Sisi Lain Dunia Malam Jakarta
Hiburan malam tak terpisahkan dari kehidupan perkotaan, seperti Jakarta. Warga kota menikmatinya dengan beragam tujuan, seperti sosialisasi dan rekreasi. Keberadaannya pun menjadi salah satu penggerak roda perekonomian.

Petugas Sat Pol PP DKI Jakarta saat menutup Holywings Tanjung Duren, Jakarta Barat, Selasa (28/6/2022) pagi.
Gadis muda berpakaian you can see memainkan musik bertempo cepat dan rancak di atas panggung. Seketika orang-orang berjoget ria di bawah kerlip lampu disko. Muda mudi larut dalam entakkan musik. Sebagian lagi berjoget, berangkulan, sambil menyesap minuman beralkohol dalam gelas kaca yang digenggam.
Sejumlah lelaki yang duduk bersama gadis-gadis menggoyangkan kepala dan tangan. Sesekali mereka berbisik, lalu cekikikan. Tak lupa, alkohol dalam gelas membasahi bibir dan tenggorokan di sela obrolan sepanjang malam.
Suasana dalam gedung setara luasan lapangan bola basket, di bilangan Jakarta Selatan, pada suatu malam, medio Juni 2022, itu riuh. Masing-masing orang larut dalam pesta kecil itu dengan alasan dan tujuan yang berbeda. Hanya satu hal yang sama dari beragam pengunjung malam itu, semua pulang dalam keadaan sempoyongan.
Bagi Nabila (29), karyawan swasta di Jakarta Selatan, hiburan malam sudah jadi bagian dari gaya hidup. Dia tak rutin, tetapi cukup sering berkunjung ke sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta.
”Gue enggak menentu, sih, kadang seminggu bisa dua kali. Tergantung teman saja karena, kalau ke sana sendiri, juga enggak enak, kan. Terus akhirnya kalau ke sana sendiri atau berdua itu karena mau habisin keeping-an (sisa minuman yang tak dihabiskan saat kunjungan sebelumnya),” kata Nabila, Kamis (30/6/2022) sore.
Perempuan yang mengenal hiburan malam sejak sekolah menengah atas itu berkunjung sekadar menikmati suasana. Menikmati hidangan makanan dan mengecap minuman beralkohol sebenarnya bisa di mana saja. Namun, suasana di bar disukai lantaran lebih ramai karena bisa leluasa bercengkrama.
Baca Juga: Buah Pahit Bermain Isu SARA

Suasana lantai salah satu bar di Jakarta padat oleh para pelanggan yang asyik berajojing hingga pagi.
Mereka juga sering kali nyaman mengobrol dengan para pengunjung lain, hingga waiters atau pelayan bar yang sudah dikenal. Berkunjung ke bar pun merupakan suatu hal yang dinilai normal. Suasananya hampir serupa dengan individu yang menikmati ruang terbuka sembari bersosialisasi dengan pengunjung lain. Singkatnya, ada interaksi sosial yang terjalin di sana.
”Sebenarnya bagian dari sosialiasi. Kayak menjaga pertemanan saja. Dan rata-rata waktunya malam sih, karena siang semuanya kerja, kan,” katanya.
Nabila mengenal baik pelayan-pelayan bar di tempat yang sering dia kunjungi dan saling bertukar kontak. Pelayan bar biasanya rutin menyiarkan pesan jika ada promosi, kegiatan konser musik, atau acara di tempat hiburan mereka. Promosi ini diakui berpengaruh dan seperti magnet yang mampu menarik minatnya untuk kembali lagi.
Langkah promosi ini pula dilakukan bar dan restoran di bawah manajemen Holywings. Salah satu kegiatan promosi reguler oleh tim pemasaran ialah promosi berdasarkan nama.
”Kami sudah tiga bulan melakukan promo ini. Misalnya, Toni dan Tina, Firman dan Feni, William dan Widya serta nama-nama lain yang cukup familiar di kalangan masyarakat Indonesia,” ujar General Manager Holywings Grup Yuli Setiawan saat hadir memenuhi panggilan Komisi B DPRD DKI Jakarta, Rabu (29/6/2022) siang.
Baca Juga: Pelanggaran Holywings dan Sengkarut Izin Usaha di Jakarta
Strategi pemasaran berbasis nama ini berakhir dengan kemarahan publik. Holywings dinilai menyinggung SARA setelah unggahan promosi satu botol minuman beralkohol secara gratis bagi pemilik nama Muhammad dan Maria.
Enam karyawannya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Manajemen mengaku bersalah dan telah memohon maaf secara terbuka ke publik.
Holywings menyebut tindakan enam karyawan pemasarannya tanpa sepengetahuan manajemen alias kecolongan. Sebanyak 36 dari 38 gerai pun telah ditutup. Penutupan sebagian gerai atas inisiatif manajemen dan ada yang ditutup oleh pemerintah daerah.

Penutupan izin usaha Holywings Reserve Senayan, Jalan Gerbang Pemuda 3, Jakarta Pusat, oleh Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Masalah perizinan
Di Ibu Kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup dan mencabut izin dari 12 gerai Holywings yang tersebar di empat kota administratif. Holywings melanggar sejumlah perizinan, terutama izin penjualan minuman keras.
Langkah penutupan dan pencabutan izin itu dipertanyakan anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta. Sebagian anggota legislatif Ibu Kota sepakat Holywings bersalah. Namun, soal perizinan mereka menduga pelanggaran perizinan tak hanya dilakukan oleh Holywings. Pelanggaran ini juga menunjukkan ada kelemahan pengawasan pemerintah.
”Sebenarnya di luar sana masih banyak tempat yang mungkin jauh lebih menyeramkan. Saya melihatnya seperti fenomena gunung es di atas permukaan air,” ucap anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak.
Kepala DPMPTSP DKI Jakarta Benny Agus Chandra pun mengakui kekurangan itu. Di Jakarta, ada sekitar 1.700 sertifikat standar KBLI, termasuk Holywings, yang perlu dilakukan pengecekan untuk memastikan ada kepatuhan dari pelaku usaha hiburan. Sertifikat standar KBLI 56301 merupakan Klasifikasi Baku Lingkungan Indonesia yang harus dimiliki oleh usaha bar, yakni usaha yang kegiatannya menghidangkan minuman beralkohol dan nonalkohol serta makanan kecil untuk umum di tempat usahanya.
Daerah, kata Benny, juga memiliki peran terbatas lantaran pengurusan izin usaha jadi kewenangan pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Prosedur pengurusan izin diajukan pelaku usaha secara daring melalui Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA). OSS RBA merupakan perizinan daring terpadu dengan pendekatan berbasis risiko yang diproses oleh BKPM.
Kasus Holywings ini tidak secara instan terjadi. (Ada) kaitan dengan cara berpikir masyarakat yang dibentuk dari menguatnya politik identitas sejak enam atau tujuh tahun lalu.

Pemandangan metropolitan Jakarta menjelang malam, Rabu (13/9). Penggunaan data dan informasi geospasial yang terintegrasi dengan data dasar lain seharusnya menjadi acuan dalam perencanaan kota. Dengan laju urbanisasi yang tinggi, penggunaan data yang detail akan menjadi pengarah kebijakan.
Gaya hidup perkotaan
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai, keberadaan tempat hiburan malam di Jakarta kebutuhannya eksklusif atau segmentif. Masyarakat perlu bisa menerima kalau di tempat-tempat itu tersedia minuman beralkohol dan berbagai wisata malam sejenisnya.
”(Namun), ini akan menjadi bermasalah ketika ada sensitivitas yang menyulut mereka. Wisata malam Jakarta, misalnya, di Jalan Jaksa, sudah berlangsung sejak lama. Selama ini baik-baik saja, ke situ menikmatinya, lihat-lihat, jalan-jalan,” ucap Rakhmat, Kamis (30/6).
Sesuatu yang terlihat biasa itu suatu saat bakal menjadi problematik ketika konstruksi berpikir masyarakat memahaminya berbeda. Cara pandang dimaksud, misalnya terkait dengan identitas, maka tak akan ada titik temu karena bakal bertolak belakang.
”Bakal menjadi masalah di kemudian hari kalau konstruksi berpikirnya dilembagakan sedemikian rupa dengan kasus yang sama di Holywings. Ada kasus, kemudian blow up, tutup, karyawannya ke mana. Akhirnya berulang dan jadi preseden buruk di kemudian hari kalau solusinya hanya penutupan,” tutur Rakhmat.
Baca Juga: Ada 12 Holywings di Jakarta Ditutup Sementara
Di lain sisi, tempat hiburan malam, hotel, dan kegiatan wisata malam sejenisnya di wilayah perkotaan dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Kota merupakan ruang sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat besar dan kompleks.
Keragaman etnis, budaya, agama, dan struktur ekonomi dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai tempat kemudian membentuk warga kota dengan kehidupan yang serba dinamis. Sebagai warga kota, konstruksi berpikir yang ditonjolkan sejatinya merupakan cara berpikir kota.
”Sebagai warga kota, kita harus tersadarkan kalau kota itu sangat kompleks, heterogen. Sekarang Jakarta itu terkoneksi dengan kota-kota luar negeri, seperti di Asia Tenggara, di dunia, karena pengaruhnya sangat cepat di era digital ini,” tuturnya melanjutkan.

Pemadangan langit senja di Jakarta yang terlihat dari Jembatan Tanah Abang, Jakarta, Minggu (12/12/2021). Pemandangan senja yang indah pun menjadi salah satu daya tarik sendiri bagi sejumlah warga yang melintasi kawasan tersebut. Pemandangan senja yang menarik perhatian semacam ini sering muncul setelah hujan di sore hari.
Sebagai kota global, warganya sudah harus memiliki kesadaran kosmopolitan, yakni bahwa, sebagai warga kota, setiap individu harus punya basis pertahanan diri moralitas, pertahanan religius, dan basis kemampuan ekonomi agar dapat berjalan beriringan dengan gaya hidup perkotaan yang melaju cepat. Pertahanan yang mumpuni bakal menjadi bekal untuk bertahan, beradaptasi, dan merespons positif kemajuan kota.
Jika salah satu dari mekanisme pertahanan itu timpang, individu tersebut tidak bisa beradaptasi. Misalnya, basis keragaman individu yang terlalu indoktrinatif atau dogmatis, maka tidak bisa merespons kehidupan kota. Artinya, cara berpikir tersebut di tengah perubahan atau pertumbuhan kota dinilai tak kompatibel.
”Cara berpikir keagamaan, moralitas, dan ekonomi itu adalah cara berpikir yang harusnya moderat. Memiliki moderasi untuk merespons perubahan zaman, kehidupan kota,” tutur Rakhmat.
Promosi Holywings memang salah dan keliru sehingga menyulut kemarahan publik. Namun, sensitivitas publik ini disebut tak terbentuk secara instan. Ada riwayat panjang di masa lalu.
”Kasus Holywings ini tidak secara instan terjadi. (Ada) kaitan dengan cara berpikir masyarakat yang dibentuk dari menguatnya politik identitas sejak enam atau tujuh tahun lalu,” kata Rakhmat.
Situasi ini, lanjut Rakhmat, tidak bisa terus dibiarkan. Bangsa Indonesia memang berbeda dan itu suatu keniscayaan. Bangsa ini punya otoritas-otoritas, seperti negara, pemerintah, lembaga-lembaga perguruan tinggi, serta lembaga nonpemerintah yang harus saling berperan meminimalisir dan merendam polarisasi tersebut.
Baca Juga: Pelaku Usaha Jangan Permainkan Izin dan Sensitivitas Sosial