Selain mengusik kebutuhan masyarakat pada umumnya, seretnya pasokan minyak goreng ini membuat roda ekonomi usaha kecil terkendala.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Kelangkaan minyak goreng masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta, ibu kota negara dan kota paling besar se-Indonesia dengan sekitar 11 juta jiwa penduduk yang menjadi pasar terbesar pula untuk berbagai jenis bahan pangan, pasokan minyak goreng pun terus tersendat dalam beberapa pekan terakhir.
Selain mengusik masyarakat pada umumnya, seretnya pasokan minyak goreng ini membuat roda ekonomi warga terkendala. Pembelian minyak goreng dengan pembatasan, misalnya dikeluhkan sebagian pelaku usaha rumah tangga atau warung makan berskala kecil.
Pada Minggu (6/3/2022) siang, Kompas mendatangi sejumlah minimarket di wilayah Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Di sejumlah minimarket tersebut, rak-rak terisi minyak goreng kemasan dua liter atau satu liter. Namun, jumlah minyak goreng yang tersedia itu masih terbatas. Rata-rata rak yang didesain bertingkat tiga itu, minyak goreng yang terisi hanya di rak bagian atas.
Ferry (29), salah satu pegawai minimarket di Jalan Letjen Supeno, Grogol Utara, Kebayoran Lama mengatakan, minyak goreng yang tersedia di tempatnya bekerja masih langka. Hal ini yang menyebabkan pihaknya mengeluarkan minyak goreng dalam jumlah terbatas.
"Ini stok dari kemarin. Kami keluarkan sedikit-sedikit agar warga lain juga bisa dapat," kata Ferry.
Ekonom dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, kelangkaan minyak goreng di pasaran disinyalir akibat saluran distribusi yang terhambat. Pemerintah diminta untuk memperkuat pengawasan di lapangan untuk mengurai saluran distribusi yang terhambat, terutama potensi penimbunan.
Konsumsi minyak goreng rumah tangga kita itu 61 persen dari minyak goreng curah. Mereka ini kebanyakan kalangan menengah ke bawah (Rusli Abdullah)
Faktor lain yang juga turut menyebabkan kelangkaan minyak goreng, yakni pemenuhan kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah. Dari dua jalur distribusi minyak goreng yang ada, yakni distribusi minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah, fokus distribusi berupa minyak goreng kemasan ke ritel modern.
"Konsumsi minyak goreng rumah tangga kita itu 61 persen dari minyak goreng curah. Mereka ini kebanyakan kalangan menengah ke bawah," kata Rusli, saat dihubungi pada Minggu (6/3/2022) dari Jakarta.
Di tingkat produsen, kata Rusli, realisasi kebijakan memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) minyak kelapa sawit mentah (CPO) sudah mulai berjalan dan berdampak pada turunnya harga minyak goreng. Namun, realisasi dari kebijakan itu dinilai masih belum spesifik.
"Produsen saat mengekspor CPO, harus menyisihkan 20 persen ke pasar domestik. 20 persen ini masuknya ke pabrik minyak goreng yang mana, apakah minyak goreng curah atau kemasan," kata Rusli.
Kementerian Perdagangan diminta mengawal kebijakan ini agar pasokan CPO pabrik minyak goreng curah terpenuhi. Sebab, konsumsi minyak goreng rumah tangga sebagian besar masih berasal dari minyak goreng curah.
"Di awal-awal, subsidi ditujukan ke minyak goreng kemasan. Itu yang jadi penyebab minimarket baru buka, minyak goreng langsung habis," ucap Rusli.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengatakan, jaminan pemerintah terkait stok minyak goreng yang cukup harus diikuti dengan ketersediaan barang di pasaran. Sebab, jika masih ada kelangkaan minyak goreng di pasaran, berarti intervensi dari pemerintah belum efektif.
"Efektivitas kebijakan pemerintah itu ketika diikuti oleh pihak swasta. Dalam konsep minyak goreng, kebijakan pemerintah tidak efektif," ucap Sudaryatmo.
Pedagang mengeluh
Minyak goreng yang masih langka di pasaran dikeluhkan para pelaku usaha rumah makan skala kecil. Sebab, pembelian minyak goreng yang dibatasi itu menyebabkan kebutuhan minyak goreng untuk usaha warung makan tidak tercukupi.
Abdullah (40) salah satu pemilik warung makan di kawasan Benhil, Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengatakan, pihaknya mulai kesulitan mendapat minyak goreng selama satu pekan terakhir. Agen minyak goreng yang rutin memasok minyak goreng sebanyak 10 liter per tiga hari kini hanya mampu memenuhi kebutuhan warungnya dua sampai tiga liter.
"Jumlahnya juga terbatas. Sekali kirim dua liter atau tiga liter. Padahal, saya setiap hari itu butuh minimal tiga liter," kata Abdullah, pada Minggu sore.
Adapun untuk mengatasi kekurangan minyak goreng itu, Abdullah terpaksa sering berburu minyak goreng di ritel atau pasar tradisional. Namun, upaya mendapat minyak goreng di ritel juga tak mudah lantaran pembelian dibatasi, yakni hanya dua liter untuk setiap rumah tangga.
"Mau tidak mau saya kurangi menu. Seperti gorengan, beberapa hari ini tidak ada. Mau goreng ikan saja susah," katanya.
Keluhan Abdullah dan banyak warga ibu kota lainnya menjadi ironi. Warga dan pelaku usaha ini adalah ceruk pasar yang seharusnya tidak bisa dibiarkan tak terpenuhi kebutuhannya.
Dilihat dari sisi manajemen perkotaan, bahan pangan pokok seperti minyak goreng seharusnya harus selalu dipastikan terjaga pasokannya. Intervensi pemerintah pusat dan daerah masih belum disebut maksimal ketika faktanya urusan pasokan minyak goreng ini saja terus tersendat berpekan-pekan.
Padahal di lapangan, kini masyarakat juga tengah dihadapkan pada kenaikan harga daging sapi, daging ayam, hingga gula pasir.