Respons pemerintah terhadap fenomena Citayam Fashion Week mirip dengan kebijakan penutupan Tebet Eco Park.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Jakarta memiliki banyak ruang ketiga yang berpotensi melahirkan ruang-ruang ekspresi baru. Citayam Fashion Week dan Tebet Eco Park adalah wujud nyata gerakan warga yang berangkat dari keresahan hingga mampu meramaikan ruang-ruang publik di Ibu Kota. Sayangnya, pemerintah daerah masih gamang menyikapi gerakan-gerakan yang tumbuh dari kalangan akar rumput.
Kawasan Blok M di Jakarta Selatan berpotensi menjadi ruang ekspresi baru. Kawasan itu dikelilingi simpul angkutan publik. Di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, letak stasiun-stasiun MRT berdekatan. Ada Stasiun Blok M BCA dan Stasiun Blok A. Di dekat dua stasiun itu juga terdapat halte bus Transjakarta hingga terminal bus Blok M. Di sisi berlainan, ada Jalan Sultan Hasanudin. Di tempat ini juga tersedia halte-halte bus Transjakarta yang jaraknya juga berdekatan.
Jalur pedestrian di Jalan Sultan Hasanudin, Jalan Melawai Raya, hingga Jalan Panglima Polim juga cukup luas dan lebar, dilengkapi zebra crossing, dan bebas dari parkir-parkir liar. Pada Kamis (28/7/2022) siang, berjalan kaki mulai dari Stasiun MRT Blok M BCA, kemudian melewati Jalan Melawai Raya, hingga tiba di Jalan Sultan Hasanudin yang ditempuh lebih kurang 10 menit tak menguras keringat. Udara di sepanjang jalur pedestrian itu sejuk lantaran banyak tumbuh pepohonan dan bunga-bunga hias.
Di kawasan Melawai Raya juga terdapat ruang terbuka hijau yang dikenal dengan sebutan Taman Melawai. Taman itu cukup rindang, tertata, dan sejuk. Taman ini salah satu sisinya berdampingan dengan salah satu pintu masuk ke Blok M Square. Di sisi lain, ada pusat kuliner yang dijajakan pedagang kaki lima.
Kawasan Blok M sejatinya sempurna dijadikan salah satu ruang ketiga atau ruang ekspresi yang tak kalah menawan seperti di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Blok M tak hanya menawarkan lanskap pengambilan gambar dan video nan instagramable berlatar belakang bangunan-bangunan tinggi lawas.
Di sana terdapat banyak pusat perbelanjaan, pusat kuliner, hingga tempat-tempat tongkrongan. Sebut saja, Blok M Plaza, Gulai Tingkungan Blok M, Pasaraya Blok M, Rooftop Bulungan Cafe, hingga M Bloc Space.
Kawasan Blok M yang aksesibilitasnya cukup baik ini hanya satu dari berbagai ruang publik di Jakarta yang bisa terus dimunculkan agar dapat dimanfaatkan warga sebagai ruang-ruang ekspresi baru. Singkatnya, daripada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencari kawasan lain untuk memindahkan keramaian orang di Citayam Fashion Week, alangkah lebih baiknya pemerintah menduplikasi ruang-ruang ketiga baru yang sudah tersedia untuk memecah konsentrasi publik yang kini terfokus ke Dukuh Atas.
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, Jakarta memiliki banyak ruang publik, seperti taman kota dan RPTRA. Namun, pengelolaannya sejauh ini masih terbatas dan minim kreativitas. Ruang-ruang publik itu bisa hidup dan dimanfaatkan warga sesuai kebutuhannya jika ada inisiatif dari pemerintah daerah menciptakan program-program yang dekat dengan kehidupan milenial.
”Sangat mungkin bisa dikembalikan ke taman kota. Tetapi, tergantung dari inisiasi program-program seni, kultural,” kata Rakhmat.
Syarat ruang ketiga
Munculnya fenomena Citayam Fashion Week di kawasan berorientasi transit Dukuh Atas akhir-akhir ini menimbulkan beragam polemik tak berujung. Ini terjadi setelah keramaian makin terpusat di sana dan mulai menimbulkan persoalan, seperti kemacetan, mengganggu akses pejalan kaki, menimbulkan kemacetan, kriminalitas, eksploitasi, hingga isu LGBT.
Ini menunjukkan pemerintah sebenarnya tidak siap mengantisipasi jika ruang publik yang mereka sediakan dihidupkan oleh warga kota. Pemerintah masih tidak memahami bagaimana warga memanfaatkan ruang ketiga. (Nirwono Joga)
Persoalan-persoalan yang muncul itu disikapi pemerintah daerah dengan wacana pemindahan, rencana penutupan, hingga ada usulan duplikasi dari sejumlah ahli perkotaan dan sosiolog. Berbagai wacana yang digulirkan itu dinilai sebagai kegamangan dalam menyikapi lahir dan tumbuhnya gerakan-gerakan yang dipelopori warga.
”Untuk menghidupkan ruang publik ketiga itu, ada tiga syarat utama. (Salah satunya) kegiatan itu harus orisinal, lahir dari keresahan anak-anak muda. Ekspresi itu bagian dari bentuk keresahan,” kata ahli tata kota Nirwono Joga melalui panggilan telepon, Kamis sore.
Remaja-remaja di Dukuh Atas dan memopulerkan Citayam Fashion Week merupakan remaja kalangan menengah ke bawah dari luar Jakarta yang hadir untuk menunjukkan eksistensinya di Ibu Kota. Artinya, kebutuhan ruang ekspresi yang ditunjukkan remaja-remaja pinggiran itu tentu saja berbeda dengan ruang ekspresi remaja-remaja di Ibu Kota.
Syarat lain melahirkan ruang ketiga adalah soal aksesibilitas. Ruang ketiga yang tersedia harus mudah digapai dan ramah di kantong. ”Dan jangan terlalu banyak aturan atau larangan. Salah satu syarat untuk orisinalitas lahir itu keluar dari aturan-aturan baku yang ada di masyarakat. Kreativitas itu lahir karena ada kebebasan,” ujar Nirwono.
”Pemerintah daerah di Jabodetabek harus memahami cara berpikir mereka. Jika ini dipahami, justru yang muncul adalah pemanfaatan ruang ketiga dengan diferensiasi kegiatan mereka,” tutur Nirwono.
Respons pemerintah terhadap fenomena Citayam Fashion Week mirip dengan kebijakan penutupan Tebet Eco Park. Saat tempat itu dibuka, publik berbondong-bondong datang ke sana. Akhirnya muncul persoalan, mulai dari berjubelnya pedagang kaki lima hingga parkir-parkir liar.
Pemerintah kemudian memutuskan menutup tempat itu. Ruang publik yang sebenarnya sudah dihidupkan warga malah gamang direspons pemerintah.
”Ini menunjukkan pemerintah sebenarnya tidak siap mengantisipasi jika ruang publik yang mereka sediakan dihidupkan oleh warga kota. Pemerintah masih tidak memahami bagaimana warga memanfaatkan ruang ketiga,” ucap Nirwono.