Hasil jajak pendapat ”Kompas”, 78 persen publik masih enggan membayar demi menikmati konser musik daring. Tak sampai 17 persen responden yang bersedia membayar.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 lebih dari setahun terakhir membuat stagnasi industri musik di negeri ini kian parah. Dukungan masyarakat dan pemerintah diperlukan agar suara musisi kembali ”merdu” menghidupkan dunia hiburan.
Stagnasi industri musik di Indonesia sudah menggejala sejak satu dekade lalu. Data laporan Upah Tenaga Kerja Ekonomi Kreatif 2011-2016 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, industri musik menjadi salah satu industri paling kecil dalam skema ekonomi kreatif Indonesia.
Laporan ini menunjukkan industri musik hanya memiliki sekitar 26.000 pekerja pada 2016, tak banyak bergerak dari jumlah pekerja di 2015 pada kisaran angka 25.000 orang. Jumlahnya tak sampai sepersepuluh dari jumlah pekerja industri mode di angka 2,4 juta orang dan jumlah pekerja industri kuliner sebesar 2 juta orang.
Industri musik di Indonesia juga lebih inferior dalam kontribusi terhadap produk domestik bruto. Pada 2017, industri ini hanya menyumbang 1 persen dari total kontribusi industri kreatif terhadap PDB nasional. Ini jauh tertinggal dibandingkan industri kuliner yang konsisten berkontribusi 40 persen dan mode pada kisaran 17 persen.
Meskipun begitu, sebetulnya gaji yang didapat pekerja musik cukup baik jika dibandingkan subsektor ekonomi kreatif lain. Dengan rerata Rp 3 juta, industri musik jadi industri dengan pendapatan pekerja tertinggi keempat. Lebih tinggi dibandingkan industri mode dengan rerata Rp 2 juta dan kuliner sebesar Rp 1,7 juta.
Tekanan pandemi
Stagnasi industri musik ini diperparah beratnya tekanan pandemi. Tak hanya industri musik, secara umum sektor ekonomi kreatif melesu. Paparan Badan Ekonomi Kreatif, sektor ekonomi ini diproyeksikan hanya menyumbang Rp 1.100 triliun di 2020. Proyeksi ini lebih kecil sekitar Rp 100 triliun dari proyeksi tahun sebelumnya.
Kelesuan ekonomi kreatif ini juga dirasakan pekerja di industri musik. Seperti diutarakan Mahavira Wisnu Wardhana, pendiri label Wonderland. ”Kalau dikatakan berat, berat sekali. Enam bulan pertama kondisi paling berat karena kita enggak ada hal lain selain merilis lagu. Itu pun butuh cost dan secara KPI enggak ada panggung. Ada manggung cuma sekali dalam enam bulan dibayar Rp 10 juta,” ujarnya (Kompas, 18/4/2021).
Kesulitan pekerja industri musik tak lepas dari perilaku konsumen industri musik di Indonesia. Selama pandemi, animo masyarakat dalam menikmati karya-karya musisi cenderung rendah. Jajak pendapat Kompas akhir Mei lalu menunjukkan, hampir separuh dari responden tak pernah menikmati konser musik musisi dalam negeri, baik secara on air (melalui saluran televisi/radio) maupun daring.
Tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi memberi ruang bagi para musisi untuk terus berkarya di tengah keterbatasan. Jajak pendapat juga menunjukkan setidaknya nyaris sepertiga dari responden menikmati konser musisi dalam negeri melalui berbagai platform daring selama 2020.
Meski begitu, tak semua mau mengapresiasi pengalaman menonton konser daring. Hasil jajak pendapat, 78 persen publik masih enggan membayar demi menikmati konser daring. Tak sampai 17 persen responden yang bersedia.
Keengganan serupa tampak dari perilaku masyarakat dalam menikmati karya musisi lokal di platform digital (Spotify, JOOX, Apple Music, dan lain-lain). Hampir 70 persen responden mengaku tak bersedia membayar biaya langganan. Kian sedikit mereka yang mau membayar langganan (26 persen), semakin sedikit pula royalti yang akan didapatkan musisi di Indonesia.
Hal ini menunjukkan sebuah miskonsepsi di tengah masyarakat terkait distribusi karya secara daring. Sayangnya, mayoritas masyarakat masih berekspektasi bahwa konten yang didistribusikan secara daring sudah seharusnya gratis. Bisa jadi, keengganan memberi dukungan finansial ini berakar dari belum nyamannya menikmati karya musik melalui layar tanpa mendapat sensasi fisik.
Masa depan industri musik dalam negeri pun serba tak pasti. Sebab, tidak ada jaminan animo masyarakat dalam menikmati acara musik akan segera kembali seperti sebelum pandemi. Jajak pendapat memotret hanya seperlima responden yang mau menikmati acara musik secara langsung setelah divaksin. Bahkan, lebih dari separuh responden benar-benar tak mau menghadiri meski telah divaksin.
Walhasil, ruang gerak musisi pun sempit. Tak heran bila masyarakat berharap kepada pemerintah untuk bisa berbuat lebih dalam menjamin kesejahteraan pekerja industri musik. Baru sekitar sepertiga publik yang merasa pemerintah telah membuat kebijakan yang membantu pekerja musik selama pandemi. Sepertiga lainnya menyatakan pemerintah belum mendukung mereka.
Persepsi publik ini perlu jadi catatan pemerintah. Meski kontribusi terhadap APBN relatif kecil, industri musik menjadi penggerak yang memompa perolehan industri lain di sektor ekonomi kreatif.