Pelanggaran Serupa Berulang, Komnas HAM: Sistem di Polri Bermasalah
Tak hanya perlunya sanksi tegas bagi polisi yang melanggar, penghargaan harus diberikan kepada polisi yang berprestasi. Sistem evaluasi dan monitoring juga penting untuk diperbaiki secara berkala.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain menindak tegas anggota kepolisian yang melanggar aturan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memandang perlunya dibangun mekanisme atau sistem pemberian penghargaan bagi mereka yang telah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Dengan sistem sanksi dan penghargaan diterapkan, pelanggaran ataupun ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kepolisian diharapkan semakin berkurang.
Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam, ketika dihubungi, Kamis (21/10/2021), mengatakan, Komnas HAM mengapresiasi instruksi Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang salah satunya mengenai tindakan tegas kepada anggotanya yang melanggar aturan atau prosedur. Namun, Komnas HAM berharap agar Kapolri juga memberikan penghargaan atau hadiah bagi anggota kepolisian yang memang memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.
”Kami meminta tidak hanya sanksi tegas bagi pelanggar prosedur tetap atau pelanggar HAM, tapi bagi polisi-polisi yang baik diberi reward. Jadi berimbang sehingga kepolisian yang secara budaya basisnya adalah kerja-kerja sipil semakin lama semakin dekat dengan masyarakat,” kata Anam.
Anam mengatakan, laporan pelanggaran oleh anggota polisi yang ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini sebenarnya banyak terjadi sebelumnya. Namun, selama ini tidak pernah terungkap. Dengan adanya media sosial, ketidakpuasan ataupun peristiwa yang merugikan masyarakat dapat dengan mudah diketahui secara luas.
Laporan Tahunan Komnas HAM 2020 mencatat, dari 2.639 kasus yang diadukan ke Komnas HAM, sebanyak 758 kasus merupakan pengaduan terhadap kepolisian. Selama tiga tahun berturut-turut, kepolisian selalu termasuk dalam tiga besar lembaga yang banyak diadukan masyarakat bersama korporasi dan pemerintah daerah.
Adapun laporan riset kuantitatif Komnas HAM pada 2020 tentang Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi mencatat, sebanyak 34,9 persen responden menilai Polri atau aparat Polri sebagai pihak yang paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pihak berikutnya adalah aparat pemerintah pusat, yakni sebanyak 31 persen.
Menurut Anam, dari berbagai pengaduan ke Komnas HAM terkait kepolisian, hal yang paling banyak diadukan adalah pelayanan reserse. Bentuk pengaduannya adalah pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian. Hal lain yang juga menjadi sorotan masyarakat karena mudah ditemui masyarakat adalah terkait dengan penindakan lalu lintas.
Melihat banyaknya jenis pengaduan yang relatif tidak berubah selama beberapa tahun terakhir tersebut, Polri mesti memperbaiki dan membangun sistem yang lebih baik. Selain menciptakan sistem sanksi dan penghargaan yang lebih baik, penting pula memperbaiki secara berkala sistem evaluasi dan monitoring. Semisal, evaluasi terkait dengan penggunaan senjata api dalam penegakan hukum atau evaluasi terhadap kondisi psikologi anggota Polri.
”Dalam lima tahun terakhir, pola kasus dan karakter kasus, ya, itu-itu saja, tidak bergeser. Mulai dari kekerasan, lalu akses untuk keadilan. Artinya, sebagai suatu sistem, ya, harus dibenahi, kecuali kasusnya tiap tahun berubah-ubah. Tapi, kalau itu-itu saja, sistemnya yang bermasalah,” ujar Anam.
Dari pertemuannya dengan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, lanjut Anam, dikatakan bahwa saat ini, sistem evaluasi dan monitoring dijanjikan akan diperkuat. Selain itu, sedang dilakukan riset dengan melibatkan akademisi untuk memotret penyebab terjadi pelanggaran oleh oknum anggota Polri. Terkait dengan hal itu, pihaknya mengapresiasi karena nantinya kebijakan yang diambil dilakukan dengan berbasis data.
Komitmen perbaikan
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang juga Wakil Ketua MPR Arsul Sani berpandangan, instruksi Kapolri agar anggota polisi yang melanggar ditindak tegas, memperlihatkan tekad yang kuat dari Kapolri untuk memperbaiki kapasitas dan integritas Polri. Namun, di sisi lain, belum semua jajaran kepolisian memahami dan melaksanakannya dengan baik.
”Dalam sejumlah kesempatan, Kapolri terus menyerukan agar Polri humanis, tidak berlebihan dalam melakukan penegakan hukum ataupun kamtibmas. Tapi, masih ada kejadian yang bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan masuk ranah perbuatan pidana. Saya yakin Kapolri juga melihat situasi ini dan inilah yang rasanya mendorong instruksi untuk memberikan sanksi serius, bahkan pemecatan kepada anggota Polri yang melanggar,” ujar Arsul.
Menurut Arsul, efektivitas dari instruksi tersebut bergantung pada ketegasan jajaran pengawas internal Polri, mulai dari Divisi Propam Polri, Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) dan Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda), hingga pengawas penyidikan. Tidak hanya itu, Arsul menilai, ketegasan tersebut semestinya juga ditunjukkan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dengan memproses hukum anggota Polri yang melanggar aturan pidana.
Terkait dengan kebebasan berpendapat atau berekspresi, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang periode September 2019-September 2021 telah terjadi setidaknya 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi. Aktor pelaku dari peristiwa tersebut didominasi oleh aparat kepolisian dengan bentuk pembubaran paksa yang sering kali diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang.
Menurut Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar, hal itu diperparah dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta pembentukan virtual police yang justru mengatur dan menindak ekspresi warga negara di dunia maya. Polisi virtual dinilai telah memantau aktivitas media sosial masyarakat secara bebas tanpa ada ukuran, termasuk dengan mengirim pesan secara langsung kepada yang masyarakat.
”Laporan dengan UU ITE kerap kali mudah berjalan di kepolisian. Maka, perlu perubahan kultural yang harus dilakukan dalam meminimalisasi praktik-praktik pemberangusan kebebasan berpendapat di dunia digital,” ujar Rivanlee.
Terkait dengan hal tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam keterangan tertulis mengatakan bahwa kerja-kerja kepolisian tetap ada batasnya. Salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 30 UU ITE dan jika dilakukan dapat dikategorikan sebagai kejahatan adalah akses ilegal terhadap sistem elektronik orang lain dengan sengaja dan tanpa hak.
Dengan demikian, tindakan polisi menggeledah secara paksa seseorang di tengah jalan yang bukan bagian dari proses penyidikan dapat dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap privasi seseorang. Tindakan pembukaan terhadap isi dari telepon genggam baru dianggap sesuai dengan hukum (lawful) jika dilakukan untuk tujuan penyidikan setelah ada dugaan tindak pidana.