Seiring pelonggaran kegiatan masyarakat hingga 100 persen, kemacetan kembali mendera Jabodetabek. Pembangunan angkutan umum terintegrasi antarkawasan aglomerasi dan di tiap kota perlu dipercepat.
Oleh
STEFANUS ATO dan FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Kemacetan kembali mengakrabi warga Ibu Kota dan sekitarnya sejak pertengahan Juli ini. Seiring pelonggaran kegiatan hingga 100 persen atau kembali seperti sebelum masa pandemi Covid-19, jutaan kaum urban Jabodetabek kembali mondar-mandir ke tempat kerja, sekolah, dan berbagai keperluan lain.
Warga metropolitan ini pun dipaksa kembali bersiasat untuk dapat mencapai lokasi tujuan tepat waktu di tengah kemacetan. Bagaimana menghindari pembatasan kendaraan bermotor dengan kebijakan ganjil genap? Bagaimana berstrategi menghadapi moda transportasi umum yang selalu penuh sesak?
Arus lalu lintas di sejumlah ruas jalanan Ibu Kota kembali padat, Selasa (26/7/2022) sore. Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, yang mengarah ke wilayah Kota Tangerang, Banten, misalnya, tertutupi oleh sepeda motor hingga mobil pribadi. Mereka bahkan nekat menerobos jalur khusus bus Transjakarta.
Kalau mau penyesuaian, lebih baik tetap ada kebijakan WFO dan WFH.
Situasi yang sama ditemukan pula di Jalan Letjen S Parman, mulai dari depan Universitas Trisakti hingga mendekati Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Barat. Tak pelak, sejumlah bus Transjakarta tersendat di antara kendaraan berpelat hitam saat melintasi jalan itu.
Kepadatan lalu lintas yang meningkat di Jakarta saat jam sibuk, baik pada pagi hari maupun sore hari, memaksa sejumlah warga yang bekerja di Jakarta untuk bersiasat. Ada warga yang beralih ke transportasi publik dan ada juga yang bertahan menggunakan kendaraan pribadi.
Riris (29), karyawan swasta di Jakarta Selatan, bergantian menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum dari rumahnya di Kota Tangerang, Banten, ke kantornya di tengah Jakarta. Ibu satu anak itu mengendarai mobil berpelat ganjil saat tanggal ganjil sesuai kebijakan pembatasan kendaraan bermotor. Saat tanggal genap, ia menggunakan sepeda motor atau KRL dan MRT.
”Pakai mobil relatif lebih lancar karena kantor dekat akses keluar pintu tol. Kalau pakai KRL dan MRT, saya harus berangkat lebih awal,” katanya.
Riris biasanya masuk kantor pukul 08.00. Dia berangkat dari rumah mulai pukul 07.00 jika menggunakan mobil. Namun, jika menggunakan sepeda motor atau angkutan umum, dia memilih berangkat lebih awal, yakni pada pukul 06.00 atau 06.30.
Meski sering terjebak macet, Riris menilai kebijakan pengaturan jam kerja bukan solusi mengurai kepadatan lalu lintas di Ibu Kota. Dia lebih setuju jika kebijakan bekerja dari rumah tetap dipertahankan seperti saat kasus Covid-19 melonjak di Tanah Air.
”Kalau mau penyesuaian, lebih baik tetap ada kebijakan WFO dan WFH,” ujarnya.
Sulaiman (30), karyawan swasta yang bergerak di jasa konsultan bisnis, selama ini masih setia menggunakan sepeda motor. ”Halte Transjakarta terdekat saja kalau jalan kaki sekitar 30 menit. Apalagi, stasiun KRL, jaraknya lebih jauh lagi,” kata lelaki yang tinggal di Kemanggisan, Jakarta Barat, itu.
Bagi Sulaiman, menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor, masih jadi pilihan terbaik untuk menembus kemacetan di Ibu Kota. Dia lebih mudah untuk bermobilitas saat harus bertemu klien yang sering membuat janji bertemu tiba-tiba atau mendadak.
Mengurai kemacetan
Kemacetan lalu lintas di Ibu Kota mendorong Polda Metro Jaya mewacanakan pengaturan jam masuk kantor untuk membantu mengurangi kemacetan. Dari data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, 54 persen kemacetan di Jakarta terpusat pada jam sibuk, yakni pukul 06.00-09.00. Kemudian saat pulang kantor di atas pukul 15.00.
Kepadatan volume lalu lintas pagi hari bersumber, antara lain, dari tiga titik tol, yakni Cikampek, Jagorawi, dan Merak-Tangerang. Lalu, dari jalan arteri di kawasan Kalimalang, Cakung, Lebak Bulus, Jagakarsa, Lenteng Agung, hingga Daan Mogot.
”Semua masuk Jakarta pada waktu bersamaan sehingga kita semua harus bekerja sama, setiap instansi bisa mengatur waktu jam kerja karyawan untuk tidak masuk bersama-sama,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Usman Latif (Kompas.id, 22/7/2022).
Yang paling penting itu perluas dulu jangkauan angkutan umum
Pengamat transportasi publik Djoko Setijowarno mengatakan, upaya mengurai kemacetan di Jakarta tak optimal meski ada pengaturan jam masuk kantor. Ini karena masih terbatasnya layanan transportasi umum yang menggapai kawasan permukiman di Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
”Pergerakan orang itu tidak hanya di Jakarta, tetapi ada dari Bodetabek menuju Jakarta. Di 2015, pergerakan orang (dari Bodetabek) sekitar 4 juta orang. (Padahal) kereta rel listrik saja sehari hanya mampu menampung 1 juta orang,” kata Djoko.
Dari catatan Kompas, ada 8,8 juta warga di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang tidak terjangkau simpul angkutan umum massal. Cakupan layanan angkutan umum massal di Jakarta dan wilayah penyangganya masih sangat timpang. Di Jakarta, layanan angkutan umum sudah mampu menjangkau 96,1 persen penduduk, sementara di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) hanya menjangkau 26,2 persen dari total penduduk di wilayah tersebut (Kompas, 3/2/2022).
Menurut Djoko, untuk mengurai kepadatan lalu lintas di Ibu Kota, pemerintah daerah di Jabodetabek bersama pemerintah pusat harus terus menciptakan layanan-layanan angkutan umum terintegrasi untuk rute antarkota maupun di dalam tiap kawasan.
”Jadi, yang paling penting itu perluas dulu jangkauan angkutan umum,” kata Djoko.