Lagi dan Lagi, Cerita Narkoba Melibatkan Artis dan Keluarganya
Kepuasan yang tak terbatas, sebuah kekhasan manusia, harus terus dipenuhi dengan peningkatan dopamin. Inilah lingkaran setan kepuasan yang menjebak pencandu narkoba.
Pekan ini, di antara banyak kasus yang viral dibicarakan publik, terselip kasus narkoba yang melibatkan keluarga artis negeri ini. Secara resmi, Polda Metro Jaya merilis kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan oleh Raffi Zimah (27), anak pedangdut kawakan Rita Sugiarto, Rabu (19/5/2021). Penyalahgunaan tersebut diakui sudah dilakukan bertahun-tahun.
Hal ini terungkap setelah polisi menangkap Raffi di salah satu kamar hotel di kawasan Ciracas, Jakarta Timur, Senin (17/5/2021). Penangkapan berawal dari laporan warga yang melihat pelaku.
”Dari kamar hotel Raffi, polisi mendapatkan sejumlah barang bukti berupa 0,9 gram sabu beserta alat isap atau yang biasa disebut bong,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus di Jakarta.
Sudah lama (menggunakan), sekitar tiga tahun. (Alasannya) karena pergaulan.
Menurut Yusri, barang tersebut digunakan oleh Raffi di kamar hotel tersebut. Raffi pun dites dan hasilnya positif amfetamin. ”Dia mengaku sudah menggunakan dari hasil yang dia beli,” kata Yusri.
Setelah diselidiki lebih lanjut, Raffi ternyata sudah tahunan menyalahgunakan narkoba. ”Sudah lama (menggunakan), sekitar tiga tahun. (Alasannya) karena pergaulan,” ujar Raffi pada kesempatan yang sama.
Raffi kini telah ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Pasal 127 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman 4 tahun penjara.
Di hari penangkapan Raffi, polisi juga mengejar dua pengedar, yaitu RW dan AK. Keduanya diketahui memasok sabu-sabu ke Raffi. Polisi berhasil menangkap keduanya di lokasi berbeda, yaitu di Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, dan Kayu Putih, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten.
”Dari tangan RW, polisi mendapat sabu-sabu seberat 0,2 gram, sementara dari AK mendapatkan sabu-sabu seberat 2 gram,” kata Yusri.
RW dan AK juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka disangkakan Pasal 114 Ayat 1 Subpasal 112 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 35 tentang Narkotika dengan ancaman pidana paling lama 20 tahun.
Berulang dan mengulang efek rasa senang
Kasus Raffi ini mengingatkan pada kasus serupa yang menjerat putra raja dangdut Rhoma Irama, Ridho Roma, yang dalam catatan Polda Metro Jaya turut terjerat narkoba setidaknya pada Februari 2021. Selain anak artis, sederet artis Nusantara juga sudah banyak yang terjerat narkoba.
Sepanjang 2-3 tahun terakhir, masih dari catatan Polda Metro Jaya, setidaknya publik dihebohkan oleh penangkapan Reza Artamevia, Tio Pakusadewo, dan Fariz RM. Reza dan Fariz malah lebih dari sekali tersandung kasus yang sama.
Dalam pemberitaan Kompas, Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta, Rizki Edmi Edison memberi penjelasan mengapa seseorang bisa terus terjerembab dalam kubangan ketagihan narkoba meskipun sudah berkali-kali ditangkap maupun mendapat perawatan agar tak kecanduan. Namun, ia terlebih dahulu mengajak untuk memahami tentang motivasi.
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kepuasan. ”Tidak peduli apakah kegiatan itu positif atau negatif, mau membantu orang atau meninju orang, tujuan dari motivasi adalah terpenuhinya kepuasan,” kata peraih gelar doktor dari Department of Neurosurgery Jichi Medical University, Jepang, tersebut.
Kemunculan adiksi atau kecanduan (terhadap apa pun, termasuk di luar narkoba, seperti pornografi) erat kaitannya dengan prinsip kepuasan. Terpenuhinya rasa puas berhubungan dengan sirkuit penghargaan (reward circuit) di dalam otak manusia. Ini melibatkan setidaknya dua bagian dari otak, yaitu sistem limbik dan korteks prefrontal.
Sistem limbik berada di otak besar tersusun dari sejumlah organ, seperti hipokampus, hipotalamus, amigdala, dan ventral tegmental area (VTA). Fungsinya, mengatur perasaan manusia. VTA, misalnya, berperan mengeluarkan hormon dopamin, senyawa kimia yang memicu munculnya rasa menyenangkan.
Adapun korteks prefrontal merupakan salah satu bagian dari otak depan (lobus frontalis) yang sangat berperan dalam berpikir kritis, kreatif, mengambil keputusan secara rasional, dan mengerem diri melakukan perbuatan salah.
Kepuasan yang tak terbatas, sebuah kekhasan manusia, harus terus dipenuhi dengan peningkatan dopamin. Inilah lingkaran setan kepuasan yang menjebak pencandu narkoba.
Soal kecanduan dan dahaga akan kepuasan, Edmi mengumpamakan dengan seseorang yang pacarnya sangat menyukai cokelat. Pada kencan pertama, pacarnya menerima satu batang cokelat merek A dan sangat senang. VTA melepaskan hormon dopamin sebanyak 10 (angka hanya untuk membantu ilustrasi) dan dihantarkan ke korteks prefrontal. Di sini, informasi yang disampaikan melalui dopamin diolah sehingga muncul rasa puas, anggap saja nilai kepuasannya 100.
Hal yang sama terjadi di kencan kedua, tetapi pada kencan ketiga, nilai kepuasan menurun jadi 60. Edmi menuturkan, ini pengaruh dari plastisitas otak (neuroplasticity), yakni kemampuan otak untuk beradaptasi. Dengan satu batang cokelat A, dopamin yang dikeluarkan 10, tetapi nilai kepuasan tidak bisa mencapai 100 lagi karena otak sudah terbiasa.
Akhirnya, di kencan keempat, sang pacar menerima dua batang cokelat A yang membuat 30 dopamin dilepaskan sehingga nilai kepuasan kembali ke 100. Pada kencan ketujuh, akibat plastisitas otak, dua cokelat A tak lagi cukup. Pacar menuntut cokelat merek B yang lebih mahal. Saat diberikan, dopamin sebanyak 70 menghantam korteks prefrontal agar nilai kepuasan bisa 100 lagi.
Kepuasan yang tak terbatas, sebuah kekhasan manusia, harus terus dipenuhi dengan peningkatan dopamin. Inilah lingkaran setan kepuasan yang menjebak pencandu narkoba.
Membanjirnya dopamin ke korteks prefrontal akibat stimulasi terus-menerus memberi dampak buruk. Fungsi otak depan menjadi rusak, salah satunya fungsi mengerem berbuat sesuatu yang diketahui salah. ”Sekalipun nantinya membaik (setelah direhabilitasi), kondisinya tidak akan sama seperti sebelum sakit (kecanduan),” ujar Edmi.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan dari rehabilitasi pengguna narkoba. Edmi mengatakan, pernah ada riset dengan pemeriksaan menggunakan pencitraan tomografi emisi positron (PET scan) terhadap otak manusia yang belum kecanduan obat, dalam kondisi kecanduan, serta sudah sembuh dari adiksi.
Baca juga: Belum Reda Kasus Prostitusi HH, Artis CW Ditangkap karena Sabu
Pada pencandu, saat mulai mendapatkan terapi, fungsi sistem limbik otak terpantau menurun dibandingkan sebelum kecanduan. Setelah 14 bulan diterapi, citra PET scan menunjukkan aktivitas otak sudah sama seperti sebelum adiksi.
Masalahnya, kekambuhan dalam adiksi narkotika sulit dihindari. National Institute on Drug Abuse (NIDA) Amerika Serikat, misalnya, menggolongkan kecanduan obat sebagai penyakit menahun (kronis), mirip dengan penyakit kronis lain, seperti diabetes tipe II, kanker, dan penyakit kardiovaskular.
Terhadap penyakit-penyakit kronis, menurut NIDA lagi, kekambuhan merupakan hal yang wajar. Bahkan, tingkat kekambuhan pada pasien penyakit-penyakit itu hampir sama. Pada diabetes tipe II, ada 30-50 persen pasien kambuh lagi, pasien hipertensi 50-70 persen, asma 50-70 persen, dan kecanduan obat 40-60 persen.
Edmi menuturkan, mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari kecanduan bisa kambuh dan memakai lagi jika mengalami kembali faktor-faktor yang memicu penggunaan obat-obatan terlarang. Dalam dunia selebritas, ia mencontohkan, pelawak tetap harus membuat penontonnya tertawa meski satu jam sebelumnya bertengkar hebat dengan pasangan atau anggota keluarga.
Baca juga: Dampak Ekonomi PSBB DKI Ditentukan Durasi dan Efektivitasnya
Kebutuhan akan rasa tenang setelah baru saja mendapatkan tekanan bisa memicu pemakaian narkoba. Ketika sang pelawak sembuh setelah menjalani rehabilitasi, tidak tertutup kemungkinan narkoba jadi pelariannya kembali ketika menghadapi tekanan serupa.
Di sinilah peran pokok orang-orang terdekat bekas pengguna narkoba. Mereka perlu memastikan diri hadir saat eks pencandu menghadapi pemicu yang sama lagi, yang dahulu membuat ia akrab dengan narkoba. ”Harus ada lingkungan, entah itu pertemanan, entah keluarga, yang mampu menggantikan peran obat,” ujar Edmi.