Dipicu Kemiskinan, Perdagangan Orang Meningkat Selama Pandemi
Tindak pidana perdagangan orang pada perempuan dan anak meningkat 62,5 persen pada 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu didorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi Covid-19.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang, khususnya pada perempuan dan anak, meningkat 62,5 persen pada 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu didorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi Covid-19. Perlindungan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan selama pandemi.
”Pada masa normal saja, perempuan dan anak sangat rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Di masa pandemi, perempuan dan anak lebih rentan lagi,” kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rafail Walangitan, Selasa (9/2/2021).
Rafail menyampaikan hal tersebut dalam pelatihan jurnalistik berbasis korban pada kasus perdagangan orang yang diselenggarakan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dengan diskusi secara virtual.
Rifail memaparkan, pada 2020, jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang pada perempuan dan anak mencapai 351 kasus. Kasus itu meningkat 62,5 persen daripada tahun sebelumnya, yakni 216 kasus.
Peningkatan kasus tersebut pun sejalan dengan jumlah permohonan saksi dan korban perdagangan orang di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada 2020, permohonan perlindungan saksi dan korban kasus perdagangan orang mencapai 203 permintaan, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 176 permintaan.
Menurut Rafail, pandemi membuat perempuan dan anak semakin rentan menjadi korban perdagangan orang karena sejumlah faktor pendorong yang semakin menguat, yakni kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya tingkat pendidikan. Faktor pendorong lainnya yakni minimnya perlindungan sosial dari keluarga dan masyarakat serta fenomena putus sekolah.
Saat faktor pendorong semakin menguat, kata Rafail, faktor utama perdagangan orang hingga kini belum bisa diatasi sepenuhnya, yakni kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, budaya konsumtif, tradisi perkawinan anak, dan diskriminasi jender.
Faktor utama lainnya yakni berkembangnya bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan meningkatnya jaringan kejahatan lintas negara.
Rafail pun meminta warga mewaspadai modus perdagangan orang yang sebenarnya bisa terendus sejak awal perekrutan. Sejumlah indikatornya yakni adanya upaya pemalsuan dokumen, calon pekerja tidak mengurus sendiri dokumennya, tidak memegang sendiri dokumennya, pembatasan kebebasan bergerak dan berkomunikasi, serta adanya jeratan utang.
Modus perdagangan orang sebenarnya bisa terendus sejak awal perekrutan. (Rafail Walangitan)
Setelah bekerja, pekerja biasanya tidak bisa mengelola sendiri upahnya, tidak menerima upah, pemerasan dan ancaman terhadap keluarga, kekerasan fisik, bekerja dalam kondisi buruk, serta eksploitasi pelacuran.
Pemerintah terus melakukan upaya untuk menekan perdagangan orang dengan penegakan hukum, membentuk gugus tugas, dan melakukan upaya pencegahan dengan edukasi kepada calon pekerja migran. ”Upaya pencegahan dilakukan dengan edukasi dan sosialisasi di daerah-daerah pekerja migran, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat,” kata Rafail.
Gugus tugas juga melaksanakan program persiapan sebelum pemberangkatan pekerja migran dan membentuk komunitas pencegahan.
Staf Program Nasional Unit Penanggulangan Perdagangan dan Perlindungan Migran IOM Among Pundhi Resi mengatakan, perlindungan dan rehabilitasi korban perdagangan orang harus terus ditingkatkan. ”Peran media massa sangat penting agar pemberitaan berpihak kepada korban. Jangan sampai pemberitaan justru meningkatkan trauma korban,” kata Among.
Perlindungan itu pun tidak hanya dalam aspek fisik, tetapi juga psikis. Pemulihan dan rehabilitasi juga harus dilakukan terhadap mereka yang pernah menjadi korban perdagangan orang.
Secara terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Sumut Baharuddin Siagian mengatakan, pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan pekerjaan di Sumut. ”Pemutusan hubungan kerja akibat pandemi masih terus terjadi hingga kini,” kata Baharuddin.
Menurut data Badan Pusat Statistik Sumut, terdapat 1,23 juta pekerja yang terdampak Covid-19 di Sumut hingga Agustus 2020. Angka ini terdiri dari pengangguran 107.000 orang, tidak bekerja 64.000 orang, pengurangan jam kerja 1,02 juta orang, serta bukan angkatan kerja karena pandemi 39.000 orang.
Tingkat pengangguran terbuka pun mencapai 6,91 persen atau 508.000 orang, meningkat 109.000 orang atau 1,52 persen dibandingkan dengan Agustus 2019.
Baharuddin mengatakan, pemerintah berupaya mengurangi dampak dari pemutusan hubungan kerja dengan berbagai program sosial yang diluncurkan pemerintah pusat dan daerah.