Air Tanah Susut, Air PAM Kusut
Seiring dengan keterbatasan air tanah, warga Jakarta sangat bergantung pada air perpipaan. Namun, air perpipaan baru menjangkau 64 persen warga dan kuantitasnya pun tidak sepenuhnya prima.
Penyediaan air di Jakarta selama ini sangat bergantung pada pemanfaatan air perpipaan dan air tanah. Namun, ke depan, seiring dengan keterbatasan air tanah, air perpipaan dengan kuantitas dan kualitas belum prima harus menjadi andalan warga Jakarta.
Hingga sekarang ini, air bersih masih menjadi masalah bagi warga Jakarta. Cakupan layanan air perpipaan, dari catatan PAM Jaya, baru menjangkau 64 persen warga ber-KTP DKI Jakarta.
Kebutuhan air bagi 10,2 juta jiwa penduduk Jakarta pada 2015 dengan standar kebutuhan 150 liter per orang per hari adalah 1,53 juta meter kubik (m3) per hari. Angka itu setara dengan 612 kolam renang ukuran olimpiade atau hampir 70.000 tangki truk beroda 6 x 4.
Kebutuhan akan air sebanyak itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap warga. Mulai untuk minum, mandi, cuci pakaian, kegiatan dapur, cuci kendaraan, hingga kegiatan toilet.
Baca juga : Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Kebutuhan air bersih di tipa-tiap kecamatan pun berbeda sesuai populasi penduduk. Dari analisis Kompas melalui peta ”Kebutuhan Air Bersih di Setiap Kecamatan”, diketahui ada tiga kategori kecamatan berdasarkan kebutuhan airnya.
Kategori pertama, kecamatan dengan kebutuhan air paling rendah (25.000 m3 per hari), seperti Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Pademangan, Menteng, dan Kelapa Gading.
Kategori kedua, dengan kategori kebutuhan air 25.000-49.000 m3 per hari. Lokasinya tersebar di seluruh wilayah, seperti Kemayoran, Palmerah, Kembangan, Kebayoran Lama, Pulo Gadung, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.
Kategori ketiga, kecamatan dengan kebutuhan air tertinggi (50.000 - 75,6 ribu m3 per hari). Mayoritas kecamatan berada di Jakarta Utara (Tanjung Priok, Cilincing, Cakung). Selanjutnya Jakarta Barat (Kalideres, Cengkareng), dan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Baca juga : Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Untuk memenuhi kebutuhan air sebanyak itu, warga biasanya mengandalkan dua sumber, yaitu air tanah dan air perusahaan air minum (PAM).
Idealnya, kebutuhan air didapatkan dari PAM, tetapi tidak semua wilayah terlayani dengan air pipanisasi. Dengan demikian, ada warga masyarakat yang terpaksa mengandalkan air tanah sebagai air baku sehari-hari.
Namun, masalahnya, bagi penduduk di Jakarta Utara, karena adanya intrusi air laut, membuat mereka bergantung pada air PAM yang diperoleh dari hidran air, kios air, ataupun Master Meter.
Air perpipaan
Sejak 1998, pengelolaan air Jakarta diserahkan kepada dua operator swasta. Pengelolaan tersebut disahkan dalam Surat Menteri Pekerjaan Umum Nomor IK.03.03MN/260 tanggal 19 Juli 1995 yang dilatarbelakangi oleh pelayanan PAM JAYA yang kurang maksimal.
Operator pertama adalah PT Kekarpola Thames Airindo (KATI) bersama RWE Thames Water (PT Aetra) yang merupakan anak perusahaan Inggris, Thames Water. Operator kedua ialah PT Garuda Dipta Semesta bersama Ordeo Suez Lyonneise de Eaux (PT Palyja) milik konglomerat Perancis, Suez.
Keduanya memiliki wilayah tugas yang berbeda. Wilayah timur Sungai Ciliwung merupakan wilayah operasional PT Aetra. Adapun wilayah barat Sungai Ciliwung adalah wilayah PT Palyja. Dalam kontrak kerja sama ini, seluruh aset dan hak pengelolaan pelayanan air minum PAM JAYA diserahkan kepada operator mitra swasta.
Baca juga : Pencuri Air Berusaha Mengaburkan Jejak Bukti
Cakupan jaringan perpipaan dua operator tersebut memang belum menjangkau semua warga. Solusinya, Palyja dan Aetra membangun sarana tambahan akses air bersih masyarakat dalam program ”Air untuk Semua”.
Pertama ialah hidran umum yang dikelola perorangan dengan sumber air dari sambungan pipa PAM JAYA. Hidran ini diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di daerah permukiman resmi.
Selanjutnya melalui Master Meter dengan pipa berdiameter besar dan dikelola oleh komunitas. Master Meter ini melayani masyarakat di area tidak resmi, seperti daerah konflik, bantaran kali, atau kolong jembatan.
Ketiga ialah kios air yang merupakan program penyediaan air bersih untuk MBR di luar jangkauan PAM JAYA. Kios air ini banyak tersebar di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Setiap kios air dapat melayani 35 hingga 200 keluarga.
Meskipun diperuntukkan bagi MBR, pelanggan tiap jenis akses air bersih ini dikenai tarif yang bervariasi setiap meter kubiknya. Palyja, hingga 2021, tercatat memiliki 45 kios air yang melayani 9.645 KK; Aetra (2018), tercatat memiliki 5 titik kios air di 3 lokasi yang melayani 161 KK.
Walau privatisasi sudah berlangsung sejak lama dengan berbagai programnya, di lapangan masih ditemui sejumlah hambatan. Mulai dari keluhan pelanggan air PAM terkait kualitas air yang keruh, bau, kotor, tekanan air tidak stabil, hingga hanya mengalir di malam hari saja. Selain itu tidak jarang juga terjadi rekening tagihan yang membengkak meski penggunaan air wajar.
Selain itu ada juga pencurian air sebagai salah satu faktor penghambat distribusi air ke setiap keran pelanggan. Menurut PAM JAYA, dari total produksi air bersih tahun 2021 sebesar 1,7 juta m³ per hari, sebesar 45 persen di antaranya mengalami kebocoran. Hal ini otomatis dapat mengurangi pasokan dalam pemenuhan kebutuhan air warga DKI Jakarta yang sangat besar.
Baca juga : Krisis Cadangan Air Bersih Jakarta
Air tanah
Saat jaringan perpipaan belum menjangkau semua warga, penggunaan air tanah menjadi salah satu alternatif. Terlebih bagi mereka yang bermukim di 40 persen wilayah yang belum terjangkau PAM JAYA.
Catatan Balai Konservasi Air Tanah, pengambilan air tanah di Jakarta bahkan telah dimulai tahun 1945. Volumenya masih sangat kecil, yakni sekitar 5 juta m3 per tahun.
Seiring dengan pertumbuhan industri, perkembangan kota, serta urbanisasi tinggi, pemakaian air tanah terus meningkat. Pemakaian mencapai puncak tahun 1995 hingga 35 juta m³ per tahun.
Periode selanjutnya, hingga tahun 2000-an, penggunaan air tanah menurun. Mengutip dari penelitian ”Simulasi Perilaku Air Tanah Jakarta akibat Pengambilan Air Tanah Berlebihan (Wulan&Mushonati, 2018)”, ternyata setelah krisis moneter, banyak industri yang kolabs. Selanjutnya penggunaan air tanah cenderung stabil pada periode 2000-2009 di angka rata-rata 21 juta m³ per tahun.
Tahun 2010, volume pengambilannya turun menjadi 10 juta m³ per tahun karena terbit surat keputusan (SK) Gubernur Nomor 37 Tahun 2009 tentang pajak pengambilan air tanah. Pengenaan pajak air tanah merupakan upaya untuk membatasi pengambilan air tanah yang berdampak pada lingkungan. Tahun 2018, volumenya menurun menjadi 8,1 juta m³ per tahun.
Meski pengambilan air tanah menurun, pengambilan selama puluhan tahun lalu tetap berdampak pada penurunan muka tanah. Dari tahun 1974 hingga 2014, sejumlah area di Jakarta mengalami penurunan muka tanah.
Menurut analisis peta Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, dalam rentang waktu itu penurunan paling ekstrem terjadi di sekitar Penjaringan, Jakarta Utara, sebesar 4,1 meter. Kemudian disusul Cengkareng 2,1 meter dan Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading, serta Cakung 1,4 meter.
Turunnya muka tanah itu sejalan dengan rusaknya air tanah di daerah terdampak. Kondisi ini juga yang menyebabkan jumlah sumur bor terdaftar di Jakarta Utara sebagai wilayah pesisir DKI Jakarta tercatat paling sedikit (481 titik). Di sisi lain, dari analisis Kompas, kawasan Tanjung Priok dan Cakung tercatat sebagai kecamatan yang kebutuhan airnya paling banyak.
Kerawanan air di daerah utara Jakarta harus segera diatasi. Penyediaan air PAM, baik melalui jaringan perpipaan maupun melalui Hidran dan Kios Air, harus tetap mengalir lancar.
Tak hanya layanan air bersih di utara Jakarta saja. Namun, perusahaan pengelola air minum Jakarta diharapkan menuntaskan cakupan layanan air bersih hingga 97 persen masyarakat pada tahun 2025, sesuai dengan target PAM Jaya dalam ”Analisa Kebutuhan dan Neraca Air Jakarta 2010-2030”.
Potensi krisis air bersih di provinsi terpadat di Indonesia ini semakin dekat di depan mata. Air bersih sebagai kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup warga DKI Jakarta akan semakin sulit diperoleh. Pengendalian penggunaan air tanah dan perbaikan layanan air perpipaan adalah prioritas mutlak.