Pandemi yang Mengubah Lanskap Musik
Vokalis Navicula, Gede Robi, mengingatkan, selama ini kontribusi yang dihasilkan dari musik untuk negara tidak pernah terdata.
Pandemi Covid-19 tak bisa dimungkiri telah mengubah lanskap musik di Tanah Air. Panggung musik luring yang selama ini jadi tumpuan terbesar para pelaku industri musik ”roboh” dan memaksa para musisi beradaptasi ke panggung-panggung daring meski juga tak imun dari persoalan. Akan sampai kapan?
Empat ratus hari sejak pandemi Covid-19 menerjang Tanah Air jelas bukan waktu singkat. Selama itu, agar bisa bertahan, pelaku industri musik harus beradaptasi dengan berbagai cara. Memeras kreativitas sampai titik penghabisan.
Head Music and Content Resso Christo Putra, dalam sesi Breakfast With Resso, Rabu (30/3/2021), mengungkapkan, pihaknya melakukan banyak adaptasi. Resso adalah aplikasi musik streaming yang menggabungkan media sosial dengan aplikasi musik. Resso beroperasi di Indonesia pada Maret 2020, tepat ketika pandemi menerjang.
”Banyak yang bilang kami muncul di saat yang enggak tepat. Kami juga berpikir mungkin ini cuma sebentar. Ternyata sampai satu tahun. Kami lalu putar otak, enggak hanya sebagai aplikasi musik streaming, tetapi juga bagaimana caranya men-support musisi lewat cara digital,” ujar Christo.
Resso memulainya dengan membuat konser akustik virtual, disusul konser live streaming. Resso yang melihat peluang pada kolaborasi, lantas menginisiasi kolaborasi musisi lintas generasi, seperti Endah N Rhesa dengan Vira Talisa, membawakan ulang ”Liburan Indie”.
Resso pun menggandeng penyanyi yang suka membuat cover lagu untuk memproduksi lagu tersebut secara legal. Terakhir, Resso menggarap kolaborasi musisi antargenre. Lagu ”Gadis Genit” yang dibawakan Vidi Aldiano dan Soundwave, menghasilkan view di Tiktok hingga 3 miliar.
Mahavira Wisnu Wardhana, yang mendirikan label Wonderland pada Maret 2020, pun harus memutar otak. ”Memang kalau dikatakan berat, berat sekali. Kalau boleh jujur, enam bulan pertama adalah kondisi paling berat karena kita enggak ada hal lain selain merilis lagu. Itu pun butuh cost dan secara KPI enggak ada panggung. Ada manggung cuma sekali dalam enam bulan dibayar Rp 10 juta,” kata Inu.
Inu lalu mengubah strategi. Ia menormalisasi kembali fungsi label, yaitu dengan sebanyak mungkin menggandeng artis baru, lalu merilis lagu. ”Enggak ada lagi cara untuk ambil revenue. Harus menulis lagu. Jadi, istilahnya aku siapkan pasukannya dulu. Nanti kalau konser offline sudah siap jalan, aku sudah siap,” papar Inu.
Dia menambahkan, joint venture dengan label besar seperti Universal yang dilakukan Wonderland juga menjadi solusi karena Wonderland membutuhkan sistem pendukung yang punya kapital besar. Kolaborasi label indie dengan label besar di masa pandemi, bahkan mungkin akan jadi model bisnis yang baik di masa depan.
Buka mata
Penyanyi seperti Andien merasa pandemi memberikan tantangan baru karena harus melakukan banyak adaptasi selama pandemi. ”Aku dan tim sama-sama belajar, harus buka mata terhadap semua digitalisasi yang ada. Karena timku kecil, maka yang kami lakukan adalah kolaborasi sebanyak-banyaknya,” kata Andien.
Hal yang perlu diingat, digitalisasi juga menyisakan masalah baru, seperti pada masalah copy right dan performing right. Terlebih, seperti diungkap pengelola Indomusikgram, Christian Bong, pandemi telah melahirkan banyak penyanyi baru atau setidaknya orang yang mengunggah dirinya menyanyi di media sosial.
Seperti halnya Andien, adaptasi pada dunia digital pun dilakukan Hivi. Personel Hivi, Febrian Nindyo Purbowiseso, mengatakan, meski awalnya kaget karena pendapatan terbesar Hivi datang dari live performance, mereka cukup beruntung karena selama ini melakukan banyak hal secara mandiri sehingga transisi dan adaptasi relatif cepat.
”Semua goes digital. Jadi, kita list ulang satu per satu mana saja sih sumber revenue-nya. Mulai dari royalti, digital, advertising, panggung online yang sampai sekarang masih datang dari korporasi, BUMN. Dari wedding juga ada sesekali. Alhamdulillah sampai sekarang masih bertahan,” papar Febrian.
Meski begitu, tak semua musisi seberuntung Andien atau Hivi. Menurut Febrian yang juga pengurus Fesmi (Federasi Serikat Musisi Indonesia), musisi yang jumlahnya paling besar justru yang menggantungkan hidupnya dari hotel, restoran, kafe, wedding, dan bar. Mereka butuh bantuan karena jauh dari panggung-panggung virtual.
Merujuk hasil riset Fesmi pada 1.378 musisi di seluruh Indonesia di masa pandemi, sebanyak 81,7 persen musisi memiliki cicilan. Dari angka tersebut, 44,4 persen memiliki dua jenis cicilan atau lebih.
”Di antara semuanya, 41,2 persen belum terdaftar asuransi sama sekali, bahkan BPJS Kesehatan atau perlindungan kerja. Sebanyak 86,9 persen belum memiliki tabungan berencana atau investasi jangka panjang dan 86,2 persen belum memiliki tabungan darurat. Makanya, mereka terpukul sekali,” kata Febrian.
Terkait hal itu, vokalis Navicula, Gede Robi mengingatkan, selama ini kontribusi yang dihasilkan dari musik untuk negara tidak pernah terdata. Yang terjadi, uang yang masuk dari pariwisata, di Bali khususnya, di bar yang terdata hanya dari penjualan makanan dan minuman. Padahal, musik memberi kontribusi besar terhadap ramainya sebuah acara.
”Harusnya data itu dipakai sebagai acuan. Kalau dulu sebelum pandemi musik memberi uang untuk negara, dalam situasi pandemi harus ada banyak alokasi dana untuk musisi,” kata Robi. Di Bali, sebanyak 76 persen musisi belum menerima bantuan apapun dari pemerintah.
Terkait ajang luring, Dewi Gontha, President Director PT Java Festival yang menggelar Java Jazz Festival, mengungkapkan, bersama Asosiasi Promotor Musik Indonesia, pihaknya mendorong agar konser luring dapat segera direalisasikan.
Berdasarkan pertemuan dengan Kemenparekraf, Mabes Polri, Satgas Covid-19, dan Kemenkes, bulan Juni konser luring diperkirakan dapat dimulai kembali meski dengan banyak persyaratan.
”Harapan kita kembali offline meski dengan skala jauh lebih kecil. Misalnya Java Jazz di hall yang dulunya punya kapasitas 8.000 berdiri, jika kita ikuti prokes, hanya duduk, dapatnya 900 orang. Apakah akan menguntungkan? Sejujurnya kita enggak tahu. Kemungkinan besar tidak. Cuma kalau kita tidak mulai, ya, kita akan begini terus,” kata Dewi.