Utang dan Keuntungan Latari Penjualan Bayi di Jakarta Utara
AM (51) menjual keponakannya yang berusia 8 bulan di Facebook dan Whatsapp lantaran orangtua si bayi belum melunasi utang. Selain untuk melunasi utang, dia juga hendak mengambil keuntungan pribadi.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
AM (51) mendekam di dalam tahanan Polres Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, karena menjual keponakannya yang berusia 8 bulan di Facebook dan Whatsapp. Kasus perdagangan bayi yang masih berulang ini sudah dalam pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kamis (21/7/2022).
AM menjual keponakannya lantaran orangtua si bayi belum melunasi utang sebesar Rp 11 juta. Mereka belum sanggup membayarnya karena ayah si bayi masih melaut dan baru kembali ke darat setelah 3-6 bulan.
Kepala Polres Pelabuhan Tanjung Priok Ajun Komisaris Besar Putu Kholis Aryana mengatakan, AM menagih utang sambil mengancam bakal mengusir ibu si bayi dari kontrakan dan melaporkan ke polisi. Kedua ancaman tersebut membuat orangtua bayi pasrah dan mengikuti inisiatif tersangka untuk menjual keponakannya.
”Bayi dijual melalui Facebook dan Whatsapp sebesar Rp 30 juta. Selain untuk lunasi utang, juga untuk keuntungan pribadi tersangka,” katanya.
Satuan Reserse Kriminal Polres Pelabuhan Tanjung Priok menelusuri unggahan penjualan si bayi. Obrolan dengan pelaku berlanjut ke Whatsapp hingga tercapai kesepakatan.
Polisi yang menyamar langsung mendatangi pelaku di salah satu hotel di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. AM ditangkap dan terancam pidana 15 tahun penjara.
Kami sudah terinfo dan akan awasi penanganannya. Kami masih berkoordinasi untuk penanganan keluarga dan bayi berusia 8 bulan tersebut. (Ai Maryati Solihah-KPAI)
Komisioner Perlindungan Khusus Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah secara terpisah mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan kasus penjualan bayi berusia 8 bulan itu setelah diungkap Polres Pelabuhan Tanjung Priok.
”Kami sudah terinfo dan akan awasi penanganannya. Kami masih berkoordinasi untuk penanganan keluarga dan bayi berusia 8 bulan tersebut,” ujarnya.
Dalam catatan pelanggaran hak anak tahun 2021 dan proyeksi pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak tahun 2022, KPAI melaporkan, ragam pelanggaran hak anak masih terjadi, baik pemenuhan hak maupun perlindungan khusus anak. Pengaduan masyarakat jumlahnya fluktuatif, tahun 2019 sebanyak 4.369 kasus, tahun 2020 berjumlah 6.519 kasus, dan tahun 2021 sebanyak 5.953 kasus.
Kasus kekerasan fisik atau psikis pada anak banyak terjadi di Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara. Dari pengaduan yang masuk, tren kasus pada perlindungan khusus anak didominasi enam kasus tertinggi, yakni anak korban kekerasan fisik atau psikis, korban kejahatan seksual, korban pornografi dan kejahatan siber, korban perlakuan salah dan penelantaran, anak dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, dan anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku.
Umumnya pelaku kekerasan terhadap anak ialah orang yang dikenal dan sebagian kecil tidak dikenal. Mereka terdiri dari teman korban, tetangga, kenalan korban, orangtua, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan, serta aparat.
Berulang
Perdagangan bayi, khususnya di Ibu Kota, masih berulang terjadi. Salah satu penyebabnya ialah kemiskinan.
Pemberitaan Kompas merekam beberapa kasus itu. Gara-gara harus membayar utang dalam waktu dekat, Santi (24, bukan nama sebenarnya), warga Kampung Beting Remaja, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, nekat menawarkan bayi yang masih di dalam kandungannya sebesar Rp 1 juta. Uang ini direncanakan akan dipakai untuk membayar utang Rp 550.000 dan sisanya untuk ongkos persalinan (Kompas, 15/2/2010).
Lantaran tidak bisa membayar sisa kontrakan, pemilik rumah menahan sertifikat juru mudi kapal milik suami Santi, Anto (29, juga bukan nama sebenarnya). Akibatnya, Anto tidak bisa bekerja lagi sebagai juru mudi kapal penarik tongkang (tugboat).
Pada kasus lainnya, wanita berinisial SW (30) menjual anaknya, FT (3 bulan), demi mendapatkan Rp 14 juta. Perdagangan anak ini merupakan kelanjutan dari pengungkapan kasus eksploitasi anak sebagai pengemis di Jakarta Selatan.
Wakil Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Surawan, Kamis (31/3), mengatakan, polisi juga menangkap dua wanita yang berperan sebagai perantara di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan. Untuk memancing tersangka, anggota kepolisian menyamar sebagai calon pembeli bayi.
Kepada polisi, SW mengaku terdesak kebutuhan ekonomi sehingga nekat menjual anaknya.
Pada tahun 2017, seorang ibu, A (38), warga Kelurahan Tugu Utara, Jakarta Utara, menjual bayi laki-lakinya untuk dirawat orang lain pada Agustus. A mendapat Rp 2 juta dari praktik tak manusiawi itu.
A dibantu sejumlah penghubung atau calo untuk mendapatkan keluarga pengasuh bayi yang saat itu baru berusia delapan bulan. Namun, A lalu menyesal dan menghendaki buah hatinya, MF, kembali.
Ketua RW 019 Tugu Utara Ricardo Hutahaean pun memfasilitasi agar bayi dikembalikan, apalagi praktik tersebut terindikasi sebagai adopsi ilegal, bahkan mengarah ke tindak pidana penjualan anak. Dua perempuan yang sekitar sebulan ini mengasuh si bayi pun menyerahkan bayi, Selasa (26/9), di rumah salah satu penghubung di Warakas, Jakarta Utara.
Isu kemiskinan, kurangnya informasi atas hak anak, serta minimnya pengetahuan tentang hukum disebut sebagai beberapa faktor yang melatari terjadinya jual beli anak ini. Masyarakat ataupun pemangku kebijakan perlu serius mengatasi berbagai isu sosial ini agar jual beli bayi tak terus berulang.