Niat Baik Menjaga Semangat Kaum Muda di Dukuh Atas
Abdul Sofi Al'ail alias Ale, salah satu pionir Citayam Fashion Week menyatakan berkegiatan dengan dasar niat baik. Ia akan tetap main, membuat konten, agar CFW di Dukuh Atas tidak kehilangan semangatnya dan dilupakan.
Di Kawasan Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat, sempat ramai oleh langkah percaya diri para remaja berdandan ala model di atas panggung ”Citayam Fashion Week” atau CFW . Kini, panggung kreativitas yang digagas oleh anak-anak muda Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok (SCBD) itu sepi dari hingar-bingar
CFW sempat merebut perhatian dan menarik perhatian kalangan remaja maupun masyarakat dari berbagai penjuru Jabodetabek, bahkan dari luar ibu kota dan sekitarnya. Tak kurang pejabat daerah dan negara, juga artis, ikut ramai-ramai melenggang di Dukuh Atas.
Gemerlap panggung CFW yang memberikan inspirasi untuk kota-kota lainnya itu ternyata menimbulkan masalah, seperti sampah, parkir liar, kemacetan, dan masalah sosial lainnya. Demi menjaga ketertiban, kondusifitas, dan keamanan, CFW pun dibubarkan.
Apakah CFW yang membesarkan nama Bonge, Jeje, Kurma, Ale, dan lainnya tak lagi ada? Apakah Dukuh Atas, salah satu pusat integrasi antarmoda transportasi, tidak lagi bisa menjadi ruang publik dan kreasi atau sekadar menikmati fasilitas di Jakarta bagi anak-anak muda?
Baca juga: ”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga
Mega (13) dan Elsa (15), pemudi asal Kota Bekasi, sejak pukul 12.00 hingga pukul 17.00, belum beranjak dari Dukuh Atas. Mereka berdiri menatap lalu lalang orang di trotoar Jalan Jenderal Sudirman. Pandangan mereka juga mengarah ke fasilitas penyebrangan orang (zebra cross) yang menjadi panggung catwalk CFW. Sesekali mereka hanya duduk sembari minum es kopi yang mereka beli dari tukang kopi keliling.
Mereka masih tak percaya hingar-bingar CFW begitu cepat memudar. Dua pemudi itu pun mengundurkan niatnya untuk melintas zebra cross seperti yang pernah ramai sebelumnya.
“Malu. Mau foto di depan (zebra cross) malu, apalagi jalan. Kalau ramai berani. Tapi ini sepi. Kapan ya bisa kayak dulu lagi,” kata Elsa yang hanya mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu, Senin (22/8/2022).
Di sini jadi banyak orang dari berbagai kelompok. Kami juga senang bisa memberikan inspirasi.
Bagi Ridho (18), asal Kota Bekasi, Jawa Barat, kegiatan CFW dan beberapa kali kedatangannya tak sekadar memeriahkan saja, tetapi di kawasan Dukuh Atas menjadi ruang publik yang menyenangkan dan aman. Menurutnya ruang publik serupa di Kota Bekasi tidak sekeren dan sebagus di Jakarta.
“Saya main jauh ke sini juga karena merasa aman. Bekasi enggak ada kayak beginian. Kalau hanya di Kota Bekasi saja, ada saya malah makin parah dan enggak sehat. Saya bisa saja ikutan tawuran atau narkoba karena pergaulan. Saya masih mikir keluarga, enggak mau ikut begituan. Makanya selain mengamen saya lari ke sini ketemu teman-teman,” ujar anak keempat dari tujuh bersaudara yang putus sekolah saat kelas dua SMP karena tidak ada biaya.
Rasa aman dan solidaritas untuk saling menjaga di ruang publik juga disampaikan oleh tiga sekawan seperti Candra (20), Alwi (16), dan Irfan (21). Mereka masing-masing berasal dari Ciledug di Kota Tangerang, Tanah Abang di Jakarta Pusat, dan Cikarang di Kabupaten Bekasi. Perkenalan mereka berawal sebelum CFW viral dan terkenal.
Menurut mereka CFW bukan sebatas ruang kreasi seperti membuat konten di media sosial. CFW membuat mereka untuk saling berbagi inspirasi dan cerita kehidupan pribadi mereka yang berat. Untuk mengalihkan persoalan itu, mereka belajar cara membuat konten dengan latar belakang Dukuh Atas yang tidak ditemui di tempat asal.
“Bahkan kami juga saling mengingatkan jaga kebersihan. Ada yang masih nakal buang sampah sembarangan, tapi aku pikir ini dari pengunjung lainnya juga. Makin ramai dari berbagai kalangan mereka tidak jaga kebersihan. Lalu parkir liar, dari awal sampai ramai kemarin itu, kami menggunakan kereta dan angkutan umum. Yang meramaikan dengan membawa kendaraan pribadi seharusnya itu gunakan kereta biar enggak ada parkir liar,” kata Candra.
Tiga sekawan ini, menyayangkan ruang publik di Dukuh Atas yang menjadi panggung CFW dibubarkan. Meski tidak menyangka akan menjadi ramai oleh kedatangan berbagai kalangan, seharusnya ruang publik tetap memberikan akses bagi para remaja suburban. Mereka berharap CFW bisa kembali lagi.
Sementara itu, menurut Alwi, meredupnya CFW bukan hanya karena alasan sampah dan parkir liar, tetapi ada sekelompok yang ikut meramaikan dengan membawa embel-embel non-heteroseksual atau LGBT.
“Di sini jadi banyak orang dari berbagai kelompok. Kami juga senang bisa memberikan inspirasi. Tapi malah jadi ramai banget enggak nyangka banget. CFW jadi tempat semua untuk datang. Jujur itu memang ada LGBT, dan sempat ramai juga di medsos, kan. Mungkin itu jadi masalah juga selain kebersihan dan parkir liar itu. Dibubarkan deh,” kata Alwi.
Padahal bagi kaum muda yang suka berkegiatan, eksis, dan menambah pertemanan di Dukuh Atas, hal yang berbeda tidaklah menjadi soal. Asal sama-sama asik dan tidak menggangu kepentingan umum, harusnya ruang publik memang menjadi hak semua orang.
Aku berharap ada komunitas hingga pemerintah bersama duduk membahas CFW tetap ada.
Pentingnya keberadaan CFW di Dukuh Atas juga diutarakan oleh Abdul Sofi Al’ail atau akrab disapa Ale (19). Pria lulusan Sekolah Menengah Kejuruan ini mengaku, CFW tercipta dari karya konten-konten yang ia buat sejak akhir 2019.
Saat itu, Ale berpakaian eksentrik dan berjalan melintas zebra cross sebagai panggung catwalknya. Konsistensi Ale membuatnya menjadi pusat perhatian, baik di Dukuh Atas dan media sosial. Dari situ CFW kemudian mengundang banyak anak-anak muda untuk datang.
“Aku ingin ada sebuah karya dengan konsep dan lokasinya di ruang publik. Aku ingin ini bisa menjadi street art performance dan dikenal luas di Indonesia bahkan dunia. Kita di sini membangun dari dasar niat baik. Saya akan tetap main, buat konten, agar CFW di Dukuh Atas tidak kehilangan semangatnya dan dilupakan. Ini harus tetap terpelihara,” ujar Ale, Kamis (25/8/2022).
Menurutnya, CFW yang muncul secara natural dari kemeriahan cara berbusana ala Citayam atau eksentrik memberikan dampak positif tidak hanya secara ekonomi tetapi juga menjauhkan anak-anak muda dari pengaruh buruk lingkungan dan sosial.
Banyak dari anak-anak muda tersebut merupakan kalangan ekonomi tak mampu sehingga ketika mereka datang ke ruang publik bisa melepas beban permasalahan mereka dengan mengekspresikan diri melalui cara berpakaian, membuat konten, berbagi ide, pengamalan dan cerita. Keberadaan CFW pun membawa berkah kepada pelaku usaha kecil seperti pedagang kopi keliling yang bisa mendapatkan pundi rupiah Rp 500.000-700.000 per hari.
“Redup atau hilangnya CFW berdampak luas untuk anak-anak muda untuk berekspresi dan mencari penghasilan tambahan dari membuat konten. Di sini mereka merasa diterima dan jauh dari pengaruh buruk. Kita juga di sini secara tak langsung membantu para pedagang kecil. Ketika kegiatan CFW sepi penghasilan mereka pasti jauh berkurang,” ujar Ale.
Ale berharap, CFW bisa dilihat dari banyak sisi positif. Bahwa ada masalah sampah dan parkir liar dari ramainya pengunjung harus dipikirkan jalan keluarnya. Selain kesadaran bersama menggunakan transportasi publik dan menjaga kebersihan lingkungan oleh pengunjung, perlu juga ada dukungan oleh pemerintah agar CFW tidak dikorbankan lalu hilang begitu saja.
“Aku berharap ada komunitas hingga pemerintah bersama duduk membahas CFW tetap ada. Aku juga mau jika ada yang mengajak berdiskusi oleh pemerintah atau pejabat. Jangan melihat CFW dari sisi negatifnya, tetapi banyak sisi positifnya. Ruang publik di Dukuh Atas memilik arti penting untuk anak-anak muda,” kata Ale.
Kehilangan simpati
Sosiolog dari Universitas negeri Jakarta Asep Suryana menuturkan, meredupnya CFW karena hilangnya simpati dan kepercayaan publik di Dukuh Atas yang seharusnya bebas dari kepentingan sekelompok tertentu atau diduga ada yang menunggangi ketenaran anak-anak bergaya ala model.
“Apresiasi kepada anak-anak ini yang kreatif. Lalu muncul kelompok yang memanfaatkan ketenaran anak-anak itu agar kelompok mereka juga diakui publik,” kata Asep.
Ruang publik sebagai tempat berekspresi harus dijaga dan dilindungi. Jangan sampai ruang itu hilang atau menjadi tempat yang memberikan pengaruh negatif pada anak-anak. Ruang publik juga bisa menjadi ruang belajar dan panggung-panggung kreasi lainnya.
Fasilitas ruang belajar ini ke depan yang harus disediakan oleh pemerintah dengan mengadakan workshop atau pelatihan di lokasi. Tidak hanya di Kawasan Dukuh Atas, tetapi ruang publik lainnya di Jakarta dan secara luas di Jabodetabek.
Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga menjelaskan, anak-anak fashion ala CFW merupakan gerakan spontanitas dan tidak ada ekspetasi menjadi ramai dikunjungi dan disorot.
Gerakan spontan atau tak terencana itu kemudian membuat CFW tidak bertahan lama karena tidak ada dukungan kongkrit dan nyata sejak kemunculan awalnya terutama dari pemerintah. Hal ini pula menyebabkan CFW menimbulkan berbagai masalah. Anak-anak muda yang memanfaatkan ruang publik pun tidak terlindungi dari pengaruh-pengaruh negatif.
“Dukuh Atas masih bisa digunakan untuk anak-anak muda itu. CFW ini memiliki citra positif. Semangat kemenangan anak muda terutama dari daerah pinggiran yang menaklukkan ibu kota. Terbukti memberikan inspirasi kepada anak-anak muda dan kota-kota lainnya. Ini perlu dilihat oleh pemerintah sebagai aset untuk ditata lagi secara menyeluruh. CFW ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata baru bahkan menjadi ikon,” ujar Nirwono.
Baca juga: Gamang Merespons Gerakan Warga di Ruang Publik
Secara latar belakang anak-anak ini memanfaatkan ruang publik karena kurangnya fasilitas serupa di tempat mereka, lalu masalah ekonomi, pendidikan, hingga perhatian dari keluarga. Ruang publik yang ramai dikunjungi membuktikan bahwa pemerintah berhasil. Hanya saja pemerintah justru tidak siap dengan ramainya pengunjung yang memanfaatkan ruang publik.
“Ini malah kontraproduktif. Tidak ada jangka panjang dari gerakan anak-anak itu atau CFW. Yang muncul justru berbagai larangan dan mau dipindahkan. Pemerintah tidak melihat ruang publik sebagai kebangkitan kreativitas anak-anak muda. Upaya untuk menghidupkan ruang publik di tempat lain dengan berbagai kegiatan dan pelibatan komunitas atau langsung mengajak anak-anak muda sejak CFW dilarang juga tidak ada,” kata Nirwono.
Menurut Nirnowo, pemerintah daerah di Jabodetabek harus melihat pentingnya ruang publik bagi anak-anak muda dan keluarga karena bukan sekadar ruang berkumpul saja tetapi menjadi tempat aman dari pengaruh buruk.
“Akan muncul rasa aman di dalam komunitas yang memanfaatkan ruang publik. Menjadi pertanyaan kenapa mereka pergi ke ruang publik. Sudah amankah mereka di lingkungan keluarga dan sosial yang bisa berpengaruh buruk seperti kekerasan jalanan, tawuran, dan narkoba. Itu kenapa ruang publik begitu penting. Rasa aman di ruang publik pun harus dijaga oleh pemerintah,” ujar Nirwono.
Baca juga: Dibuat Si Papa, Diokupasi Si Kaya