Epidemiolog Ingatkan DKI, Vaksinasi Tidak Bisa Jadi Dasar Pelonggaran
Selama puasa, Pemprov DKI melonggarkan kegiatan masyarakat dan memperpanjang jam buka restoran hingga pukul 22.30. Alasannya, vaksinasi tengah berjalan dan jumlah kasus disebut kian melandai.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat pelonggaran untuk sejumlah kegiatan masyarakat selama bulan puasa, salah satunya memperpanjang jam operasi rumah makan. Namun, ahli epidemiologi mengingatkan, vaksinasi yang tengah berjalan tidak bisa menjadi dasar pertimbangan pelonggaran karena pemprov tetap harus mencermati angka positivity rate atau persentase kasus positif dan memperketat pelaksanaan protokol kesehatan.
Pemprov DKI melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 434 Tahun 2021 tentang perubahan atas Keputusan Gubernur Nomor 405 Tahun 2021 tentang perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro menyatakan, pelonggaran dilakukan untuk mendukung aktivitas masyarakat dalam menjalankan ibadah dan kegiatan masyarakat pada kegiatan restoran.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Selasa (13/4/2021), di Balai Kota DKI Jakarta menjelaskan, pelonggaran yang diperbolehkan dilakukan di antaranya melakukan ibadah, tetapi dengan tetap memperhatikan kapasitas sesuai ketentuan, yaitu 50 persen. Kemudian untuk kegiatan restoran, makan atau minum di tempat dibolehkan, tetapi paling banyak 50 persen dari kapasitas.
Dalam keputusan gubernur tersebut juga diatur jam operasi restoran dan rumah makan dibuka lebih lama sehingga warga bisa makan di tempat hingga pukul 22.30. Lalu restoran dapat beroperasi kembali pada pukul 02.00-04.30 untuk melayani kebutuhan sahur. Untuk layanan makanan dibawa pulang (take away) atau antaran (delivery) sesuai jam operasi 24 jam.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui akun media sosial Instagram-nya menyampaikan, sejumlah pelonggaran diperbolehkan selama bulan puasa karena ada pertimbangannya. Pertimbangan yang dimaksud di antaranya kasus aktif melandai menjadi 6.000-7.000 kasus setelah pernah mencapai 26.000 kasus aktif.
Kemudian untuk vaksinasi kelompok prioritas, khususnya warga lanjut usia (lansia), saat ini penerima dosis pertama sebanyak 526.687 orang atau 57,8 persen dari target sasaran 911.631 orang. Sementara dosis kedua sudah diberikan kepada 177.883 orang atau 19,5 persen dari target sasaran. Untuk kelompok lansia itu, kata Anies, ditargetkan bisa mencapai 90-95 persen dari sasaran sebelum Idul Fitri.
Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, mengingatkan Pemprov DKI Jakarta, saat ini di Jakarta memang tengah diselenggarakan vaksinasi. Namun, target vaksinasi pada kelompok prioritas belum selesai. Bahkan, untuk kelompok prioritas yang berisiko seperti kalangan lansia belum tuntas.
Secara nasional, penduduk lansia yang mendapatkan dosis pertama baru sekitar 8 persen. ”Kecil sekali. Yang perlu diingat, warga lansia berkontribusi besar dalam kasus infeksi maupun kematian,” kata Dicky.
Jadi, lanjut Dicky, vaksinasi tidak bisa menjadi dasar pelonggaran. Yang menjadi dasar pelonggaran adalah positivity rate atau persentase angka positif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), positivity rate yang aman berada di angka 5 persen ke bawah atau setidaknya 5-8 persen.
”Di kisaran itu boleh. Tetapi bukan vaksinasi. Pelonggaran harus dilihat dari positivity rate sebetulnya. Itu yang benar,” kata Dicky.
Melihat data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pada 12 April 2021 positivity rate DKI Jakarta berada di angka 8,8 persen. Tanggal 11 April 2021 ada di 9,2 persen, 10 April 2021 di 9,0 persen, 9 April 2021 ada di 9,7 persen, 8 April 2021 di 10 persen, 7 April 2021 di 9,8 persen, dan 6 April 2021 di 9,8 persen.
Dengan pertimbangan itu, Dicky menegaskan, sebelum kebijakan pelonggaran dilakukan, Pemprov DKI harus bisa memastikan tidak akan terjadi kerumunan karena hal itu akan mengurangi risiko.
Agar tidak muncul kerumunan, menurut Dicky, pengelola rumah makan bersama Pemprov DKI harus bisa mengatur lama antrean makanan, mulai dari pemesanan yang bisa diatur secara daring hingga pengambilan di tempat tidak lebih dari 15 menit.
”Itu dimungkinkan dan bisa asalkan dia pesan dulu, pesan secara daring. Jadi, dari dia datang dan ambil itu tidak boleh lebih dari 15 menit, itu yang harus dipastikan,” kata Dicky.
Kemudian, dalam 15 menit itu juga tidak boleh ada antrean. Karena itu, pengelola atau pemilik restoran harus mengatur jarak dan jumlah orang yang mengambil pesanan makanan agar tidak sampai berkerumun.
Hal lainnya adalah kapasitas orang yang boleh makan di tempat dan durasi makan. ”Kalaupun jam operasi restoran sampai malam, harus dipastikan juga kapasitas orang yang boleh makan dan batasan lama boleh ada di restoran. Kalau makan di tempat, bagusnya tidak lebih dari satu jam,” tutur Dicky.
Kalaupun jam operasi restoran sampai malam, harus dipastikan juga kapasitas orang yang boleh makan dan batasan lama boleh ada di restoran. Kalau makan di tempat, bagusnya tidak lebih dari satu jam.
Itu sebabnya pengelola restoran mesti merancang adanya kode batang atau QR bagi pengunjung. ”Jadi, pengunjung mesti dipindai, scan, dengan barcode. Pengunjung terdaftar di situ dan ada waktunya. Kalau lebih dari sejam dia tidak bisa, akan bunyi,” kata Dicky.
Langkah-langkah itu perlu dilakukan untuk mengurangi risiko. Sebab, kalau mengandalkan testing dan tracing manual tidak akan bisa. ”Itu harus, pastikan dulu itu bisa bekerja, bisa efektif, bisa beroperasi seperti itu,” tegas Dicky.
Patroli pengawasan
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin menjelaskan, sesuai keputusan gubernur serta SK Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, jam operasi restoran akan diperpanjang hingga pukul 22.30 selama bulan puasa. Satpol PP mendukung dalam pengawasan dan penindakan.
”Makanya patroli kami geser waktunya. Biasanya pengawasan dilakukan di siang hari, sekarang bergeser ke malam hari mulai pukul 19.00 hingga waktu sahur, atau sesuai yang ditetapkan pukul 22.30. Patroli pengawasan dilakukan di tempat-tempat makan, rumah makan,” kata Arifin.
Pengawasan, menurut Arifin, akan fokus ke penerapan protokol kesehatan, pendataan tamu, hingga kerumunan. ”Sahur on the road juga dilarang. Akan ada titik-titik penyekatan dan di situ ada petugas kepolisian dan Satpol PP yang mengawasi,” katanya menegaskan.