300 Bidang Tanah di Cawang Siap Dibebaskan untuk Normalisasi Ciliwung
Warga pemilik tanah di empat rukun warga menunggu kejelasan informasi terkait dengan ganti rugi lahan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Normalisasi Sungai Ciliwung sebagai bagian dari pengendalian banjir di Ibu Kota kembali dilanjutkan di Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Sebagian warga siap digusur jika pemerintah memberi informasi yang benar.
Ditemui Senin (20/9/2021) siang, Lurah Cawang Didik Diarjo menyampaikan, di wilayahnya ada empat rukun warga (RW) yang bakal dilakukan pembebasan lahan, yaitu RW 003, RW 012, RW 005, dan RW 008. Sebanyak 300 bidang tanah milik warga akan terdampak pembebasan lahan untuk menormalisasi daerah aliran Sungai Ciliwung dari permukiman.
”Kemarin kami data ada sekitar 300 bidang tanah dari Gang Arus sampai Binawan. Ini akan berkembang seiring berjalannya waktu. Nanti kita akan liat inventaris dari BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya.
Kegiatan itu sejalan dengan kesepakatan bersama Rencana Aksi Penanggulangan Banjir dan Longsor di Kawasan Jabodetabekpunjur 2020-2024 bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dalam kesepakatan itu, Kementerian PUPR akan melaksanakan konstruksi pengendalian banjir di sungai yang jadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengadakan tanah di lokasi sungai yang akan dikerjakan melalui Suku Dinas Sumber Daya Air (SDA).
Rencana pembebasan lahan sudah disampaikan pihak kelurahan kepada warga dan siap dikerjakan tahun 2022. Sejauh ini, pihaknya sudah memfasilitasi pihak ATR/BPN untuk menginventaris data tanah. ”Baru inventaris data, belum sampai negosiasi harga. Nanti kita undang lagi warga. Ini masih panjang prosesnya dan dinamikanya bisa berubah,” katanya.
Menunggu kejelasan
Sebagian warga yang akan terdampak program normalisasi mengaku tidak keberatan dengan kemungkinan tempat tinggal mereka tergusur. Hal ini diungkapkan warga di RT 015 RW 003 yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung.
Indi, salah satu warga, yang tinggal kurang dari 10 meter dari bibir sungai tidak menolak ada penggusuran yang akan dilakukan pemerintah. Namun, ia belum siap jika itu dilakukan pada masa pandemi seperti saat ini.
”Untuk sekarang bukan keberatan, belum siap saja. Saat ini, ketika kondisi lagi pandemi, warga sini yang rata-rata ekonomi menengah ke bawah kalau mendadak digusur ke mana. Pesan saya kepada pemerintah selesaikan pandemi dulu sampai ekonomi normal,” ujarnya.
Warga lain, NM (60), yang telah menghuni daerah itu sejak 1972 juga tidak keberatan dengan rencana penggusuran. Isu tersebut sudah ia dengar sejak tahun 80-an. Ia yang bertanggung jawab atas tanah warisan seluas hampir 1.000 meter persegi itu merelakan jika tanah garapannya dibeli pemerintah.
”Kemarin ada pihak yang mengaku difasilitasi kelurahan datang untuk sosialisasi rencana penggusuran. Tapi, dia tidak bisa menjelaskan seberapa luas tanah yang akan terdampak,” katanya.
Sepengetahuannya, pihak ATR/BPN pada tahun 2014 mengukur tanah yang akan terdampak relokasi yang berada 15 meter dari pinggir sungai, berada di perbatasan barat, utara, dan selatan RT 015. Namun, yang datang belakangan menyebut daerah yang akan terdampak meliputi sekitar 50 bidang tanah.
Kehadiran makelar
Selain soal kejelasan informasi, warga kini juga dikhawatirkan dengan kehadiran broker ”makelar” tanah gusuran normalisasi sungai. Baik Indi maupun NM mengetahui hal itu setelah kehadiran oknum yang mengaku dikirim kelurahan beberapa waktu lalu dan informasi dari warga di RT lain.
Hal itu juga sudah diketahui pengurus RT yang tidak memberikan izin kepada oknum tersebut untuk mengumpulkan warga. Widodo, Ketua RT 015, yang telah mendapat laporan itu mengatakan, oknum makelar menawarkan jasa penjualan tanah gusuran dengan mematok 25 persen dari hasil penjualan tanah ke pemerintah.
Menurut informasi yang didengar, saat ini ada sekitar 8-12 keluarga yang telah mengikuti tawaran makelar tersebut. Mereka mendapat surat perjanjian kerja sama dari pihak tersebut, yang dikhawatirkan merugikan pihak tergusur.
Meski tidak memaksa, pihaknya mengimbau warga agar menyerahkan pengurusan administrasi kepada RT. Warga yang tidak memiliki sertifikat hak milik tanah hanya perlu menyetor dokumen, seperti surat pajak bangunan, kartu tanda penduduk, dan kartu keluarga.
”Saya sudah minta data ke warga dan menyampaikan kalau pemerintah minta data harus ke RT agar tidak disalahgunakan. Mayoritas warga pun maunya kolektif kirim berkas lewat RT,” kata Widodo.
Justin Adrian Untayana, Wakil Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, menjelaskan, pihak kelurahan perlu menyosialisasikan kembali kepada warga perihal rencana normalisasi itu.
Kelurahan juga perlu mengingatkan warga kolektif mengumpulkan dokumen untuk administrasi kepemilikan tanah dan bangunan. Hal ini penting karena desas-desus makelar tanah yang meresahkan warga akan lebih merugikan. Desas desus itu sempat membuatnya datang ke RT 015 dan menghadirkan perwakilan SDA pada 1 September lalu.
”Pilihan memang di tangan warga, tapi lebih baik kalau warga urus sendiri. Kalaupun biro jasa ini hanya mengambil 25 persen, bahkan ada yang menawarkan 15 persen, tapi kita belum tahu nilainya berapa. Dan berapa pun biaya jasanya akan sangat berguna bagi warga yang akan memulai hidup baru,” ujarnya.