Mantan Kepala Dinas hingga Kepala Desa Korupsi Pengadaan Lahan di Serang
Para tersangka memalsukan Surat Keputusan Bupati Serang Nomor 539 tanggal 11 Mei 2020 untuk pengadaan lahan stasiun peralihan antara, kemudian menggelembungkan biaya pengadaan lahan dari Rp 330 juta jadi Rp 1,34 miliar.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Mantan kepala dinas, kepala bidang selaku pejabat pembuat komitmen, camat, dan kepala desa kompak mengorupsi anggaran pengadaan lahan stasiun peralihan antara atau SPA pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang di Banten.
Mereka memalsukan surat keputusan bupati, menggelembungkan harga lahan, dan tidak membayar secara langsung kepada pemilik lahan yang akan digunakan sebagai sarana pemindahan sampah dari alat angkut kecil ke alat angkut lebih besar lantaran lokasi tempat pembuangan akhir berjarak lebih dari 25 kilometer.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten menetapkan mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang Sri Budi Prihasto (61), Kabid Sampah dan Taman selaku pejabat pembuat komitmen Toto Mujiyanto (47), Camat Petir Asep Herdiana (57), dan Kepala Desa Negara Padang Toto Efendi (48) sebagai tersangka pada Senin (30/5/2022). Mereka beserta barang bukti korupsi bakal dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Banten untuk diajukan ke meja hijau.
Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Ditreskimsus Polda Banten Komisaris Dony Satria Wicaksono menyebutkan, penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan lahan SPA bermula dari laporan polisi pada 12 Oktober 2021.
Sejak saat itu, penyidik memeriksa 32 orang, terdiri dari 25 aparatur sipil negara lingkup Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Serang, Kecamatan Petir, dan perangkat Desa Negara Padang, serta 7 orang dari pemilik lahan. Penyidik juga meminta pendapat empat ahli tentang perbendaharaan negara, auditor, ahli pidana, dan ahli hukum tata negara.
”Tersangka memalsukan Surat Keputusan Bupati Serang Nomor 539 tanggal 11 Mei 2020 untuk pengadaan lahan SPA yang awalnya di Desa Mekarbaru menjadi di Desa Negara Padang karena ada penolakan warga,” ucapnya.
Setelah suskes memalsukan surat keputusan bupati, mereka menggelembungkan biaya pengadaan lahan lebih dari 300 persen. Harga tanah seluas 2.561 meter persegi yang awalnya Rp 330 juta meroket jadi Rp 1,34 miliar. Akibatnya timbul kerugian negara Rp 1,01 miliar.
Eselon 2 dan 3 sudah ada perubahan, tetapi sekarang bergeser ke eselon 4 dan staf. Sebenarnya korupsi seperti sindikat.
Selanjutnya, tersangka tidak membayar secara langsung kepada pemilik tanah. Pembayaran tersebut melalui Kepala Desa Negara Padang Toto Efendi.
”Pemilik lahan tidak pernah dilibatkan dalam tahap sosialisasi. Pemilik lahan hanya hadir saat penandatangan peralihan hak atas bidang tanah atas nama Ajali di kantor desa dan kantor camat,” katanya.
Penyidik menyita dokumen pengadaan lahan, bukti transaksi, dan uang senilai Rp 300 juta. Para tersangka terancam minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Kabidhumas Polda Banten Komisaris Besar Shinto Silitonga menambahkan, Polri berkomitmen menindaklanjuti tindak pidana korupsi secara maksimal dengan pasal berlapis, termasuk menyita aset-aset hasil korupsi.
Korupsi di ”Tanah Para Jawara” seakan langgeng. Pelakunya mulai dari level desa hingga pejabat daerah.
Mantan Gubernur Banten Wahidin Halim menyebutkan, korupsi di Banten rumit karena sudah berurat dan berakar. Upayanya dengan menaikkan tunjangan kinerja dan honor tak ampuh karena korupsi tetap ada.
”Eselon 2 dan 3 sudah ada perubahan, tetapi sekarang bergeser ke eselon 4 dan staf. Sebenarnya korupsi seperti sindikat. Yang terlibat tidak hanya orang dalam, tetapi juga bekerja sama dengan orang luar,” tuturnya.
Kerja sama orang dalam dan orang luar itu berbahaya karena jaringannya cukup luas. Wahidin melihat bahwa pimpinan organisasi perangkat daerah sepertinya tidak mampu lagi untuk mengawasi secara ketat.
”Waktu saya terlalu singkat. Apalagi ada masalah Covid-19, Bank Banten, bencana tsunami, gempa bumi, dan sebagainya,” katanya sebelum mengakhiri masa jabatan sebagai gubernur selama 10 tahun di provinsi paling barat Pulau Jawa itu.