Puasa Ini Bisnis Restoran Masih Bertahan, Belum Menggeliat
Pelonggaran jam buka tempat makan di Jakarta belum berhasil menggerakkan dan menambah jumlah konsumen restoran.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Satu pekan bulan puasa berjalan, restoran-restoran di Ibu Kota belum merasakan perubahan peningkatan omzet walaupun ada pelonggaran jam operasional dan izin untuk menyelenggarakan kegiatan buka bersama. Para pengusaha restoran dan kafe mengaku Ramadhan 2021 ini mereka masih dalam fase bertahan, belum menggeliat apalagi meraup pendapatan dan laba.
Hal tersebut diakui oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, ketika dihubungi di Jakarta, Senin (19/4/2021). Menurut dia, izin restoran dan kafe bisa buka selama Ramadhan 2021 sudah sangat membantu jika dibandingkan dengan bulan puasa tahun 2020 ketika Jakarta masih dalam pembatasan sosial berskala besar dan mewajibkan semua tempat umum ditutup.
”Pola konsumsi selama bulan puasa juga sangat berbeda dengan sebelum pandemi. Dulu, pekan pertama dan kedua Ramadhan adalah waktu bagi restoran dan kafe panen karena kebanjiran kegiatan berbuka bersama,” tuturnya.
Pola ini terjadi di 19 restoran Hanamasa di Jakarta. Memang setiap hari selalu ada pengunjung, tetapi ini pun tidak memenuhi kuota 50 persen. (Anita Setiawati)
Pekan ketiga mulai sepi pengunjung karena masyarakat mulai bersiap untuk mudik. Tahun ini, pemerintah pusat melarang penduduk melakukan mudik mulai tanggal 6 Mei. Keputusan ini disambut penuh harap oleh PHRI agar pemerintah bisa mendorong warga untuk menghabiskan masa libur Lebaran di hotel-hotel lokal atau berwisata kuliner di restoran.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Keputusan Gubernur Nomor 434 Tahun 2021 mengizinkan tempat-tempat makan beroperasi sampai dengan pukul 22.30. Layanan bungkus dan antar diperbolehkan 24 jam. Kegiatan buka bersama juga tidak dilarang selama restoran dan kafe mempraktikkan protokol kesehatan, seperti tetap menjaga kuota tamu yang makan di tempat 50 persen dari kuota maksimal dan ada jarak minimal 1,5 meter di antara individu. Bahkan, tempat makan boleh buka pada pukul 02.00-04.00 untuk melayani sahur.
Dalam kesempatan yang berbeda, Manajer Pemasaran Hanamasa Anita Setiawati mengungkapkan, selama satu pekan bulan puasa ini tidak ada kenaikan jumlah pengunjung. Biasanya, meskipun dalam suasana Ramadhan, pengunjung di siang hingga sore hari tetap banyak. Kegiatan berbuka puasa pun harus dipesan jauh-jauh hari sebelumnya dan setiap orang hanya bisa tinggal selama dua jam sebelum meja itu dibereskan untuk diberikan kepada pelanggan yang baru datang.
”Pola ini terjadi di 19 restoran Hanamasa di Jakarta. Mayoritas restoran berada di dalam mal, itu pun belum bisa memberi kenaikan penjualan. Memang setiap hari selalu ada pengunjung, tetapi ini pun tidak memenuhi kuota 50 persen,” katanya.
Menurut Anita, restoran ini tidak memiliki sistem layanan antar karena mereka menjual pengalaman makan di tempat. Hidangan shabu-shabu dan sukiyaki khas Jepang harus dinikmati dengan cara dimasak langsung di meja makan. Jenis daging, sayur, dan takaran bumbunya ditentukan oleh setiap pengunjung. Hal ini akan hilang jika makanan yang sudah dimasak dibungkus dan diantar kepada pemesan di rumah.
Tetap bekerja
Anita mengatakan, saat ini target Hanamasa bukan mengeruk laba, melainkan agar tetap beroperasi karena ini berarti para karyawannya terus bekerja. Sejauh ini mereka belum merumahkan karyawan. Pendapatan harian dari restoran masih cukup untuk menutupi biaya operasional, termasuk gaji karyawan.
Kondisi serupa juga dikemukakan oleh penanggung jawab keuangan Tjikini Kafe, Sintong Oktavianus. Restoran itu terletak di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, yang merupakan salah satu pusat gaul Ibu Kota. Kafe yang biasanya disesaki pengunjung itu, terlepas bulan puasa atau tidak, tampak lengang.
Ia mengatakan, hal terpenting ialah para karyawan tetap bisa bekerja dan memperoleh gaji bulanan. Secara umum, kondisi keuangan kafe tidak merugi. Mereka masih bisa memperoleh balik modal. Dari jam kerja pun tidak ada pengurangan. Jadwal karyawan tetap sesuai dengan operasional sebelumnya walaupun jumlah pengunjung yang datang berkurang drastis dari masa sebelum pandemi Covid-19.
”Seminggu ini, sepanjang pagi sampai sore biasanya hanya ada 10 pengunjung yang datang ke kafe. Waktu buka puasa pun juga sama. Tidak ada lagi partai besar di atas enam orang yang datang untuk buka puasa bersama,” ujarnya.
Kafe itu sudah menyiapkan tempat jika ada rombongan hendak berbuka bersama. Mereka tetap dipecah menjadi dua orang per meja. Menurut Sintong, kemungkinan aturan ini membuat masyarakat enggan berbuka bersama karena tidak ada lagi suasana beramai-ramai seperti dulu. Apabila duduk dipisah dua orang per meja, mereka tidak akan leluasa mengobrol.
Sebagai strategi untuk menaikkan penjualan, selain bekerja sama dengan perusahaan ojek daring untuk pemesanan dari rumah, Tjikini Kafe menawarkan paket makanan kepada berbagai proyek infrastruktur di Ibu Kota. Proyek-proyek ini menerapkan protokol kesehatan sehingga umumnya makanan bagi para pekerja disediakan oleh perusahaan sehingga menjadi potensi baru untuk usaha katering dengan menu dari kafe.