Guru di Tangerang Selatan Cabuli Tiga Murid Laki-laki
Guru SMP di Tangerang Selatan, Banten, mencabuli tiga murid laki-laki dengan modus mengancam. Peristiwa ini menambah panjang deretan kekerasan seksual kepada anak di wilayah Jabodetabek.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama negeri di Kecamatan Curug, Tangerang Selatan, Banten, mencabuli beberapa murid laki-lakinya. Polisi sejauh ini baru menerima dan menyelidiki laporan dari tiga korban yang sebelumnya mengadu ke sekolah.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan dalam keterangannya, Selasa (19/7/2022), menyampaikan, Kepolisian Resor Tangerang Selatan menerima laporan dari pihak ketiga korban pada 16 Juli 2022. Guru yang menjadi pihak terlapor kasus ini berinisial AR (28). AR adalah guru agama serta pelatih ekstrakurikuler Pramuka dan paskibra. Adapun pelapor adalah murid laki-laki di bawah umur berinisial RPH (13), JNF (14), dan AHRJ (17).
”Modus pelaku mengancam ketiga korban untuk dicabuli. Salah satu ancaman akan dikeluarkan dari paskibra yang ada di sekolah, kemudian dikeluarkan dari Pramuka di sekolah apabila menolak ajakan tersangka,” kata Zulpan di Jakarta.
Perbuatan AR pertama kali diceritakan korban pada 12 Juli 2022. Salah satu korban pencabulan bercerita kepada teman-temannya yang juga pernah mengalami hal sama. Ketiga korban kemudian bercerita kepada guru sekolah sehingga pihak guru menghubungi orangtua mereka.
”Kemudian, pihak guru juga menghubungi anggota binmas untuk melaporkan ke pihak kepolisian. Berangkat dari hal ini, Polres Metro Tangsel langsung ambil langkah cepat secara responsif, yaitu pemeriksaan korban dan visum sehingga dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana,” tuturnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangsel Ajun Komisaris Aldo Primananda Putra menambahkan, berdasarkan penyidikan, pelaku yang sudah beristri itu beberapa kali mencabuli korbannya di kamar mandi sekolah, seperti di sela-sela kegiatan Pramuka.
Setelah laporan dibuat pada Sabtu pekan lalu, AR ditangkap pada Minggu (17/7/2022) di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. AR pun mengakui kesalahannya setelah ditunjukkan bukti kejahatan. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, AR disangkakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ia terancam hukuman 5 tahun sampai 15 tahun penjara.
Ini masih terus kami dalami. Tak tertutup kemungkinan ada korban lain.
Kasus ini menambah deretan kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur di lingkungan sekolah di wilayah Jabodetabek. Belum lama ini, Polda Metro Jaya mendalami empat terlapor di Pondok Pesantren Istana Riyadhul Jannah, Beji, Depok, Jawa Barat, dari laporan murid perempuan mereka.
Empat terlapor ini di antaranya tiga bekas pengajar laki-laki berinisial I, R, dan D. Satu terlapor lainnya adalah siswa senior berinisial P yang masih di bawah umur. Endra Zulpan, Kamis (7/7/2022), masih memastikan empat terlapor akan menjadi tersangka setelah laporan pertama dibuat pada 21 Juni 2022.
Implementasi aturan
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, Indonesia tengah menghadapi darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan. Salah satu faktor yang menjadi sorotan adalah pihak guru, orangtua, siswa, hingga pengawas sekolah belum paham dengan regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan.
Ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. Sayangnya, sangat jarang sekolah punya gugus tugas pencegahan kekerasan.
”Setiap sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses masyarakat,” kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, melalui keterangan tertulis, 15 Juli 2022.
Selain jarang yang menyediakan layanan pengaduan tindak kekerasan, Satriwan menyayangkan masih banyak sekolah yang justru menutupi kasus kekerasan untuk melindungi nama baik sekolah.
”Yang ada sebaliknya, jika terjadi kasus kekerasan, manajemen sekolah berupaya sekuat tenaga merahasiakan agar tak tercium sampai ke luar, demi nama baik institusi,” ujarnya.
Pengawas sekolah, menurut dia, juga hanya memedulikan aspek administrasi pembelajaran belaka, bukan fokus pada pembinaan, pembimbingan, pelatihan, penilaian, pemantauan, dan evaluasi kepada kepala sekolah, guru, dan program sekolah, salah satunya terkait pencegahan kekerasan.
Selain itu, P2G juga menyoroti belum adanya aturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag dinilai sangat tertinggal dari Kemendikbudristek dalam hal regulasi ini.
”Sangat disayangkan, padahal tiap hari potensi kekerasan terus terjadi, tetapi Kemenag lambat dalam meresponsnya secara regulasi,” pungkasnya.