Kemunculan adiksi atau kecanduan erat kaitannya dengan prinsip kepuasan. Terpenuhinya rasa puas berhubungan dengan sirkuit penghargaan (reward circuit) di dalam otak manusia.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·7 menit baca
Banyak yang memelesetkan judul sebuah lagu, ”Satu yang Tak Bisa Lepas”, menjadi ”Sabu yang Tak Bisa Lepas”. Ini lantaran pelantunnya, Reza Artamevia, berurusan dengan polisi gara-gara memakai sabu, untuk kedua kalinya. Nasibnya mirip dengan pesohor lain yang juga tersandung kasus narkoba lebih dari sekali, seperti Tio Pakusadewo dan Fariz RM. Apa yang ada dalam pikiran mereka?
”Izinkan saya, Reza Artamevia, pada kesempatan ini menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya,” kata perempuan 45 tahun tersebut di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, Minggu (6/9/2020). Membacakan pernyataan dari secarik kertas, Reza antara lain meminta maaf kepada anak, orangtua, dan keluarga besarnya, kemudian menutup dengan peringatan kepada masyarakat agar tidak mengikuti jejaknya.
Bukan baju glamor, melainkan kemeja oranye khas tahanan yang dikenakannya. Bukan penari latar dan pemain musik yang mendampinginya, melainkan polisi wanita serta petugas bersenjata laras panjang di kanan dan kirinya.
Tim Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya menangkap Reza atau RA pada Jumat (4/9/2020) di sebuah restoran, tepatnya di wilayah Kelurahan Bali Mester, Kecamatan Jatinegara, sekitar pukul 16.00. Dari dalam tasnya, polisi mendapati satu klip sabu seberat 0,78 gram. ”Rp 1,2 juta dia beli,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus.
Yusri mengatakan, Reza menggunakan sabu sekitar empat bulan ini, semasa pandemi Covid-19. Penyanyi yang juga memopulerkan lagu ”Berharap Tak Berpisah” itu mengaku terpengaruh untuk mengonsumsi lagi akibat lebih banyak di rumah saja.
Reza terancam dihukum penjara 4-12 tahun berdasarkan Pasal 112 Ayat 1 subsider Pasal 127 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sambil proses hukum berjalan, Polda Metro Jaya menitipkan Reza ke Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Kabupaten Bogor, agar bisa menerima pengobatan dan rehabilitasi.
Empat tahun silam, pada 28 Agustus, sabu juga membuat Reza harus dibawa ke kantor polisi. Ia kala itu diduga berpartisipasi dalam pesta sabu bersama Gatot Brajamusti dan istrinya, Dewi Aminah. Bedanya, ia hanya ditetapkan sebagai saksi dan wajib menjalani rehabilitasi rawat jalan di BNN Provinsi NTB.
Artis yang lebih dari sekali ditangkap gara-gara narkoba bukan hanya Reza. Hanya selisih lima bulan, pada 13 April lalu, aktor kawakan Tio Pakusadewo (56) ditangkap personel Subdirektorat I Narkotika Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, dengan barang bukti 18 gram ganja. Ia diketahui rutin membeli ganja dua kali sebulan.
Berdasarkan pemeriksaan urine, pemeran Koh Abun dalam film Berbagi Suami (2006) itu positif mengonsumsi zat metamfetamina dan amfetamina. Artinya, selain ganja, sabu diduga juga dipakai Tio. Apalagi, polisi menemukan bong atau alat pengisap sabu di rumahnya. Ia pun mengakui mengonsumsi sabu sepekan sekali.
Polda Metro Jaya juga pernah menangkapnya pada Desember 2017 karena terbukti menggunakan sabu, dengan barang bukti 1,25 gram. Tio lantas direhabilitasi di Rumah Sakit Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) Polri, Jakarta Selatan. Ia waktu itu mengaku sudah 10 tahun mengonsumsi sabu.
Sebelum Reza dan Tio, ada pula Fariz Rustam Munaf (61), pengalun tembang yang melegenda, ”Sakura” dan ”Barcelona”. Pada 24 Agustus 2018, Tim Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menangkapnya di rumah, dengan barang bukti sabu 0,90 gram, 2 tablet dumolid, dan 9 tablet Sanax. Mei 2019, ia divonis 1 tahun pidana rehabilitasi.
Ia pernah juga ditangkap tahun 2008 dan 2015 karena memakai barang haram. Semuanya berakhir dengan pemenjaraan.
Dalam pikiran sederhana, pengalaman pernah diangkut polisi seharusnya membuat mereka kapok bahwa penggunaan kembali narkoba akan mendatangkan ancaman serupa. Namun, mengapa Reza, Tio, dan Fariz nekat mengulanginya? Apa yang terjadi dengan otak para pengguna narkoba?
Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta, Rizki Edmi Edison memberi penjelasan soal itu. Namun, ia terlebih dahulu mengajak untuk memahami tentang motivasi.
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu guna memenuhi kepuasan. ”Tidak peduli apakah kegiatan itu positif atau negatif, mau membantu orang atau meninju orang, tujuan dari motivasi adalah terpenuhinya kepuasan,” kata peraih gelar doktor dari Department of Neurosurgery Jichi Medical University, Jepang, tersebut.
Nah, kemunculan adiksi atau kecanduan (terhadap apa pun, termasuk di luar narkoba, seperti pornografi) erat kaitannya dengan prinsip kepuasan. Terpenuhinya rasa puas berhubungan dengan sirkuit penghargaan (reward circuit) di dalam otak manusia. Ini melibatkan setidaknya dua bagian dari otak, yaitu sistem limbik dan korteks prefrontal.
Sistem limbik berada di otak besar, tersusun dari sejumlah organ, seperti hipokampus, hipotalamus, amigdala, dan ventral tegmental area (VTA). Fungsinya, mengatur perasaan manusia. VTA, misalnya, berperan mengeluarkan hormon dopamin, senyawa kimia yang memicu munculnya rasa menyenangkan.
Adapun korteks prefrontal merupakan salah satu bagian dari otak depan (lobus frontalis) yang sangat berperan dalam berpikir kritis, kreatif, mengambil keputusan secara rasional, dan mengerem diri melakukan perbuatan salah.
Kepuasan yang tak terbatas, sebuah kekhasan manusia, harus terus dipenuhi dengan peningkatan dopamin. Inilah lingkaran setan kepuasan yang menjebak pencandu narkoba.
Soal kecanduan dan dahaga akan kepuasan, Edmi mengumpamakan dengan seseorang yang pacarnya sangat menyukai cokelat. Pada kencan pertama, pacarnya menerima satu batang cokelat merek A dan sangat senang. VTA melepaskan hormon dopamin sebanyak 10 (angka hanya untuk membantu ilustrasi) dan dihantarkan ke korteks prefrontal. Di sini, informasi yang disampaikan melalui dopamin diolah sehingga muncul rasa puas, anggap saja nilai kepuasannya 100.
Hal yang sama terjadi di kencan kedua, tetapi pada kencan ketiga, nilai kepuasan menurun jadi 60. Edmi menuturkan, ini pengaruh dari plastisitas otak (neuroplasticity), yakni kemampuan otak untuk beradaptasi. Dengan satu batang cokelat A, dopamin yang dikeluarkan 10, tetapi nilai kepuasan tidak bisa mencapai 100 lagi karena otak sudah terbiasa.
Akhirnya, di kencan keempat, sang pacar menerima dua batang cokelat A yang membuat 30 dopamin dilepaskan sehingga nilai kepuasan kembali ke 100. Pada kencan ketujuh, akibat plastisitas otak, dua cokelat A tak lagi cukup. Pacar menuntut cokelat merek B yang lebih mahal. Saat diberikan, dopamin sebanyak 70 menghantam korteks prefrontal agar nilai kepuasan bisa 100 lagi.
Kepuasan yang tak terbatas, sebuah kekhasan manusia, harus terus dipenuhi dengan peningkatan dopamin. Inilah lingkaran setan kepuasan yang menjebak pencandu narkoba.
Membanjirnya dopamin ke korteks prefrontal akibat stimulasi terus-menerus memberi dampak buruk. Fungsi otak depan menjadi rusak, salah satunya fungsi mengerem berbuat sesuatu yang diketahui salah. ”Sekalipun nantinya membaik (setelah direhabilitasi), kondisinya tidak akan sama seperti sebelum sakit (kecanduan),” ujar Edmi.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan dari rehabilitasi pengguna narkoba. Edmi mengatakan, pernah ada riset dengan pemeriksaan menggunakan pencitraan tomografi emisi positron (PET scan) terhadap otak manusia yang belum kecanduan obat, dalam kondisi kecanduan, serta sudah sembuh dari adiksi.
Pada pencandu, saat mulai mendapatkan terapi, fungsi sistem limbik otak terpantau menurun dibandingkan sebelum kecanduan. Setelah 14 bulan diterapi, citra PET scan menunjukkan aktivitas otak sudah sama seperti sebelum adiksi.
Namun, persoalan belum selesai setelah pencandu dinyatakan sembuh. Penangkapan berulang terhadap Reza, Tio, dan Fariz jadi bukti.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) Amerika Serikat menggolongkan kecanduan obat sebagai penyakit kronis, mirip dengan penyakit kronis lain, seperti diabetes tipe II, kanker, dan penyakit kardiovaskular.
Masalahnya, kekambuhan dalam adiksi narkotika sulit dihindari. National Institute on Drug Abuse (NIDA) Amerika Serikat, misalnya, menggolongkan kecanduan obat sebagai penyakit menahun (kronis), mirip dengan penyakit kronis lain, seperti diabetes tipe II, kanker, dan penyakit kardiovaskular.
Terhadap penyakit-penyakit kronis, menurut NIDA lagi, kekambuhan merupakan hal yang wajar. Bahkan, tingkat kekambuhan pada pasien penyakit-penyakit itu hampir sama. Pada diabetes tipe II, ada 30-50 persen pasien kambuh lagi, pasien hipertensi 50-70 persen, asma 50-70 persen, dan kecanduan obat 40-60 persen.
Edmi menuturkan, mereka yang sudah dinyatakan sembuh dari kecanduan bisa kambuh dan memakai lagi jika mengalami kembali faktor-faktor yang memicu penggunaan obat-obatan terlarang. Dalam dunia selebritas, ia mencontohkan, pelawak tetap harus membuat penontonnya tertawa meski satu jam sebelumnya bertengkar hebat dengan pasangan atau anggota keluarga.
Kebutuhan akan rasa tenang setelah baru saja mendapatkan tekanan bisa memicu pemakaian narkoba. Ketika sang pelawak sembuh setelah menjalani rehabilitasi, tidak tertutup kemungkinan narkoba jadi pelariannya kembali ketika menghadapi tekanan serupa.
Di sinilah peran pokok orang-orang terdekat bekas pengguna narkoba. Mereka perlu memastikan diri hadir saat eks pencandu menghadapi pemicu yang sama lagi, yang dahulu membuat ia akrab dengan narkoba. ”Harus ada lingkungan, entah itu pertemanan, entah keluarga, yang mampu menggantikan peran obat,” ujar Edmi.