Etika Saat di Rumah Saja dan Isolasi Mandiri
Gerakan di rumah saja makin maksimal jika diikuti penanganan tepat terhadap sampah rumah tangga, baik sampah infeksius maupun yang noninfeksius.
Bunyi sirene ambulans mulai akrab terdengar 1-2 pekan terakhir. Evakuasi warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan bergejala sedang hingga berat semakin biasa dijumpai di lingkungan permukiman. Sebagian orang menyatakan, saat ada ledakan kasus Januari-Februari 2021, situasinya belum segenting jelang akhir Juni hingga awal Juli ini.
Di tengah kegentingan itu, cukup lega rasanya ketika mengetahui pemerintah pusat mengetuk palu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, yang berarti memperketat dari yang selama ini telah berlaku. Aturan ini diharapkan lebih tegas dan didukung semua pihak, khususnya masyarakat, lalu pemerintah daerah dan pemerintah pusat sendiri.
Jadi, resmi sudah, mulai hari ini hingga dua pekan ke depan, semua orang yang bukan termasuk pekerja di bidang kegiatan esensial wajib di rumah saja. Untuk memenuhi kebutuhan harian, tempat usaha penyedia bahan pangan dan obat-obatan tetap buka.
Di kota-kota yang selama ini menjadi pusat konsentrasi penularan Covid-19, keliru menangani sampah infeksius, berarti makin memuluskan upaya virus korona ganas menemukan inang-inang baru.
Bersama mereka yang dirawat di tempat tinggal masing-masing karena tidak bergejala atau bergejala ringan atau tengah menunggu mendapatkan tempat di fasilitas kesehatan, gerakan di rumah saja seharusnya bisa membuat 80-90 persen warga tidak lagi berkeliaran di jalanan, perkantoran, tempat-tempat publik, tempat hiburan, dan mal.
Apakah itu cukup untuk memutus mata rantai penularan Covid-19? Ternyata tetap ada ancaman yang mengintai saat sebagian besar orang berada di rumah. Kewaspadaan jauh dari longgar.
Cairan tubuh dengan virus ganas di dalamnya, terutama yang berasal dari mulut dan hidung, mudah menempel di mana saja. Ini termasuk menempel di barang-barang yang dibeli atau dipesan, lalu diantarkan ke rumah, juga semua sampah rumah tangga. Cairan itu berpeluang besar tersentuh orang lain. Virus pun mendapatkan inang baru untuk berkembang biak, menginfeksi siapa saja.
Orang yang sangat berpotensi tertular selain penghuni rumah, yaitu pemungut sampah dari rumah ke rumah dan pengantar-jemput barang pesanan. Dari mereka, virus leluasa menyebar dan menjangkiti siapa saja yang berada di dekatnya, bersentuhan, dan tanpa sengaja memasukkan pemicu Covid-19 itu melalui mulut, hidung, atau bola matanya. Di kawasan perkotaan, ancaman ini semakin serius karena tingkat kepadatan penduduknya tinggi sehingga di sebagian besar kawasan hampir tiada jarak antar-rumah.
Baca Juga: Merawat Kewarasan Warga Kota di Tengah Tekanan Pandemi
Berbagai lembaga di tingkat dunia ataupun negara yang menangani kesehatan publik telah memberi label ”Awas” pada penanganan barang ataupun sampah selama masa pandemi ini, sejak tahun lalu. Di kota-kota yang selama ini menjadi pusat konsentrasi penularan Covid-19, keliru menangani barang juga sampah rumah tangga, berarti semakin memuluskan upaya virus-virus korona ganas menemukan inang-inang baru.
Pada masa pengetatan mobilitas kembali seperti sekarang, ada etika agar setiap orang tahu apa yang baik dan buruk serta memahami sekaligus melaksanakan hak dan kewajiban moral untuk sama-sama mencegah meluasnya wabah. Salah satunya, perlu meningkatkan kewaspadaan dalam mengelola barang serta sampah rumah tangga, terutama sampah infeksius.
Kata kuncinya simpel saja, disinfeksi setiap benda di sekitar kita. Bisa dengan cara mencuci bersih dengan sabun ataupun materi lain yang ampuh mengusir virus dan bakteri, tetapi aman bagi manusia, termasuk anak-anak. Untuk bahan pangan, perlakuan serupa dapat diterapkan selama memungkinkan. Pada makanan kemasan, lebih baik jika mendisinfeksi bungkusnya sebelum dibuka dan dibuang. Makanan dipanaskan dan dipindahkan ke dalam wadah bersih.
Untuk sampah, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang fokus pada perlindungan dan kesejahteraan anak-anak (Unicef) mengeluarkan panduan terkait limbah rumah tangga infeksius. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organisme tersebut dalam jumlah mencukupi untuk menularkan penyakit kepada manusia. Organisme patogen itu salah satunya SARS-CoV-2.
Baca Juga: Pudarnya Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan
Yang termasuk dalam limbah infeksius di masa pandemi ini adalah alat pelindung diri (APD) berupa masker, sarung tangan, sampai sisa makanan. Unicef menyatakan perlu kerja sama dua pihak, yaitu tiap rumah tangga dalam masyarakat dan pemerintah daerah, dalam menangani limbah infeksius.
Di dalam rumah tangga dengan anggota keluarga positif Covid-19, seluruh barang didisinfeksi sebelum dan setelah digunakan. Semua sampah yang dihasilkan tergolong sampah infeksius dan dikemas terpisah antara bekas APD, non-APD, dan sisa makanan. Tanda tertentu perlu disematkan guna menginformasikan kepada petugas kebersihan lingkungan bahwa itu adalah sampah infeksius dari orang yang terpapar Covid-19.
Kemasan harus didisinfeksi sebelum dimasukkan ke tong sampah tiap rumah. Kemasan dibuat serapat mungkin sehingga sampah tidak tercecer saat pengambilan oleh petugas dan ketika diangkut ke tempat penimbunan sementara hingga ke pembuangan akhir. Di rumah tangga yang bebas Covid-19, tetap diminta memilah dan mengemas terpisah bekas APD dan non-APD serta sisa makanan. Bekas APD tetap masuk kategori infeksius.
Pemerintah daerah melalui dinas kebersihan serta suku dinas di bawahnya mengemban amanat penting, yaitu memiliki mekanisme serta fasilitas penanganan sampah infeksius. Unicef menyarankan ada petugas khusus pengangkut sampah infeksius dengan mengenakan APD serta kendaraan pengangkut khusus. Jika tidak ada, bisa bekerja sama dengan puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.
Baca Juga: Dalam Cengkeraman Partikulat Jahat
Namun, di Indonesia, seperti terlihat di Jakarta dan sekitarnya, tuntutan ideal ini masih jauh dari dipenuhi. Menyiasati situasi tak menguntungkan ini, peran tiap orang dan rumah tangga untuk memilah sendiri lalu mengemas rapi sampah infeksiusnya amat diperlukan.
Selanjutnya, pemerintah daerah berbenah dengan menambah tanggung jawab dinas kebersihan menangani sampah infeksius sejak di tempat penampungan sementara. Dengan menyiapkan petugas lengkap dengan armada pengangkutan tersendiri, dari penampungan sementara sampah infeksius diangkut menuju fasilitas pengolahan bahan berbahaya dan beracun (B3). Sampah non-infeksius dikelola terpisah seperti yang selama ini telah berjalan.
Untuk penanganan limbah padat perkotaan, DKI Jakarta memiliki Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang di Bekasi, Jawa Barat. TPST ini menjadi muara 7.424 ton sampah Ibu Kota setiap harinya. Selain itu, sebelum pandemi, DKI sudah menyadari perlunya penanganan serius limbah B3 di tingkat permukiman di antaranya karena maraknya sampah popok sekali pakai. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2020 pun memasang target kerja, antara lain menambah tempat penampungan sementara limbah B3 skala kecamatan dan kota.
Namun, belum tuntas dengan limbah B3 prapandemi, sepanjang April-Desember 2020, petugas kebersihan di Jakarta mengumpulkan 1,5 ton sampah masker. Ini baru masker bekas yang dikumpulkan, belum terprediksi berapa banyak yang tercecer di luar sana, juga melihat lonjakan sampah APD lain. Melihat perkembangan sampai pertengahan 2021 ini dan belum pastinya wabah global ini berakhir, kebutuhan tempat limbah B3 pun bisa dipastikan terus naik.
Baca Juga: Kami Bergerombol, maka Kami Ada
Masa pengetatan kembali kali ini menjadi momentum setiap rumah tangga juga pemerintah daerah memperbaiki tata laksana pengelolaan sampah. Di kala warga lebih banyak di rumah, pesan-pesan dan ajakan praktik langsung penanganan sampah yang benar dapat disampaikan melalui perpanjangan tangan pemerintah di tingkat RT/RW sembari mengingatkan agar meningkatkan disiplin protokol kesehatan. Perencanaan dan peningkatan kapasitas pengelolaan sampah rumah tangga perkotaan, termasuk sampah infeksius, pun bisa mulai dipercepat dilakukan.
Sampah warga, apalagi sampah infeksius, jangan sampai berakhir di selokan atau sungai-sungai yang memberi peluang besar bagi virus menerkam kita kembali. Sadar atau tidak, cara-cara itu mengurangi risiko paparan Covid-19 secara lebih luas.
Dengan keseriusan menekan risiko penularan virus korona sejak dari rumah, kita berpeluang mengurangi raungan sirene ambulans saat mengevakuasi warga sakit parah atau menjemput jasad mereka. Sirene ambulans tak usah terdengar lagi.