Gaji dan Tunjangan Naik, Serikat Pekerja Nilai Dewan Tidak Sensitif
SPRI menilai Dewan tidak sensitif dengan kesulitan warga akibat pandemi Covid-19. SPRI beranggapan seharusnya Dewan memikirkan rakyat terdampak pandemi daripada mengurus kenaikan gaji dan tunjangan.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia menilai kenaikan belanja gaji dan tunjangan DPRD DKI menunjukkan para wakil rakyat itu tidak memiliki simpati dan empati terhadap penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19. Sementara Dewan menilai kenaikan tunjangan itu wajar karena dalam empat tahun mereka tidak merasakan kenaikan tunjangan.
Dika Moehammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), melalui keterangan tertulis, Senin (10/1/2022), menyatakan, di tengah gempuran Covid-19, para wakil rakyat di DPRD DKI buta dan tuli dalam melihat dan mendengar kondisi realitas yang terjadi di masyarakat.
”Mereka malah dengan sengaja mengusulkan kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan. Alangkah ironisnya. Nasib rakyat semakin diiris-iris saat kondisi semakin terjepit, mereka justru memikirkan perutnya sendiri,Gaji dan Tunjangan Naik, Serikat Pekerja Nilai Dewan Tidak Sensitif tulis Dika.
Dalam evaluasi dan rekomendasi Kemendagri atas RAPBD DKI 2022, alokasi anggaran gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta 2022 mengalami peningkatan 17,5 persen dibandingkan tahun 2021. Dalam rincian belanja yang tertuang dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) 2022, dengan kenaikan ini setiap anggota Dewan akan mengantongi Rp 139.324.156 setiap bulannya pada tahun 2022.
Saat wakil rakyat memperjuangkan kenaikan gaji dan tunjangan, imbuh Dika, situasi kasus Covid-19 di DKI Jakarta mengkhawatirkan. Itu karena dari data terbaru Dinas Kesehatan DKI per 9 Januari, kasus aktif sebanyak 1.874 kasus, sementara kasus varian Omicron 407 kasus.
Jika kasus semakin banyak, hal itu akan memaksa Pemprov DKI menarik rem darurat untuk mengantisipasi lonjakan kasus. ”Kebijakan ini tentunya membawa efek bagi ekonomi warga Jakarta, khususnya warga miskin yang belum pulih secara finansial sejak 2 tahun pandemi Covid-19 berlangsung,” kata Dika.
Akan tetapi, para anggota Dewan seperti tidak memiliki rasa simpati dan empati terhadap penderitaan rakyat. Kondisi rakyat yang terpojok dan tergencet secara ekonomi dan psikologis dianggap angin lalu saja. Oleh karena itu, SPRI menilai tindakan yang tercela itu harus dihentikan.
SPRI mendesak Pemprov DKI Jakarta dan DPRD Jakarta untuk segera menerapkan PKH Lokal bagi warga miskin Jakarta yang belum mendapat PKH dari pemerintah pusat.
SPRI berpandangan, Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta seharusnya memikirkan nasib rakyat Jakarta dengan cara menerapkan skema perlindungan sosial skala lokal (PKH lokal). Berdasarkan hasil kajian SPRI DKI Jakarta bersama Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial pada tahun 2020, diperkirakan 38.000 keluarga miskin di DKI Jakarta tidak mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah pusat meski masuk ke dalam kategori penerima manfaat.
Dari sampling yang dilakukan terhadap 3.958 keluarga miskin di 94 kelurahan, ditemukan sebanyak 2.892 keluarga yang pantas dan layak menerima PKH tetapi belum mendapatkannya.
”SPRI mendesak Pemprov DKI Jakarta dan DPRD Jakarta untuk segera menerapkan PKH Lokal bagi warga miskin Jakarta yang belum mendapat PKH dari pemerintah pusat,” kata Dika.
SPRI mengusulkan besaran PKH meliputi bantuan tetap dan bantuan komponen. Bantuan tetap ialah bantuan rutin yang diterima setiap peserta penerima manfaat sebesar Rp 1,4 juta sampai Rp 2,2 juta per bulan per keluarga. Bantuan komponen ialah bantuan yang akan diterima berdasarkan tanggungan keluarga tersebut, di antaranya ibu hamil, anak balita, anak sekolah, orang dengan disabilitas, dan orang lanjut usia.
SPRI meyakini kemampuan APBD DKI Jakarta sangat mampu dan mencukupi untuk membiayai PKH LOKAL tersebut. Dengan APBD DKI Jakarta 2022 sebesar Rp 82,47 triliun, hanya dibutuhkan Rp 1,1 triliun untuk skema bantuan Rp 1,4 juta per keluarga per bulan atau Rp 2,1 triliun untuk skema Rp 2,2 juta per bulan per keluarga.
Kedua, SPRI juga mendesak Pemprov DKI Jakarta beserta DPRD DKI Jakarta untuk segera memberikan jaminan kerja dan jaminan pendapatan untuk pengangguran warga Jakarta. Hal ini dikarenakan sempitnya lahan kerja pasca-penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Ketiga, SPRI mendesak Pemprov DKI beserta DPRD DKI Jakarta untuk segera memberikan program pemberdayaan ekonomi kepada perempuan miskin korban tindak kekerasan seksual.
Tidak sembarangan
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik menanggapi kenaikan belanja gaji dan tunjangan DPRD karena ada pertimbangan perekonomian yang mulai naik. ”Kita juga tidak sembarangan menaikkan. Menurut kita, ekonomi sudah membaik, APBD juga membaik. Kita sudah 3 atau 4 tahun tidak naik,” katanya.
Untuk kenaikan tunjangan perumahan, menurut Taufik, ada standarnya. Kenaikannya kini Rp 10 juta.
”Makanya, ketika ada angka gaji dDwan naik Rp 26 miliar, kalau dibagi-bagi, akan naik Rp 10 juta karena ada pengenaan pajak progresif 30 persen sesuai aturan baru. Kalau dulu penghasilan Dewan dipotong PPh 21, sekarang pajak progresif 30 persen sesuai aturan Permenkeu,” kata Taufik.
Di dalam evaluasi rekomendasi Kemendagri, poin kenaikan tunjangan perumahan menjadi poin yang harus memperhatikan asas kepatutan kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku, serta standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Ya, kita lihat saja, ini patut atau tidak. Kalau Kemendagri mau revisi, ya, revisi saja,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan yang coba dihubungi terkait evaluasi rekomendasi Kemendagri atas RAPBD DKI 2022, belum juga merespons upaya konfirmasi Kompas.