Pembatasan Mobilitas Belum Inklusif dan Masih Kontraproduktif
Pembatasan dan syarat naik angkutan umum serta penyekatan yang dimaksudkan menanggulangi pandemi membuat pekerja sektor informal dan penyandang disabilitas kerepotan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kelompok masyarakat menilai pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 di Ibu Kota belum inklusif dan masih kontraproduktif. Kebijakan penyesuaian dan syarat naik angkutan umum serta penyekatan justru merepotkan pekerja informal dan penyandang disabilitas yang tidak terakomodasi dalam kebijakan pemerintah.
Penilaian itu mengemuka dalam diskusi daring ”Kebijakan Mobilitas Warga Masa Pandemi untuk Siapa? Laporan Evaluasi dan Rekomendasi Kebijakan Mobilitas Pandemi Covid-19 di DKI Jakarta 2021”, Selasa (24/8/2021). Institute for Transportation and Development Policy Indonesia, Rame Rame Jakarta, Greenpeace Indonesia, dan Persatuan Tuna Netra Indonesia melaporkan temuan mereka ketika memantau area transit dan kawasan perkantoran, serta mengumpulkan data selama PPKM level 4 di DKI Jakarta.
Deliani Siregar dari Institute for Transportation and Development Policy Indonesia menyebutkan, kebutuhan mobilitas warga masih tinggi sekalipun ada pembatasan. Alhasil, warga, terutama pekerja informal dan penyandang disabilitas, kerepotan karena penyesuaian armada, surat tanda registrasi pekerja (STRP), dan penyekatan.
Salah satu hasil observasi Deliani dan tim ialah penyesuaian operasional mikrotrans. Armada yang berkurang 50 persen selama PPKM level 4 merepotkan banyak penggunanya yang notabene warga lanjut usia yang mencakup 49 persen, disusul perempuan membawa barang (19 persen), penyandang disabilitas (4 persen), dan lainnya.
”Kontraproduktif dan belum inklusif. Mereka ini bermobilitas untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, berdagang, dan ke fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Situasi serupa juga terjadi pada penyesuaian rute Transjakarta. Penyekatan membuat sebagian rute tutup, dialihkan, dan diperpendek. Imbasnya, warga harus merogoh kocek untuk bahan bakar karena beralih ke kendaraan pribadi atau menggunakan layanan ojek pengkolan dan daring.
Deliani menuturkan, hal tersebut kontraproduktif karena penggunaan kendaraan pribadi justru naik. Padahal, pemerintah tengah berupaya mendorong warga beralih ke angkutan umum.
Greenpeace Indonesia melaporkan kenaikan angka ambang batas baku mutu udara ambien, PM 2,5, naik dua kali lipat selama Juli 2021. Ketimbang bulan sebelumnya, angka harian PM 2,5 melampaui 55 ug/m3 yang menjadi batas baku mutu udara ambien. Dengan begitu, status kualitas udara Jakarta tidak sehat dan tercemar.
”Kami mengharapkan kebijakan ke depannya bisa mengoptimalkan jumlah armada, jam operasional, dan kapasitas angkutan umum,” katanya.
Pemerintah juga diharapkan membatasi kendaraan pribadi. Sebaliknya, memitigasi ketersediaan fasilitas pendukung, seperti sepeda dan sepeda sewa serta mendukung mobilitas skala lingkungan.
Kerepotan
Sektor informal di Ibu Kota menyerap 39,01 persen dari total angkatan kerja. Sayangnya, pembatasan mobilitas belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan mereka.
Rame Rame Jakarta dalam pemantauan pembatasan mobilitas dalam kurun 10-16 Agustus menemukan, pekerja informal tidak dapat mengajukan STRP. Belum lagi harus merogoh kocek tambahan untuk bahan bakar atau naik ojek.
Raihana Putri Utamai, peneliti dari Rame Rame Jakarta, mengatakan, selama pandemi Covid-19 jumlah pekerja informal bertambah karena pemutusan hubungan kerja. Namun, pertambahan itu tak dibarengi kebijakan yang produktif dan inklusif. ”Mereka beralih transportasi. Biayanya tak sebanding dengan pendapatan harian yang turun drastis,” ujarnya.
Pemantauan di kawasan Gondangdia, misalnya, penurunan jumlah komuter membuat lokasi tersebut sepi. Pedagang mau tidak mau harus berkeliling atau berpindah lokasi supaya ada pemasukan.
Sama halnya dengan pemantauan di Kawasan Manggarai dan Karet-Kuningan. Kebanyakan ojek daring beralih lokasi atau berpindah ke layanan pesan antar meskipun ordernya tak banyak.
Sementara itu, Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia DKI Jakarta Eka Setiawan menambahkan, penyandang disabilitas mengalami kesulitan serupa. Mereka bekerja harian untuk mendapatkan nafkah pada hari itu. Ada yang bekerja sebagai pemijat, juga penjual kerupuk. ”Mobilitas mereka rata-rata mengandalkan angkutan umum, tetapi surat tanda registrasi pekerja tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas,” katanya.