Pekerja Informal dan Penyandang Disabilitas Terdampak Pembatasan Mobilitas Saat PPKM Level 4
Dengan upaya pengendalian mobilitas selama PPKM level 4, penumpang wajib menunjukkan sejumlah syarat perjalanan. Namun, pembatasan membuat pekerja sektor informal dan penyandang disabilitas terdampak.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pembatasan penumpang angkutan umum sangat berdampak kepada para pekerja dari sektor informal dan penyandang disabilitas. Mereka masih mengandalkan angkutan umum, tetapi tidak bisa mengakses karena penerapan aturan-aturan pengendalian mobilitas.
Raihana Hutami dari Rame Rame Jakarta dalam diskusi virtual yang digelar Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Rabu (18/08/2021), menjelaskan, dalam situasi pandemi Covid-19, pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan sejumlah aturan pembatasan mobilitas.
Dari kebijakan pembatasan yang sudah dan masih berlaku, di antaranya, penyekatan jalan, pembatasan kapasitas di angkutan umum, pemberlakuan surat vaksin, dan pemeriksaan surat tanda registrasi pekerja (STRP).
Aturan itu, kata Hana, panggilan Raihana, tidak mengakomodasi kebutuhan mobilitas pekerja sektor informal. Hana mencontohkan, untuk layanan angkutan kereta komuter, sampai saat ini syarat perjalanan yang wajib ditunjukkan adalah STRP.
”Pekerja sektor informal adalah pekerja yang tidak terdaftar secara resmi melalui pemerintah. STRP diterbitkan bagi pekerja dari sektor esensial, kritikal, juga berkebutuhan mendesak. Untuk sektor informal, tidak ada institusi yang bisa menerbitkan STRP,” katanya.
Untuk mobilitas dengan angkutan umum, jelas Hana, pekerja sektor informal masih memerlukannya. Apalagi bila tempat beraktivitas jauh. Dengan aturan itu otomatis pekerja sektor informal harus mengeluarkan biaya transportasi lebih mahal dan lebih besar dari pendatan hariannya.
Eka Setiawan, Ketua DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta, dalam kesempatan yang sama, menyampaikan, para penyandang disabilitas masih mengandalkan angkutan umum untuk beraktivitas. Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah, belum berpihak pada kaum disabilitas.
Para penyandang disabilitas, dijelaskan Eka, sebagian adalah pekerja informal yang bekerja harian untuk mendapatkan nafkah pada hari itu pula. Ada yang bekerja sebagai pemijat, juga ada yang menjual kerupuk. Mobilitas mereka rata-rata mengandalkan angkutan umum.
Senada dengan Hana, Eka juga menegaskan, aturan STRP tidak mengakomodasi kebutuhan para penyandang disabilitas. Pertuni pun membantu dengan menerbitkan STRP bagi anggota Pertuni.
Di sisi lain, sesuai dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada hak penyandang disabilitas yang perlu diperhatikan negara, yaitu pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, kesejahteraan sosial, pelayanan publik, serta perlindungan dari bencana.
Menurut Eka, perlindungan dari bencana ini pun belum maksimal. Saat ini, bantuan sosial Rp 300.000 sebulan itu dirasakan masih kurang.
Untuk itu, baik Hana maupun Eka meminta pemerintah menyiapkan langkah mitigasi terhadap kebutuhan mobilitas pekerja sektor informal dan penyandang disabilitas.
Deliani Siregar dari ITDP Indonesia, mengingatkan, dalam PPKM tetap ada kebutuhan bermobilitas. Selain untuk keperluan vaksinasi, juga keperluan dari pekerja sektor informal.
Dengan pembatasan yang mensyaratkan dokumen perjalanan seperti STRP, Anggi menyatakan, itu menyulitkan pekerja sektor informal. Saat ini, yang terlihat adalah peralihan penggunaan ke kendaraan bermotor pribadi. Ke depan, dampak dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi ini mesti diantisipasi.
Keterangan RT
Sementara Karina Amanda, VP Komersial KAI Commuter, sebagai penanggap dalam diskusi, menyatakan, KRL terus menyediakan layanan transportasi terjangkau bagi masyarakat. Dengan pembatasan mobilisasi, sampai saat ini syarat perjalanan dengan KRL bukan hanya STRP. Namun, warga juga bisa memakai surat keterangan ketua rukun tetangga (RT) untuk mendukung perjalanan dan lebih mudah diakses bagi pekerja sektor informal.
”Dan, di PPKM level 4 ini kami belum diharuskan untuk menunjukkan surat keterangan vaksin,” kata Karina.
Ahmad Yani, Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, menjelaskan, PPKM diterapkan dan dibarengi dengan kebijakan pembatasan. Utamanya mengendalikan interaksi masyarakat untuk mengendalikan penularan Covid-19.
”Itu sebabnya pemerintah merasa perlu ada pembatasan ini,” katanya.
Dengan pembatasan, jelas Ahmad Yani, akhirnya tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit rujukan Covid-19 bisa diturunkan dan kasus bisa dikendalikan.
Ojek daring, misalnya, sudah dimintakan prioritas untuk mendapatkan STRP karena menjadi salah satu garda terdepan bagi pasien covid-19 yang tengah menjalani isolasi mandiri.
Ahmad Yani memastikan, paparan yang dikemukakan dalam diskusi virtual menjadi masukan yang akan diperhatikan Kementerian Perhubungan, khususnya dalam perubahan-perubahan kebijakan terkait aksesibiltas dan konektivitas.