Harga Kedelai Naik, Tempe dan Tahu Tetap Jadi Favorit
Makanan olahan kedelai, seperti tempe dan tahu, masih jadi pilihan favorit masyarakat. Pola konsumsi terhadap olahan kedelai rupanya tak terpengaruh signifikan oleh isu kelangkaan stok kedelai beserta kenaikan harganya.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
Awal tahun ini merupakan kondisi yang sulit bagi masyarakat karena kelangkaan serta kenaikan harga kebutuhan pokok, termasuk makanan olahan kedelai. Khusus kedelai, kelangkaan disebabkan oleh melonjaknya harga kedelai impor dan masih terbatasnya produksi kedelai lokal. Produksi kedelai lokal masih berada di bawah 80.000 ton per tahun, sementara kebutuhan kedelai domestik tiap tahunnya sekitar di atas 2 juta ton.
Permasalahan kurangnya stok kedelai lokal juga disebabkan oleh pola produktivitas para petani yang biasanya menanam kedelai sekali dalam setahun. Sementara di dua musim lainnya petani menanam padi.
Harga jual yang kurang optimal juga menjadi perkara lainnya. Pada 2021, misalnya, harga jual kedelai Gepak Ijo atau varietas yang paling banyak ditanam petani mencapai Rp 9.000 per kilogram. Padahal, idealnya varietas tersebut dijual di atas Rp 10.000 per kilogram (Kompas.id, 22 Februari 2022).
Pada pekan pertama Februari 2022, harga kedelai impor di Indonesia tembus Rp 11.240 per kilogram. Jika harga kedelai impor itu tembus Rp 12.000 per kilogram, harga tempe bisa naik Rp 300 per kilogram dan harga tahu naik Rp 50 per potong.
Persoalan kelangkaan dan kenaikan harga kedelai ini sebenarnya juga terjadi pada tahun lalu. Lonjakan harga kedelai di awal tahun 2021 tercatat dari harga sekitar Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 9.500 per kilogram. Imbasnya, sebagian pengusaha tempe dan tahu sempat mogok berproduksi demi menarik perhatian pemerintah agar turun tangan mengatasi lonjakan harga tersebut. Hal yang sama kini terulang kembali di awal tahun ini.
Hilangnya tempe dan tahu di pasaran tentu meresahkan sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengandalkan makanan olahan kedelai tersebut sebagai bahan pangan untuk lauk pauk sehari-hari. Hal ini berbeda dengan pemanfaatan kedelai di tingkat global yang justru lebih banyak memanfaatkan sebagai bahan baku pakan hewan ternak.
Dari data yang dirilis University of Oxford’s Food Climate Research Network (FCRN), setidaknya dari 2015 hingga 2019 ditemukan bahwa hanya 19,2 persen bahan baku kedelai yang dimanfaatkan sebagai bahan olahan makanan manusia. Sementara itu, lebih dari tiga perempat pemanfaatan kedelai digunakan untuk bahan pangan ternak dan sisanya untuk bahan bakar olahan industri.
Tempe favorit
Bagi masyarakat Indonesia, olahan kedelai memang paling banyak dibuat menjadi tempe dan tahu yang kemudian diolah untuk lauk pauk sehari-hari. Selain itu, kecap kemasan juga menjadi unsur penting di meja makan atau dapur yang digemari untuk membuat makanan menjadi manis dan gurih. Sementara susu kedelai (sari kedelai) digandrungi karena manfaatnya yang kaya nutrisi seiring gaya hidup sehat di tengah pandemi atau sebagai campuran minuman kopi kekinian.
Kenaikan harga dan kelangkaan bahan pangan olahan kedelai yang saat ini masih terjadi tidak memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Hal ini tergambar dari hasil Jajak Pendapat Kompas pada 22-24 Februari 2022.
Mayoritas responden (84,4 persen) mengaku masih tetap membeli makanan olahan kedelai atau tidak terpengaruh oleh isu kenaikan harga tersebut. Namun, ada 10,5 persen responden yang memutuskan untuk tidak membeli produk olahan kedelai sementara waktu, menunggu sampai harga kembali normal. Sementara itu, ada 3,3 persen responden yang mengaku tidak tahu sekali tentang isu kelangkaan dan kenaikan harga kedelai.
Dari segi jenis olahan, tempe menjadi juara favorit masyarakat dibandingkan bentuk olahan lainnya. Dalam pertanyaan multi jawaban, tempe disukai oleh 84,6 persen responden, sementara tahu disukai oleh 76,2 persen responden. Kedua lauk-pauk dari kedelai ini memang menjadi pasangan serasi dalam berbagai menu masakan masyarakat.
Olahan kedelai lainnya, seperti kecap yang digunakan sebagai campuran masakan atau makanan, disukai oleh sepertiga responden. Kurang diminatinya kecap karena fungsinya sebagai penyedap masakan dan juga dipengaruhi oleh selera makanan manis yang berbeda pada tiap orang.
Kegemaran terhadap makanan olahan kedelai juga terpotret dari frekuensi konsumsi masyarakat dalam sepekan. Hampir separuh responden mengaku mengonsumsi makanan olahan kedelai tersebut setiap hari (43,6 persen) atau setidaknya satu hingga tiga kali dalam seminggu (40 persen). Hanya 3,6 persen responden yang mengaku tidak mengonsumsi olahan kedelai dalam sebulan terakhir.
Tempe dan tahu juga menjadi lauk dengan daya tarik tersendiri bagi masyarakat ketika memesan makanan di rumah makan atau warung makan. Setidaknya sepertiga responden selalu memesan tempe dan tahu sebagai lauk favorit. Hal ini tidak mengherankan karena tempe dan tahu juga menjadi lauk pendamping andalan yang dijual di rumah makan.
Variasi olahan
Berkaitan dengan khazanah variasi olahan, kedelai tidak hanya sebatas diolah menjadi tahu, tempe, kecap, ataupun sari kedelai. Perajin dan penjual makanan olahan kedelai makin kreatif dalam mengubah kedelai menjadi berbagai bentuk produk olahan. Mulai dari kembang tahu, kue brownies, puding, nugget, hingga saus gochujang khas Korea yang saat ini sedang digemari.
Meski demikian, rupanya masyarakat belum banyak mengetahui dan mencicipi varian menu tersebut. Sebanyak 35,1 persen responden saja yang mengaku sudah tahu dan pernah mencoba varian menu berbahan kedelai itu.
Bisa jadi, tempe tahu sudah begitu melekat dan menjadi top of mind masyarakat Indonesia ketika ditanya soal makanan olahan kedelai. Bagi kaum vegetarian, kreasi olahan tempe bisa menjadi opsi pengganti daging karena rasanya yang dapat diimprovisasi, misalnya dibuat menjadi steik tempe, sate tempe, atau bakso tempe. Apapun bentuknya, tempe tetap jadi makanan andalan.