Pasokan Masih Langka, Tata Niaga Minyak Goreng Bermasalah
Warga Surabaya masih sulit mendapatkan minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi. Penjualan juga dibatasi. Situasi ini memperlihatkan masih ada kelemahan dalam tata niaga minyak goreng.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Warga Kota Surabaya, Jawa Timur, hingga Minggu (6/3/2022), masih kesulitan membeli minyak goreng, baik curah maupun kemasan, sesuai harga eceran tertinggi. Jika ada stok di pasar dan ritel modern, pembelian dibatasi dengan kupon atau memperlihatkan kartu identitas. Kelangkaan ini memperlihatkan kelemahan dalam tata niaga minyak goreng.
Dari pantauan di sejumlah ritel modern di Surabaya, warga kesulitan mendapatkan minyak goreng dalam kemasan yang dijual sesuai HET, yakni Rp 14.000 per liter. ”Setiap kali saya datang ke Indomaret, Alfamart, di rak pajang tidak ada minyak goreng,” kata Sumiyati, warga Jambangan, Surabaya.
Di warung atau toko bahan pangan, minyak goreng masih ada, tetapi dijual lebih mahal daripada HET. Selisih harga jual berbeda antara satu warung atau toko dan lainnya. Dalam pantauan Kompas, Minggu petang, harga minyak goreng dalam kemasan berkisar Rp 16.000-Rp 25.000 per Liter.
Tak hanya jenis kemasan, minyak goreng curah juga sulit didapat di sejumlah pasar tradisional. Penjual minyak goreng curah tidak berani menjual sesuai HET Rp 11.500 per liter. ”Saya dapatnya di atas HET, tidak mungkin dijual rugi,” kata Aminah, pengasong bahan kebutuhan pokok di Pasar Pakis, Surabaya, yang menjual minyak goreng curah Rp 15.000 per liter.
Di swalayan atau ritel besar, minyak goreng juga tidak selalu dipajang di rak. Minyak goreng yang tersedia minyak kelapa dengan harga jauh lebih mahal, yakni Rp 30.000-Rp 34.000 per liter. Jika ada minyak goreng dari kelapa sawit yang dipajang dan harga sesuai HET, biasanya cepat diserbu dan dibeli oleh konsumen.
Sejumlah pengelola swalayan menawari menjual minyak goreng secara terbatas dengan kupon atau khusus bagi pelanggan. Saat berbelanja di swalayan di Jalan Margorejo, Sabtu malam, misalnya, Kompas ditawari mendapatkan minyak goreng dari kelapa sawit dengan maksimal pembelian 2 liter senilai Rp 28.000 karena termasuk member atau pelanggan swalayan tersebut.
Di swalayan atau ritel besar, minyak goreng juga tidak selalu dipajang di rak. Minyak goreng yang tersedia minyak kelapa dengan harga jauh lebih mahal, yakni Rp 30.000-Rp 34.000 per liter.
Menurut salah satu pengelola swalayan, hanya dengan metode tersebut, pihaknya bisa memastikan minyak goreng tidak diborong oleh konsumen tertentu. Sebab, hanya pelanggan yang dapat membeli komoditas itu. Data pelanggan swalayan dalam satu manajemen biasanya terkoneksi. Pelanggan juga tidak bisa membeli minyak goreng dalam satu hari yang sama di swalayan lain dalam satu pengelolaan.
Secara terpisah, ekonom Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan, kelangkaan minyak goreng yang masih berlangsung tidak bisa disamakan situasinya dengan komoditas lain, yakni gula, kedelai, atau garam. Pemenuhan kebutuhan komoditas lain, terutama kedelai yang akhir-akhir ini juga bermasalah, lebih karena impor atau dalam negeri tidak dapat memenuhi sendiri.
Untuk minyak goreng, sepatutnya Indonesia tidak boleh menemui kendala karena merupakan salah satu produsen terbesar di dunia. Artinya, pemenuhan kebutuhan minyak goreng pada prinsipnya dapat diwujudkan secara mandiri. ”Perlu pengawasan dan implementasi tata niaga minyak goreng yang benar sehingga masalah kelangkaan ini bisa segera diatasi,” kata Imron.
Menurut Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Perdagangan Surabaya Fauzie Mustaqiem Yos, pemerintah akan terus menggelar operasi pasar untuk menjamin distribusi minyak goreng dan kestabilan harga komoditas ini.
”Operasi pasar masih perlu ditempuh karena kendala distribusi minyak goreng. Dengan operasi pasar bisa dijamin warga mendapatkan komoditas ini dengan harga terjangkau,” kata Fauzie.
Namun, operasi pasar juga mengandung kelemahan, yakni pembatasan dan dikhususkan bagi kalangan warga tertentu, terutama yang kurang mampu. Operasi pasar sulit dilaksanakan secara serentak, misalnya di 31 kecamatan atau 154 kelurahan karena membutuhkan pasokan minyak goreng yang amat besar.
Fauzie mengatakan, dalam situasi kelangkaan, secara psikologis, kerap muncul keinginan warga untuk memborong atau membeli minyak goreng dalam jumlah besar. Padahal, jika distribusi belum lancar, seharusnya pembelian minyak goreng dibatasi atau sesuai kebutuhan. Namun, kenyataannya, selalu ada cara kurang simpatik yang dipakai untuk memborong minyak goreng ketika harga terjangkau.