Tertahan sejak 2017, Pembebasan Lahan untuk Normalisasi Ciliwung Berlanjut
Proses pembebasan lahan untuk program normalisasi Ciliwung yang terhenti sejak 2017 kini digenjot kembali. Prioritas pembebasan lahan kali ini khususnya di Rawajati dan Pejaten.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembebasan lahan di bantaran Sungai Ciliwung di Ibu Kota menyelesaikan pekerjaan rumah dari tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana melakukannya dengan metode hamparan agar Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane bisa segera turun untuk melakukan normalisasi di sepanjang daerah aliran sungai tersebut.
”Prioritas saat ini adalah di daerah Rawajati di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Dinas SDA (Sumber Daya Air) DKI Jakarta sudah turun ke lapangan bulan lalu untuk mematok lahan di sepanjang bantaran Ciliwung,” kata Kepala Unit Lahan Dinas SDA Jakarta Rudito ketika dihubungi pada Jumat (9/4/2021). Program pembebasan lahan di daerah ini sudah dibentuk sejak 2017.
Seusai pematokan, data wilayah akan dimasukkan ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta agar mereka segera menurunkan juru ukur ke lapangan. Untuk setiap titik akan dihitung luas tanah, luas bangunan, dan keberadaan pepohonan ataupun tanaman yang ada di lahan itu. Hasil perhitungan diserahkan kepada kantor jasa penilai publik yang independen untuk memutuskan nilai ganti rugi bagi setiap meter persegi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berjanji kepada warga bantaran sungai bahwa ganti rugi tersebut harganya tidak bertumpu pada nilai jual obyek pajak (NJOP) karena tanah di bantaran sungai biasanya memiliki NJOP rendah.
Rudito memaparkan, ganti rugi untuk lahan akan dibayar oleh BPN, ganti rugi atas rumah atau bangunan oleh Dinas Perumahan Jakarta, serta untuk tumbuh-tumbuhan ditanggung oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan DKI Jakarta. Satu hal yang pasti ialah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berjanji kepada warga bantaran sungai bahwa ganti rugi tersebut harganya tidak bertumpu pada nilai jual obyek pajak (NJOP) karena tanah di bantaran sungai biasanya memiliki NJOP rendah.
Selain Rawajati, pekerjaan rumah dari tahun 2017 ialah melakukan pembebasan lahan di Pejaten Timur di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tiga lokasi lain ialah di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, yaitu Cawang, Balekambang, dan Cililitan.
”Rawajati ini kami prioritaskan karena pembebasannya harus berupa hamparan, yaitu langsung untuk satu bantaran sungai,” tutur Rudito.
Metode ini diambil agar tidak mengulang pengalaman pembebasan lahan di Pejaten Timur yang bersifat sporadis. Bukannya langsung meminta kelurahan, pengurus rukun warga (RW) dan pengurus rukun tetangga (RT) untuk mendata semua warga yang tinggal di bantaran sungai, di Pejaten Timur masih memakai sistem menunggu warga berinisiatif mengajukan permintaan lahan. Akibatnya, pembebasan lahan hanya terjadi di beberapa titik, bukan di satu garis bantaran.
Meskipun demikian, sebagian warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung mulai mengurus berbagai surat-menyurat resmi untuk proses pembebasan lahan. Apabila ganti rugi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta turun, mereka akan pindah dan memberikan lahan beserta rumah yang mereka tinggali untuk dibongkar demi normalisasi Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Titik-titik lahan yang akan dibebaskan itu berada di Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pekan lalu, Lurah Pejaten Timur Moch Rasyid Darwis mengatakan, ada 20 hektar lahan, baik berupa tanah kosong maupun yang ada bangunan di atasnya, akan dibebaskan. Lokasinya ada di rukun warga (RW) 003, 006, 007, 008, 009, dan 010.
”Umumnya orang yang tinggal di wilayah itu adalah pemilik lahannya. Mereka menolak dipindahkan ke rumah susun. Jadi, kesepakatannya adalah pemerintah membayar ganti rugi dan nanti mereka akan mencari tempat tinggal baru secara mandiri,” kata Rasyid.
Ketika Kompas berkunjung ke Pejaten Timur pada Kamis (8/4/2021), Ketua RW 009 Sulaeman mengungkapkan, di wilayahnya ada lima warga yang tengah mengurus surat-surat untuk proses ganti rugi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Selatan. Dari lima orang itu, dua orang berkasnya sudah tembus dan tengah menunggu pembayaran. Kabarnya, dana ganti rugi akan ditransfer ke rekening bank pemilik tanah.
”Ketua-ketua RT (rukun tetangga) masih mengajak warga yang di bantaran kali agar menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan tanda kepemilikan lahan kepada panitia RW 009. Nanti kami yang akan menyerahkannya kepada BPN Jakarta Selatan,” ujar Sulaeman.
Ia menjelaskan, data 20 hektar dari kelurahan ialah hasil pembebasan tahap pertama. Prosesnya sudah berlangsung sejak 2017. Sekarang, ia tengah menyiapkan warga di bantaran kali untuk program pembebasan lahan tahap kedua. Oleh sebab itu, setiap ketua RT harus mendata jumlah warga, rumah, dan tanah yang ada di bantaran.
Menunggu inventarisasi
Selain empat lokasi tersebut, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) yang bekerja di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengajukan sejumlah lokasi untuk pembebasan lahan berikutnya. Letaknya ada di Kebon Baru dan Manggarai, Kecamatan Tebet; Kampung Melayu dan Bidara Cina di Jatinegara; Kebon Manggis di Matraman; dan Pengadegan di Pancoran.
Menurut Rudito, lokasi ini belum diketahui luas lahan yang akan dibebaskan karena BPN belum turun untuk melakukan pengukuran. Saat ini, tahap di sejumlah kelurahan baru sosialisasi kepada warga. Lurah, pengurus RT dan RW, nanti harus mengumpulkan semua surat keterangan kepemilikan tanah untuk diberikan kepada dinas SDA.
Kepala BBWSCC Bambang Heri Mulyono menjabarkan, selain Ciliwung akan ada normalisasi pula di Sungai Angke, Pesanggrahan, Sunter, dan Jatikramat. Inventarisasi lahan yang akan dibebaskan terus berlanjut.
Data terkini, pada 2021 ada 1,5-2 kilometer lahan yang berpotensi bisa dikerjakan. Target untuk Ciliwung, dari 33 kilometer tanggul bantaran sungai, telah selesai 16 kilometer. Sisa 17 kilometer diharapkan bisa dituntaskan tahun ini.
”Membebaskan lahan memang tidak mudah, apalagi di perkotaan. Namun, untuk dapat membangun tanggul banjir lahannya memang harus bebas secara terus-menerus,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Kuswanto Sumo Atmojo, menekankan pentingnya pelibatan masyarakat untuk menumbuhkan inisiatif merawat bantaran sungai. Di dalamnya adalah kesadaran tidak membuang sampah dan mengokupasi wilayah sempadan.