Mengasah Bakat, Menambah Teman di ”Skatepark” di Pasar Rebo
Bukan sekadar tempat kumpul, melainkan ruang publik perkotaan harus punya fungsi sehingga bisa jadi lokasi bersama untuk belajar, berbagi, pengembangan bakat, hingga melahirkan atlet prestasi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Keberadaan skatepark di kolong jalan layang Pasar Rebo, Cijantung, Jakarta Timur, membawa kesadaran bersama untuk saling menjaga dan memanfaatkan ruang publik itu sebagai ruang berbagi dan menghargai.
Di lahan kosong tempat para pedagang kaki lima (PKL) dan pemulung tinggal disulap oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi skatepark pada Juli 2019 dengan biaya pembangunan sekitar Rp 14,3 miliar.
Para pencinta papan seluncur atau skateboard menyambut antusias keberadaan skatepark bertaraf standar internasional itu sejak dibuka untuk umum Januari 2020.
Bernard (41), anggota Komunitas Skateboard Pasar Rebo, mengatakan, saat perencanaan pembangunan skatepark, pemerintah melibatkan para komunitas dalam desain hingga terkait keamanan lintasan.
”Ini sudah sesuai standar bisa digunakan untuk yang baru belajar atau pro. Para komunitas dilibatkan. Apresiasi karena kolaborasi untuk membangun skatepark dibutuhkan. Bukan sekadar ruang publik atau tempat kumpul, melainkan harus ada meaning sehingga bisa jadi ruang untuk pengembangan bakat dan melahirkan atlet prestasi. Jadi, lintasannya tak boleh asal, perlu perhitungan. Ini juga menjadi tempat untuk belajar dan berbagi,” ujar Bernard.
Solidaritas dan kebersamaan untuk saling jaga dan bersih-bersih karena ada rasa memiliki tempat ini.
Selasa (5/4/2022) malam ternyata tidak hanya diramaikan oleh para skaters, tetapi ada sejumlah pemain sepatu roda. Bahkan, skatepark itu juga boleh digunakan untuk pemain BMX.
Meski memiliki cara bermain yang berbeda dan sebelumnya tak saling kenal, mereka saling berbagi sehingga suasana menjadi akrab. Mereka bergantian bermanuver dengan berbagai trik di obstacle atau lintasan, seperti pool, jumbox, down legde, banks, mini ramp, dan street course.
Keakraban itu tampak ketika secara bersama mereka menyapu dan mengeringkan lantai semen yang basah karena hujan. Alat-alat kebersihan itu pun mereka beli secara patungan.
”Solidaritas dan kebersamaan untuk saling jaga dan bersih-bersih karena ada rasa memiliki tempat ini. Kami beli sendiri sapu, tong sampah, dan alat kebersihan lainnya dari uang yang kami kumpulkan. Dari situ siapa saja yang datang bermain seperti muncul kesadaran sendiri untuk enggak buang sampah sembarangan,” kata Bernard (41), anggota Komunitas Skateboard Pasar Rebo.
Solidaritas tidak hanya terbangun dari para pemain, tetapi juga dalam kegiatan sosial dengan mengajarkan anak-anak jalanan dan peminta-minta, seperti manusia silver, untuk belajar bermain skateboard pada 2020.
Tanpa disadari, dari kegiatan itu ternyata menjadi perhatian beberapa orang untuk ikut terlibat membantu Bernard dan kawan-kawan lainnya.
”Ada yang melihat dan mendengar kegiatan kami di sini. Lalu ada donatur, ada pak polisi juga kasih kami bantuan agar kegiatan ini terus berlangsung. Jadi anak-anak silver itu, kami kasih gratis pakaian dan sepatu, juga makanan. Kami fasilitasi alat-alat safety dan skateboard-nya,” kata Bernard.
Namun sayang, kegiatan itu terhenti karena ada oknum yang tak senang para manusia silver itu menghabiskan waktu bermain skateboard.
”Anak-anak itu berhenti karena ada pengasuh atau abang-abangan yang meminta mereka kembali ke jalan untuk mencari uang. Padahal, anak-anak itu senang bisa bermain dan belajar di sini,” lanjutnya.
Jhoan Santaruna dan Renny Anthony Marlissa, pemain sepatu roda, menilai, keberadaan ruang publik di Jakarta masih kurang dan belum sepenuhnya menjadi ruang yang bisa mewadahi kreativitas dan ekspresi anak muda.
Padahal, jika ruang-ruang itu hidup, Jhoan dan Renny percaya energi dan ekspresi jiwa muda akan tersalurkan secara positif sehingga tawuran bisa diminimalisasi.
Ada eksistensi anak-anak muda yang perlu dihargai, diakui, dilihat, dan didukung melalui sebuah karya. Jika eksistensi itu tidak dihargai karena ketiadaan ruang ekspresi, saluran negatif menjadi cara menunjukan eksistensi itu.
”Yakin jika ruang-ruang itu ada dan beragam mewadahi ekspresi anak muda seperti olahraga dan kesenian lainnya, maka gesekan itu kecil. Di sini contoh kecil, ada kepercayaan, kesempatan untuk belajar dan berkembang tanpa melihat latarbelakang. Kita di sini bebas mau ngapain karena minat yang tersalurkan. Muncul kesadaran bersama untuk saling menjaga dan tidak merugi,” kata Jhoan.
Kalijodo
Keberadaan ruang publik juga juga dirasa penting oleh Dandi (43), warga Angke, yang berkunjung bersama putri bungsunya, Wulan (5), ke RPTRA Kalijodo.
Sembari menunggu berbuka puasa, Dandi menemani putrinya bermain wahana mobil mengelilingi Taman Kalijodo yang sejak awal bulan puasa masih sepi pengunjung.
”Taman ini paling sering dikunjungi karena dekat rumah saja. Senang karena ada banyak wahana permainan anak dan saya kadang membebaskan dia mau lari-lari terserah dia karena aman. Bahagia gitu loh lihat anak senang dan bebas bergerak. Makanya, dia senang banget diajak ke sini,” kata Dandi.
Tak hanya senang karena putrinya bebas melakukan apa saja, bagi Dandi, itu juga sebagai pelepas penat dari rutinitas pekerjaan, hirup pikuk, kepadatan, mobilitas tinggi di Kota Jakarta. Keberadaan ruang publik atau taman terbuka hijau yang ramah keluarga seperti oase.
”Kota ini perlu perbanyak oase-oase lainnya agar menyehatkan warganya. Ruang terbuka hijau yang aman, ramah, dan gratis harus diperbanyak karena kota ini terlalu sumpek. Ya, pembangunan mengarah ke manusianya, kebahagiaannya, rasa amannya, agar tidak stres dengan hirup pikuk kaku di kota ini,” ujar ayah dua anak itu.