Permukiman dan Sekolah di Marunda Terpapar Debu Batubara
Debu dari abu batubara kini menghantui anak-anak yang kembali belajar di sekolah. Paparan debu itu telah berdampak bagi kesehatan warga sekitar.
Oleh
ERIKA KURNIA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Debu batubara dari aktivitas logistik pelabuhan di kawasan Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, mengotori lingkungan di sekolah-sekolah di sekitarnya. Kondisi ini bisa berdampak lebih parah pada kondisi kesehatan anak-anak. Pemerintah diharapkan mencari solusi atas dampak lingkungan yang sudah menahun tersebut.
Minggu (13/3/2022) siang, Nurziah, petugas kebersihan di sekolah satu atap yang terdiri dari SDN Marunda 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08 Jakarta Utara, menyapu lantai sekolah dengan sapu ijuk sintetis. Cuaca cerah dan berangin membuat debu batubara mengotori sekolah yang hanya beberapa ratus meter dari pelabuhan.
"Ini kadang-kadang nggak ada beberapa hari, misalnya habis hujan. Tapi, kalau cuaca lagi bagus, apalagi lagi angin musim barat begini makin banyak debunya. Bisa tebal banget sampai item. Ini padahal Jumat udah dibersihin," tuturnya.
Pekerjaan membersihkan sekolah belakangan sering ia lakukan sejak pembelajaran tatap muka (PTM) kembali diterapkan. Namun, menjadi lebih sering lagi karena debu mengotori sekolah hampir setiap hari. Debu berbentuk kristal halus berwarna hitam itu terlihat mengotori ubin warna putih di sekolah berlantai empat tersebut.
Tidak hanya ubin di teras atau balkon, lantai hingga bangku sekolah juga bisa berdebu jika ada ventilasi yang terbuka saat angin membawa debu batubara tersebut. Dedaunan di pohon juga bisa berubah warna menjadi keabu-abuan saat tertutup debu.
Deni, petugas kebersihan lain di sekolah itu mengatakan, debu itu biasanya datang di pagi hari sekitar pukul 08.00. Pada jam itu kapal-kapal tongkang yang membawa batubara sedang berada di pelabuhan. "Pagi-pagi kita sampai bisa cium bau batubaranya. Baunya bisa bikin sesak," ujar warga Tanjung Priok tersebut.
Menurut Deni, hal sama dirasakan warga sekolah lain saat ada aktivitas pembelajaran. Apalagi sekolah satu atap itu menampung banyak murid, termasuk murid berkebutuhan khusus.
Masalah ini sudah Deni dan Nurziah ia rasakan sejak beberapa tahun belakangan. Nurziah juga pernah harus bergelut dengan debu batubara ini saat ia menjadi petugas kebersihan di sekolah lain di daerah Cilincing pada 2017.
Purwanto, Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah 2 Jakarta Utara mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Suku Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta Utara dan DLH DKI Jakarta.
Koordinasi itu dilakukan bersamaan dengan kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Fraksi PDIP Jhonny Simandjuntak, terkait dampak kesehatan dari pencemaran abu batubara pada 4 Maret 2022.
Pada kesempatan itu, ia mencatat ada dua sekolah yang mengalami masalah sama di daerah Marunda, yaitu sekolah satu atap SDN Marunda 05, SMPN 290 dan SLB Negeri 08, kemudian SDN 02. "Penjelasan dari pihak DLH, waktu dekat mereka akan kasih peneguran ke perusahaan (yang mengakibatkan paparan abu batubara)," katanya melalui telepon.
Menunggu tindak lanjut tersebut, pihaknya sudah menyarankan sekolah menutup jendela yang berhadapan langsung dengan pelabuhan. Warga sekolah pun diminta tetap memakai masker, selain dalam rangka mencegah penularan Covid-19 selama kegiatan PTM yang aktif mulai Januari 2022.
Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), juga menyoroti masalah itu setelah menerima informasi dari Jhonny. Pada Kamis (10/3), ia melakukan observasi di sekolah satu atap itu.
Ia melihat bahwa selama kegiatan pembelajaran dilakukan, para petugas kebersihan harus menyapu dan mengepel lantai sedikitnya empat kali. "Debu di lantai harus dibersihkan selama aktivitas PTM berlangsung dari pukul 6.30 sampai 13.00, karena ada sistem sif dalam PTM," kata Retno.
Dampak kesehatan
Selain observasi di sekolah, Retno bersama Johnny juga berbincang dengan warga Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda pada Jumat malam (11/3). Mengutip warga, pencemaran akibat aktivitas logistik yang membawa batubara itu kian memburuk dan berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak.
Kisah ibu empat anak di rusun itu, kata Retno, salah satu anaknya berkebutuhan khusus dan sensitif dengan udara kotor. Ibu itu terpaksa menitipkan anaknya ke neneknya demi kesehatan. Sebab, debu batubara kerap masuk rumah, sampai mengontaminasi makanan.
Kisah lain yang disampaikan penghuni rusun adalah seputar gatal-gatal dan gangguan pada bagian mata. Bahkan, ada yang harus dibawa ke rumah sakit.
Warga seperti Nurziah pun memiliki kekhawatiran yang sama pada kesehatan mereka. Ia yang telah lama tinggal di Cilincing dan kini menghuni Rusun Marunda sejak 2014 itu kerap batuk karena terpapar debu. Sama seperti Deni, ia takut jika harus memeriksakan diri ke dokter.
Seperti warga yang ditemui Retno, Nurziah mengatakan, masyarakat sudah melakukan upaya menghentikan penyebab masalah ini ke perusahaan yang terkait dengan aktivitas logistik itu di pelabuhan sekitar tempat mereka tinggal. Namun, perusahaan hanya merespons sekenanya, seperti dengan membagikan sembako.
"Ibu saya yang tinggal di daerah Pitung suka dapat sembako dari perusahaan. Itu aja sih. Kalau warga di Marunda sini kemarin sudah dimintai KTP dari RT/RW untuk urus protes soal ini," ungkapnya.
Atas temuan-temuan ini, KPAI pun merekomendasikan pemerintah dan instansi terkait mengatasi masalah polusi batubara dan dampak yang dialami warga Marunda. Selain pemerintah daerah, ia juga meminta pemerintah pusat turun tangan.
KPAI juga mendorong pelibatan laboratorium independen melakukan uji laboratorium pada air dan tanah, serta uji medis terkait dampak kesehatan yang dirasakan warga, khususnya anak-anak. Data pengelola Rusunawa Marunda, ada 10.158 penghuni Rusun Marunda di lima tower. Sebanyak 344 orang usia balita, sebanyak 1.457 orang anak-anak usia 5-13 tahun, 762 remaja usia 14-17 tahun, dan mayoritas usia dewasa 18 tahun ke atas dengan jumlah 7.595 orang.
KPAI juga berkoordinasi dengan organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan advokasi sesuai kewenangannya. Bagus Ahmad, Direktur Walhi Jakarta, yang dihubungi terpisah, mengatakan, mereka akan menindaklanjuti temuan itu minggu ini.
"Desakan kami, aktivitas bongkar muat batubara harus dihentikan. Sangat sulit untuk membuat win-win solution, karena dampaknya sangat berbahaya bagi masyarakat. Dalam kebijakan transisi (energi terbarukan), meninggalkan penggunaan batubara harus disegerakan," ujarnya.
Batubara banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan menghasilkan listrik. Adapun limbah hasil pembakarannya atau fly ash dan bottom ash (FABA) yang berbentuk abu tidak masuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bahan itu dikecualikan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, karena dinilai mampu memberikan manfaat karena dapat digunakan sebagai bahan baku pengecoran, bahan baku semen, batako, hingga paving. FABA juga dinilai tidak berbahaya jika dihasilkan dari pembakaran menggunakan temperatur tinggi.
Sementara itu, kata Bagus, FABA seharusnya tetap masuk dalam B3. Organisasi lingkungan lain seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, FABA berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena mengandung arsenik, merkuri, kromium, timbal, dan logam berat lainnya.