Tawuran yang Merenggut Nyawa di Kemayoran Terkait Kejahatan Jalanan
Delapan pelaku dalam tawuran antar-remaja di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (19/5/2021), ditetapkan sebagai tersangka. Tindakan mereka menyebabkan korban meninggal dunia.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Delapan pelaku pengeroyokan seorang warga dalam aksi tawuran antar-remaja di Jalan Utan Panjang III, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (19/5/2021), ditetapkan sebagai tersangka. Tindakan mereka menyebabkan korban, yang sempat melerai tawuran, meninggal pada hari yang sama.
”Kami dari Polres Metro Jakarta Pusat dengan Polsek Kemayoran mengambil langkah cepat, kurang dari 1 x 24 jam, berhasil mengamankan delapan tersangka yang memiliki peran berbeda,” kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Setyo Koes Hariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/5/2021).
Kedelapan tersangka adalah RR (15), MF (17), ADL (15), MD (15), ABS (24), dan ZFG (22) yang berperan melempar batu ke korban. Adapun JML alias S (18) yang juga melempar batu terbukti menggunakan narkoba. Tersangka lainnya adalah ISK (18), pelaku pembacokan korban dengan senjata celurit yang masih buron.
Orang dewasa bisa merekrut anak-anak untuk dijadikan martir. Hal ini mudah dilakukan karena secara psikologis anak-anak senang jika mendapat pengakuan sekalipun dibalut aksi premanisme. (Putu Elvina)
Setyo menjelaskan, kejadian berawal dari aksi tawuran antara kelompok remaja Harapan Mulia dan Utan Panjang. Kedua kelompok tersebut sebelumnya saling menantang melalui media sosial Instagram. Mereka kemudian tawuran sekitar pukul 03.30 di pertigaan pabrik Roti Alpha.
Warga bernama Muhammad Luthfi (31), warga Harapan Mulia, diduga sempat mencoba melerai, tetapi dengan ikut melawan. Ayah tiga anak itu lantas ditawan kelompok Harapan Mulia dan mendapat luka bacok di perut. Setelah jadi korban penyerangan, Luthfi dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Naas, nyawanya tidak selamat.
Dalam penyidikan, polisi menemukan bukti aksi pengeroyokan dari para pelaku. Ini dibuktikan dengan sebilah celurit berukuran 80 sentimeter, satu busur panah sepanjang 100 meter, dua batang bambu panjang, dan beberapa batu yang diamankan polisi.
Pelaku di atas 18 tahun disangkakan dengan Pasal 170 KUHP dengan hukuman paling lama 12 tahun penjara. Sementara pelaku di bawah umur akan ditindak sesuai undang-undang sistem peradilan anak.
Saat penangkapan, polisi juga mencium bau alkohol pada semua tersangka. Juga ditemukan penyalahgunaan amfetamin atau sabu oleh dua tersangka, yang telah disangkakan Pasal 112 juncto Pasal 127 UU Narkotika.
”Kami sampaikan, berdasarkan penelusuran, terlibat pelaku peredaran narkotika dan kejahatan jalanan. Kami akan mengejar para pelaku tindak pidana tersebut. Kami sampaikan juga kepada para pelaku tawuran agar tidak lagi melakukan tindakan tersebut di wilayah Jakpus,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Teuku Arsya Khadaffi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, yang hadir pada kesempatan sama, mengapresiasi upaya polisi yang dengan cepat menindak pelaku kejahatan jalanan yang melibatkan anak-anak. Ia berharap polisi membebani hukuman orang dewasa yang bertanggung jawab memengaruhi pelaku anak di bawah umur.
”Di kasus ini, orang dewasa bisa merekrut anak-anak untuk dijadikan martir. Hal ini mudah dilakukan karena secara psikologis anak-anak senang jika mendapat pengakuan sekalipun dibalut aksi premanisme. Anak bisa merasa hebat ketika semakin sadis bertindak,” tuturnya.
Ia juga menilai, peran orangtua, tokoh masyarakat, hingga pendidik belum optimal dalam mengantisipasi kejahatan jalanan oleh anak. Selain itu, orang dewasa juga cenderung kurang mengawasi penggunaan media sosial oleh anak yang semakin marak digunakan untuk saluran kejahatan.
”Apalagi selama pandemi ini, anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan orang lain lewat media sosial. Media sosial pun jadi sarana untuk memprovokasi antargeng kemudian tawuran,” lanjutnya.
Akses internet juga dinilai ikut membuat anak-anak berani terlibat dalam aksi atau terjebak kejahatan, tanpa keterlibatan orang dewasa. Selain kejahatan jalanan, anak-anak juga semakin rentan jadi korban kejahatan seksual, eksploitasi, dan perundungan daring.