Suami Istri di Tangerang Salurkan Puluhan Pekerja Migran Ilegal ke Timur Tengah
AR dan A, pasangan suami istri di Kabupaten Tangerang, Banten, menyalurkan puluhan pekerja migran secara ilegal ke Timur Tengah dengan menjanjikan gaji belasan juta rupiah. Namun, itu hanya iming-iming kosong belaka.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Tangerang menangkap sepasang suami istri yang menyalurkan pekerja migran secara ilegal di Kecamatan Sindang Jaya, Kabupaten Tangerang, Banten. Setahun belakangan keduanya telah menyalurkan puluhan orang tanpa keterampilan kerja dan bahasa yang cukup ke Timur Tengah.
Kepala Polresta Tangerang Komisaris Besar Wahyu Sri Bintoro menyebutkan, penyelidikan bermula dari laporan warga tentang adanya penampungan calon pekerja migran ilegal di perumahan kawasan Sindang Jaya. Rumah tersebut milik pasangan AR dan A yang tengah menampung enam calon pekerja migran asal Lampung.
”Mereka tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ditawari bekerja secara ilegal di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Turki dan Qatar, dengan gaji Rp 16 juta,” ujarnya, Rabu (15/12/2021).
Mereka (pekerja migran ilegal) bekerja menggunakan visa wisata tanpa pelatihan atau keahlian khusus untuk bekerja, termasuk penguasaan bahasa asing.
AR merupakan mantan petugas aviation security atau petugas keamanan jasa penerbangan, sedangkan A mantan pekerja migran. Pasangan itu berbagi peran dalam merekrut hingga memberangkatkan calon pekerja migral ilegal.
A mengelola dua akun Facebook serta Whatsapp dalam proses perekrutan. Sementara AR mengurus paspor, visa, vaksinasi Covid-19, dan keberangkatan ke luar negeri.
Wahyu mengatakan, keduanya memasang tarif Rp 20 juta hingga Rp 30 juta untuk penempatan sebagai buruh atau asisten rumah tangga di Timur Tengah. Biaya tersebut sudah termasuk untuk pembuatan paspor, visa, vaksinasi Covid-19, dan tiket pesawat.
”Mereka (pekerja migran ilegal) bekerja menggunakan visa wisata tanpa pelatihan atau keahlian khusus untuk bekerja, termasuk penguasaan bahasa asing,” katanya.
Kedua tersangka mengaku sudah setahun terakhir menjadi calo pekerja migran ilegal. Dalam satu bulan mereka bisa mengirim tiga atau empat orang ke berbagai negara di Timur Tengah.
Penyidik menyita gawai, enam paspor, visa, kartu vaksinasi, bukti transaksi, dan lainnya. Suami istri tersebut terancam hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 15 miliar.
”Kami berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menelusuri sindikat AR dan A, juga menelusuri data korban-korban,” ujarnya.
Tindak pidana perdagangan orang, khususnya pada perempuan dan anak, meningkat 62,5 persen pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu didorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi Covid-19 sehigga perlindungan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan selama pandemi (Kompas, 9/2/2021).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat, pada 2020, jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang pada perempuan dan anak mencapai 351 kasus. Kasus itu meningkat 62,5 persen ketimbang tahun sebelumnya, yakni 216 kasus.
Peningkatan kasus tersebut pun sejalan dengan jumlah permohonan saksi dan korban perdagangan orang di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 2020, permohonan perlindungan saksi dan korban kasus perdagangan orang mencapai 203 permintaan, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 176 permintaan.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rafail Walangitan menyebutkan, faktor utama perdagangan orang hingga kini belum bisa diatasi sepenuhnya, yakni kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, budaya konsumtif, tradisi perkawinan anak, dan diskriminasi jender.
Faktor lainnya, berkembangnya bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan meningkatnya jaringan kejahatan lintas negara.
Oleh karena itu, warga harus mewaspadai modus perdagangan orang yang sebenarnya bisa terendus sejak awal perekrutan. Sejumlah indikatornya meliputi adanya upaya pemalsuan dokumen, calon pekerja tidak mengurus sendiri dokumennya, tidak memegang sendiri dokumennya, pembatasan kebebasan bergerak dan berkomunikasi, serta adanya jeratan utang.