara agar kasus kekerasan seksual pada anak bisa dijalankan dengan lebih baik.
Oleh karena itu, Poengky menegaskan, Kompolnas dan Kementerian PPPA mendesak Polri, khususnya Polres Depok, untuk membuka penelusuran dugaan tindak pidana perdagangan orang sekaligus kekerasan seksual. Sebab, anak-anak asuh diambil dari orangtua mereka yang jauh dari Depok, seperti dari Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Pembukaan dan penyelidikan kasus serta penegakan hukum juga dinilai penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan seksual agar tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban. Kepentingan perlindungan secara luas dan menjauhkan anak-anak dari predator seksual menjadi tugas dan kewajiban bersama, termasuk dari pihak kepolisian.
”Kompolnas mendesak Polres Depok untuk melakukan upaya ekstra dan semaksimal mungkin, seperti scientific crime investigation,” kata Poengky.
Inspektur Dua Tulus Handani selaku perwakilan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Depok mengatakan, kepolisian telah mendapatkan petunjuk dari hasil visum yang diduga menjadi korban ”Bruder Angelo”.
Hasil visum menunjukkan luka pada anus korban. Atas dasar luka tersebut, polisi kembali memeriksa korban di Panti Handayani yang dikelola Kementerian Sosial. Namun, korban tidak bisa menjelaskan penyebab luka tersebut. Korban juga mengaku lupa terkait luka itu.
”Dia cuma bilang luka gatal. Kami beri pemahaman, dia bilang lupa dan tidak tahu. Kami sudah koordinasi untuk minta pendampingan psikologis, khusus untuk menggali keterangan korban. Sebab, luka itu pastinya ada kekerasan lagi, entah karena ada pelaku lain atau karena alasan lain. Kami masih dalami kasus ini,” papar Tulus.
Ia melanjutkan, salah satu kasus dugaan kekerasan seksual yang dilaporkan kepada kepolisian terjadi di dalam angkutan saat Lukas mengantar 6-9 anak panti asuhan untuk potong rambut. Kejadian kedua, dugaan kekerasan seksual terjadi di kamar mandi di warung makan pecel lele.
”Kejadian kedua setelah potong rambut, korban bersama sopir dan anak asuh lainnya geser ke pecel lele. Pelaku izin ke penjual untuk mencari kamar mandi. Korban yang di angkot itu dicabuli lagi di kamar mandi,” tutur Tulus.
Selain di angkot dan kamar mandi di warung pecel lele, sejumlah anak asuh di Panti Asuhan Kencana Benjana Rohani diduga mengalami peristiwa serupa. Meski sudah ada laporan dari korban, Lukas belum diproses hukum karena penyidik belum memiliki alat bukti kuat.
Menurut Nahar, Pelaksana Tugas Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, polisi seharusnya menyerahkan saja bukti-bukti yang sudah dikumpulkan. Dari bukti itu, biarkan jaksa yang menentukan. ”Jadi, berkas ini seharusnya naik saja. Kami beri kesempatan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk konsultasi ke kami,” katanya.
Terjadi pembiaran
Ermelina Singereta, kuasa hukum para korban sejak September 2020, mengatakan, seharusnya kepolisian menggunakan prinsip persamaan hak di muka hukum. Pada kasus kekerasan seksual, prinsip persamaan hak dilakukan untuk tercapainya keadilan hukum bagi korban.
Tim hukum sering kali menanyakan perkembangan laporan kasus dan juga selalu memberikan informasi terkait keberadaan pelaku berdasarkan informasi dari berbagai pihak. Namun, sering juga terjadi perdebatan karena berbeda pandangan terkait penanganan kasus yang terkesan sangat lamban.
Baca juga : Mengungkap Jejak Gelap Pemerkosa Anak di Depok
Ermelina menilai, ada pembiaran yang dilakukan Polres Depok untuk tidak memproses kasus ini dengan cepat dan menunggu desakan publik secara terus-menerus. ”Hal ini dapat terlihat dari hasil gelar perkara yang hasilnya kasus ini masih berada di tingkat lidik, dengan alasan kepolisian harus meminta keterangan tambahan dari korban, saksi, dan perlu adanya visum et repertum psikiatrikum bagi korban,” ujarnya.
Judianto Simanjuntak, tim kuasa hukum lain, menilai, kepolisian terkesan sangat lamban dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Seharusnya jika ada kekurangan yang perlu ditambahkan, kepolisian berkoordinasi dengan kuasa hukum dan juga pihak terkait lain karena kasus ini sebenarnya sudah ditangani berbagai pihak. Mabes Polri pun berada dalam grup Whatsapp yang sama.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menyatakan keheranan dengan penanganan kasus yang lamban, terkesan kaku, legistis atau berpandangan sempit, dan mengabaikan perspektif kemanusiaan.
”Dalam pengumpulan bukti, harus dipahami bukti visum et repertum dan visum psikiatrikum berbeda dengan keterangan korban. Korban berada dalam situasi psikologis yang berat sehingga tampak keterangannya tidak jelas, tidak konsisten, tidak bisa dipegang. Maka, keterangan korban ini harus diperlakukan secara khusus,” kata Sulistyowati.
Dalam upaya perlindungan kepada korban hingga penegakan hukum, ada kesulitan dalam pembuktian. Di dalam hukum acara masih ada pasal-pasal menyulitkan korban yang harus membuktikan tindak kekerasan seksual. Korban, keluarga korban, atau pendamping korban harus menyajikan pembuktian tersebut berupa bentuk fisik (visum et repertum dan visum psikiatrikum). Beban pembuktian itu sukar disajikan di persidangan karena faktor psikologis, trauma, dan rasa malu korban.
Sulistyowati mengatakan, kejaksaan sudah memiliki Pedoman Nomor 1/21 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak. Pedoman itu memberi banyak terobosan dalam penanganan kasus dan dapat membantu melindungi korban kekerasan seksual.
”Kasus ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat serius dan mohon segera dapat dijalankan akses keadilan bagi korban,” tegas Sulistyowati.
Baca juga : Vonis Berat bagi SPM dan Momentum Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual
Ahli hukum pidana Ahmad Sofian menilai, Polres Depok melakukan malapraktik dalam penyidikan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang telah dimulai sejak September 2019. Ia mempertanyakan penangguhan penahanan terhadap tersangka ”Bruder Angelo” meski kepolisian belum mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan sejak September 2019.
”Jadi, statusnya harus tetap tersangka. Kok, mau diulang lagi ditetapkan sebagai tersangka?” kata Sofian.