Surat ”Cinta” Litje Mandagi untuk Presiden
Polisi sudah memeriksa korban ataupun terlapor. Namun, tidak ada saksi yang melihat adanya penganiayaan itu. Hasil visum et repertum juga disebut tidak ada luka-luka yang dialami korban.
Seorang warga lanjut usia di Kota Bekasi, Jawa Barat, diduga dianiaya dan diusir keluar rumah. Kasus itu hampir dua tahun mengendap di kepolisian.
Suatu sore, di awal Oktober 2019, Litje Mandagi (63) tiba-tiba mendengar keramaian di depan rumahnya. Dia saat itu hanya mengenakan daster lantaran sedang bersiap untuk mandi. Litje lalu mengurungkan niatnya untuk mandi dan bergegas menuju ke sumber keributan itu.
Sepasang laki-laki dan perempuan beserta rombongan orang tak dikenal tanpa mengetuk pintu tiba-tiba menerobos masuk ke rumah Litje. ”Saya baru mau ngomong silakan duduk, muka saya langsung dipukul. Suami istri itu menyeret saya keluar rumah seperti kucing,” kata Litje Mandagi, saat dihubungi dari Bekasi, pada Selasa (14/9/2021).
Daster yang Litje pakai saat itu sobek. Sebagian tubuhnya terekspos. Rombongan tamu tak diundang itu lalu mengunci pagar rumah dan melarang Litje kembali ke rumah itu. Litje diusir saat suaminya sedang berada di luar rumah dan tengah mencari rumah kontrakan.
Penyidik sudah berupaya melakukan mediasi. Tidak ada perlakuan berbeda. Namun, belum ada kesepakatan antara kedua pihak.
Saat itu pula, saluran listrik hingga sambungan pipa air minum turut dirusak. Saat itu, Lisa tak bisa berbuat banyak. Jumlah rombongan ”tamunya” itu cukup banyak.
Hunian yang terpaksa ditinggalkan Litje itu berada di salah satu perumahan di Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Sebelumnya, rumah itu memang dijaminkan ke bank untuk mendapat pinjaman modal. Dalam perjalanannya, Litje tak mampu melanjutkan pembayaran angsuran karena usahanya macet.
Rumah dua lantai itu kemudian dilelang oleh pihak bank sekitar 10 tahun yang lalu. Pemenang lelang disebut berinisial YA. Litje awalnya mengajukan bantahan ke Pengadilan Negeri Bekasi lantaran proses lelang itu dinilai tertutup.
Proses hukum melawan pihak bank terus bergulir hingga sampai ke Mahkamah Agung (MA). Putusan akhir dari MA, Litje ditetapkan sebagai pihak yang kalah.
Seusai putusan MA, Litje aktif bertanya ke pengadilan terkait waktu sita. Saat itu, pengadilan menyebut, kalau selama belum ada surat dari pengadilan untuk pindah, Litje masih berhak tinggal di sana.
”Saya masih menunggu. Sama orang bank, saya mau dikasih Rp 150 juta. Mungkin karena saya sudah mengangsur banyak, uang damai atau uang silaturahmi atau apa, saya tidak mengerti,” katanya.
Baca Juga: Percobaan Pembunuhan Akhiri Kisah Persahabatan Lima Tahun
Di masa penantian itu, satu minggu sebelum Litje diusir dari rumah, muncul pasangan laki-laki dan perempuan yang diperkirakannya sebagai suami-istri berusia sekitar 30 tahun. Mereka datang saat tengah malam atau sekitar pukul 23.00. Mereka masuk ke halaman rumah dan mematikan listrik rumah itu.
Litje dan suaminya saat keluar rumah mendapati pasangan yang belakangan mengusir mereka berada di depan rumah. Kepada Litje, mereka meminta Litje untuk segera keluar dari sana. Litje tak terima.
Ia meminta mereka menunjukkan bukti kepemilikan rumah. Sebab, orang yang datang itu berinisial SB atau berbeda dengan nama pemenang lelang yang diumumkan pihak bank.
”Kami minta bukti kalau memang rumah ini sudah dibeli. Orang, kan, tidak bisa mengaku-ngaku saja. Tetapi, dia jawab, kamu tidak perlu tahu,” kata Litje.
Litje yang memang sudah tak berhak penuh atas rumah itu, kemudian memohon kepada orang tersebut untuk memberinya waktu. Ia akan segera pergi dari sana setelah mendapat rumah kontrakan.
Tak membawa barang
Sore itu, seminggu kemudian tepatnya 1 Oktober 2019 Litje benar-benar diusir dari rumah. Ia tak pernah mendapat kesempatan untuk masuk lagi ke rumah yang dulu lama ditinggalinya tersebut hingga detik ini.
Pasca-pengusiran, aparat kepolisian kemudian tiba dan membawanya ke Kantor Kepolisian Sektor Bekasi Selatan bersama suaminya. Di sana, Litje berniat membuat laporan penganiayaan karena menderita lebam akibat tiga kali dipukul oleh sepasang suami istri itu. Namun, polisi menolak laporannya karena saat itu, sepasang suami istri itu disebut sudah terlebih dahulu melapor kalau mereka juga dianiaya oleh Litje.
”Polisi bilang saya tidak perlu buat laporan, saya tidak cacat tetap. Kami paksa terus hingga sampai pukul 12 malam, saya visum,” ucapnya.
KTP saya, paspor, buku tabungan, dan peralatan rumah tangga saya selama 40 tahun berkeluarga, semua tidak bisa saya ambil.
Seusai mendapat visum, polisi belum memproses laporan dari Litje. Laporan itu baru diregistrasi tiga hari kemudian atau pada 4 Oktober 2019. Laporan itu kini masih mengendap di aparat kepolisian.
Di lain sisi, seusai kejadian pada 1 Oktober malam, Litje pergi dari rumah hanya berbalut daster yang sudah sobek dan terpaksa tinggal menumpang di kenalannya, di Sakura, Bekasi Timur. Suaminya yang saat kejadian tak berada di rumah lebih beruntung karena dompet dan kartu identitas dirinya masih bisa dibawa.
”KTP saya, paspor, buku tabungan, dan peralatan rumah tangga saya selama 40 tahun berkeluarga, semua tidak bisa saya ambil,” kata Litje.
Baca juga: Kasus Dugaan Perundungan Pegawai KPI Mendapat Atensi Propam Polda
Di rumah itu, kata Litje, masih ada dua kendaraan bermotor miliknya. Selain itu, Litje yang selama ini berbisnis jual beli brankas bekas juga masih menyimpan sekitar delapan brankas milik pelanggannya di rumah itu. Di brankas para pelanggan, ada surat-surat berharga hingga perhiasan emas.
Litje sebenarnya sempat meminta tolong petugas keamanan kawasan perumahan hingga pengurus RT untuk membantu mengambil dokumen kependudukan yang ada di rumah itu. Namun, pasangan yang mengklaim sebagai pemilik rumah menolak dan menyatakan semua barang yang ada di dalam rumah itu telah menjadi milik mereka.
”Dari risalah lelang yang saya dapat dari pengadilan, yang dilelang itu hanya tanah dan bangunan, bukan barang pribadi. Tetapi, ini semua yang ada di situ diambil,” ujarnya.
Tak cukup bukti
Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Komisaris Besar Aloysius Suprijadi, dihubungi secara terpisah, mengatakan, pelapor Litje Mandagi awalnya menjaminkan rumahnya ke pihak bank. Namun, pelapor tak mampu melunasi angsuran sehingga rumahnya dilelang oleh bank dan dibeli oleh terlapor berinisial SB.
”Saat terlapor meminta pelapor mengosongkan rumah, terjadi dorong-dorongan dengan pihak terlapor. Kemudian kedua pihak ini saling lapor ke Polsek Bekasi Selatan," katanya.
Penyidik, kata Aloysius, sudah memeriksa korban maupun terlapor. Namun, tidak ada saksi yang melihat adanya penganiayaan itu. Hasil visum et repertum juga disebut tidak ada luka-luka yang dialami korban.
”Penyidik sudah berupaya melakukan mediasi. Tidak ada perlakuan berbeda. Namun, belum ada kesepakatan antara kedua pihak,” ucapnya.
Baca Juga: Banjir Seusai Hujan Deras Rendam 13 Kampung di Lebak
Menurut suami dari Litje, Donny Mandagi (65), alasan polisi yang menyebut tak cukup bukti merupakan narasi berulang. Padahal, ada tiga anggota kepolisian yang tiba lima menit setelah pengusiran itu.
Para tamu yang ikut mengusir Litje, terutama pihak yang memutus meteran listrik dan meteran air juga meninggalkan identitas diri di gerbang kawasan perumahan. Identitas diri itu seharusnya jadi petunjuk tambahan bagi polisi untuk mengusut kasus penganiayaan itu.
Bersurat kepada Presiden
Setelah hampir dua tahun menunggu proses hukum, Litje akhirnya menyampaikan surat terbuka kepada Presiden. Surat terbuka itu diunggah di akun Twitter @Lisamandagi sejak Senin (13/9/2021). Di surat terbuka itu, Litje berharap mendapat keadilan dan perlindungan hukum.
”Saya ingin ada keadilan buat kita sebagai warga negara. Saya juga warga negara Indonesia. Saya minta proses hukum yang seadil-adilnya,” tutur Litje.
Surat terbuka ke Presiden terpaksa mereka lakukan lantaran berbagai upaya yang telah dilakukan keluarga masih saja buntu. Padahal, dia sudah mengadu ke Komnas HAM hingga ke Badan Reserse Kriminal Umum Polri.
Baca Juga: Keterlibatan Residivis Terorisme dengan Tersangka Baru di Bekasi Didalami