Anak Korban Kejahatan Seksual di Bekasi Menanti Keadilan
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyebut kasus kekerasan seksual yang dialami remaja perempuan di Bekasi sudah memenuhi dua alat bukti untuk diproses secara hukum.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
PU (15), remaja perempuan di Kota Bekasi, Jawa Barat, kini menderita trauma, mengidap penyakit, hingga menghadapi tekanan lain berupa intimidasi. Pemulihan fisik dan psikis tengah dijalani korban. Namun, penegakan hukum untuk memberi efek jera dan mencegah munculnya korban serupa PU masih dinanti keluarga dan publik.
PU baru saja menjalani operasi medis pada 18 April 2021 di salah satu rumah sakit di Kota Bekasi. Dari hasil diagnosis medis, remaja sekolah menegah pertama itu menderita penyakit kelamin. Penyakit itu diidap PU akibat hubungan seksual.
Hubungan seksual itu diduga terjadi saat PU berkenalan dengan seorang lelaki berinisial AT (21) sekitar sembilan bulan lalu. AT disebut keluarga korban sebagai anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi. Dari perkenalan itu, PU kemudian dipaksa pelaku melakukan hubungan seksual.
Dari keterangan keluarga, PU sudah menjalani perawatan medis terkait keluhan di area kelaminnya. Keluhan itu, antara lain, berupa rasa gatal, nyeri, hingga timbul benjolan. Dari pemeriksaan medis, PU didiagnosis menderita penyakit kondiloma akuminata atau biasa disebut kutil kelamin.
Kutil kelamin, dikutip dari Hhalodoc, merupakan penyakit yang disebabkan oleh human papilloma virus (HPV). HPV dikenal sebagai virus yang mudah menular melalui kontak kulit dan paling sering diidap seseorang yang melakukan kontak seksual tanpa kondom dengan pengidap HPV.
Belakangan, menurut komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah Kota Bekasi, Novrian, PU juga disekap pelaku di salah satu rumah kos di wilayah Rawalumbu selama satu bulan mulai pada Februari-Maret 2021. Selama satu bulan itu pula, PU dipaksa pelaku melayani sejumlah pria.
Dipaksa
Para pria itu dijaring pelaku melalui aplikasi Michat. PU pun selama disekap setiap hari dipaksa melayani empat sampai lima pria. Sekali melayani pelanggan, tarifnya Rp 400.000.
Keluarga korban sudah melaporkan tindakan kekerasan seksual oleh terduga pelaku AT sejak 11 April 2021 ke Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota. Laporan itu teregistrasi dalam pengaduan nomor LP/971/K/IV/2021/SPKT/Restro Bekasi Kota.
Hingga Senin (26/4/2021) atau setelah 15 hari keluarga korban melapor ke polisi, kasus itu sudah diproses dan masih dalam tahap penyelidikan. Polisi sudah memanggil sejumlah saksi dan mencari bukti-buti yang menunjang penyelidikan kasus tersebut.
”Intinya, masih dalam penyelidikan,” kata Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Ajun Komisaris Besar Alfian Nurrizal, Senin, di Polres Metro Bekasi Kota.
Menurut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kasus pemerkosaan yang dialami PU sudah memenuhi minimal dua alat bukti atau sudah lengkap. Kekerasaan seksual yang dialami oleh PU termasuk kejahatan luar biasa dan sistematis.
”Kami mendukung pihak kepolisian segera mungkin dengan dua alat bukti itu untuk menangkap pelaku dan diminta pertanggungjawaban. Jadi, mengonfirmasi kejadian itu, lalu kemudian pihak kepolisian segera mengamankan pelaku dengan barang bukti yang ada,” ucap Arist.
Kasus kekerasan seksual hingga dugaan perdagangan anak di Kota Bekasi masih dinanti keluarga agar diusut pihak kepolisian hingga tuntas. Pengusutan kasus tersebut hingga tuntas juga dapat mendorong korban kekerasan seksual lain di Indonesia untuk bersuara atau melawan.
Sebab, berdasarkan data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual, ditemukan 93 persen korban pemerkosaan tidak melaporkan kasusnya. Salah satu alasan mendasar adalah adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban.
Survei terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menunjukkan bahwa 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan, aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Dengan adanya pernyataan ini, aktor tingkat tinggi (high level) yang seharusnya memberi jaminan hak korban justru semakin tidak berpihak pada korban (Kompas, 23/2/2021).
Pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala, menegaskan, pemerkosaan bukanlah hal sepele. Ini karena pemerkosaan adalah tindak pidana yang amat merendahkan martabat korban dan menimbulkan penderitaan seumur hidup bagi korban.