MFA (21), mahasiswa yang dibanting polisi, berharap sanksi berlapis terhadap Brigadir NP bisa menyudahi kekerasan aparat.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
Brigadir NP menerima sanksi berlapis setelah membanting MFA (21), mahasiswa yang berunjuk rasa di Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, pekan lalu. Mantan anggota Reskrim Polresta Tangerang itu ditahan 21 hari, terkena demosi sebagai bintara tanpa jabatan, serta penundaan kenaikan pangkat dan pendidikan lanjutan.
Sidang pelanggaran disiplin itu berlangsung di Polda Banten, Kamis (21/10/2021) sore. Kapolresta Tangerang Komisaris Besar Wahyu Sri Bintoro selaku atasan hukum Brigadir NP memimpin sidang dengan supervisi langsung oleh Divisi Propam Polri.
Turut hadir MFA dan tiga rekannya. Mereka mengikuti sidang sejak awal hingga pembacaan putusan.
Kabid Humas Polda Banten Ajun Komisaris Besar Shinto Silitonga menyebutkan, Brigadir NP terbukti melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Ia bertindak eksesif, di luar prosedur, menimbulkan korban, dan dapat menjatuhkan nama baik institusi.
”Brigadir NP dengan sah dan meyakinkan melanggar aturan disiplin anggota Polri. Ia dapat sanksi terberat, mulai dari penahanan hingga terkendala untuk mengikuti pendidikan lanjutan,” ujarnya, Sabtu (23/10/2021). Putusan itu berdasarkan pemeriksaan intensif oleh Bidang Propam Polda Banten kepada Brigadir NP dan MFA.
Shinto menuturkan, Brigadir NP juga mendapatkan keringanan karena mengakui dan menyesali perbuatannya, termasuk meminta maaf secara langsung kepada korban dan orangtuanya. Pimpinan sidang juga mempertimbangkan 12 tahun masa pengabdian tanpa pernah dihukum disiplin dan pidana, aktif dalam pengungkapan perkara, serta memiliki istri dengan tiga anak.
”Usianya masih muda, masih bisa dibina, dan kariernya di kepolisian masih panjang,” katanya.
Lakukan pelayanan prima dengan melakukan fungsi Polri sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung warga.
Di sisi lain, MFA (21) mengaku cukup puas dengan sanksi tersebut meskipun ada yang menyarankannya untuk membuat laporan pidana. Namun, saat ini ia masih ingin fokus dalam pemulihan kesehatan.
Mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanuddin di Kota Serang itu berharap sanksi berlapis bisa menimbulkan efek jera bagi aparat supaya tidak represif terhadap unjuk rasa dan warga.
”Apa yang saya alami semoga menjadi insiden terakhir yang dilakukan aparat kepolisian terhadap semua unjuk rasa di seluruh Indonesia,” katanya.
Tertib tegas tuntas
Sesuai putusan sanksi tersebut, Wakapolda Banten Brigadir Jenderal (Pol) Ery Nursatari, Karo SDM Komisairs Besar Arif Fajarudin, dan Kabid Propam Komisaris Besar Nursyah Putra melakukan pertemuan virtual dengan kapolres, kapolsek, dan kepala seksi propam.
Ery mengingatkan jajarannya menjaga perilaku di lapangan seiring beragam insiden yang terjadi. Personel diminta bijaksana dalam menyelesaikan masalah, meningkatkan performa, dan pembaruan data.
”Kapolres, kapolsek, dan para perwira harus bertanggung jawab dan peduli terhadap anggota. Jangan sampai pelanggaran-pelanggaran terulang lagi,” katanya.
Ia juga mewanti-wanti gaya hidup atau pola hidup personel yang tidak disiplin dan mangkir dari tugas sehingga berujung tindak kriminal, seperti kekerasan dan penyalahgunaan narkoba. Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat menanti ketimbang merusak institusi.
”Laksanakan tugas dengan persuasif, humanis, dan terapkan tertib, tegas, tuntas sesuai dengan SOP yang berlaku. Pedomani Tribrata Catur Prasetya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota kepolisian,” katanya.
Kabid Propam Komisaris Besar Nursyah Putra menambahkan, personel dalam memakai media sosial hendaknya tidak arogan. Sementara kapolres harus rutin memeriksa anggotanya agar tidak berlebihan dalam bertindak. Sebaliknya, menguatkan pengawasan dan pembinaan serta menerima kritik dalam pelayanan masyarakat.
”Lakukan pelayanan prima dengan melakukan fungsi Polri sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung warga,” ujarnya.
Evaluasi
Laporan Tahunan Komnas HAM 2020 mencatat, dari 2.639 pengaduan, 758 kasus merupakan pengaduan terhadap kepolisian. Selama tiga tahun berturut-turut, kepolisian selalu termasuk dalam tiga besar lembaga yang banyak diadukan warga bersama korporasi dan pemerintah daerah.
Komnas HAM memandang perlu dibangun mekanisme atau sistem pemberian penghargaan bagi mereka yang telah memberikan pelayanan terbaik bagi warga, selain menindak tegas anggota yang melanggar aturan. Dengan sistem sanksi dan penghargaan, pelanggaran ataupun ketidakpuasan warga terhadap pelayanan kepolisian diharapkan semakin berkurang.
Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengatakan, laporan pelanggaran oleh anggota polisi yang ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini sebenarnya banyak terjadi sebelumnya. Namun, selama ini tidak pernah terungkap. Dengan adanya media sosial, ketidakpuasan ataupun peristiwa yang merugikan warga dapat dengan mudah diketahui secara luas.
Komnas HAM mengapresiasi sanksi tegas kepada anggota sekaligus berharap Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memberikan penghargaan atau hadiah bagi anggota kepolisian yang memberikan pelayanan yang baik bagi warga.
”Jadi, berimbang sehingga kepolisian yang secara budaya basisnya adalah kerja-kerja sipil semakin lama semakin dekat dengan masyarakat,” katanya.
Anam menambahkan, penting juga memperbaiki secara berkala sistem evaluasi dan pemantauan, seperti penggunaan senjata api dalam penegakan hukum dan evaluasi terhadap kondisi psikologi anggota Polri.
”Dalam lima tahun terakhir, pola kasus dan karakter kasus itu-itu saja, tidak bergeser, mulai dari kekerasan lalu akses untuk keadilan. Artinya, sebagai suatu sistem, harus dibenahi, kecuali kasusnya tiap tahun berganti-ganti. Kalau itu-itu saja, sistemnya yang bermasalah,” tuturnya.