Konsep sumur resapan di Jakarta sudah ada sejak 1996 ketika Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Jepang untuk membangun sistem tata air Ibu Kota.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Ambisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat 1,8 juta sumur resapan sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya banjir dan genangan air terus berjalan di sejumlah titik. Di tempat-tempat yang telah membangun sumur secara swadaya, efeknya mulai dirasakan dalam bentuk membantu mengurangi genangan secara lebih cepat ketika hujan telah selesai.
Jumlah pasti sumur resapan yang telah dibangun oleh Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta masih dihitung. Komisi D DPRD DKI Jakarta meminta laporan terperinci segera diserahkan kepada mereka agar pengalokasian anggaran untuk sumur resapan di tahun 2021 bisa segera dibahas. Di dalamnya harus menjelaskan lokasi pembangunan sumur dan alasan pemilihan tempat tersebut. Sejauh ini, anggaran yang telah disetujui sejak 2017 adalah Rp 300 miliar.
Di Jakarta Selatan, Kepala Suku Dinas SDA DKI Mustajab mengatakan targetnya membangun 1.300 sumur resapan. ”Penyebarannya ada di 56 titik. Semuanya di tanah aset pemerintah, seperti sekolah negeri, kantor kecamatan, dan kantor kelurahan,” katanya di Jakarta. Senin (1/3/2021).
Penyebarannya ada di 56 titik. Semuanya di tanah aset pemerintah, seperti sekolah negeri, kantor kecamatan, dan kantor kelurahan.
Pada 2020, Pemprov Jakarta melakukan proyek rintisan pembuatan sumur resapan. Khusus Kota Jakarta Selatan dilaksanakan di sepuluh kelurahan, salah satunya Srengseng Sawah di Kecamatan Jagakarsa. Persyaratan dari proyek itu adalah sumur dilakukan secara swadaya oleh warga.
Kepala Seksi Ekonomi Pembangunan Kelurahan Srengseng Sawah Nidya Husna mengatakan, pekerjaan rumah itu sangat berat. Ketika ia menyosialisasikan proyek ini kepada warga, mayoritas menolak dengan alasan terkendala biaya. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk menjadikan kantor kelurahan sebagai pelopor pembuatan sumur resapan.
Mereka membangun lima sumur resapan di pekarangan depan dan belakang kantor dengan ukuran kedalaman minimal 3 meter dan diameter minimal 1 meter. Sumur dibangun setelah dilakukan pengamatan terhadap aliran air hujan di kantor kelurahan. Titik-titik sumur berada di bawah ujung atap dan sebelum gerbang keluar kantor kelurahan sehingga semua air hujan diserap oleh sumur karena tidak ada yang mengalir ke selokan di jalan raya.
”Tujuan sumur ini selain mengurangi genangan juga untuk menabung air hujan. Rumah-rumah warga umumnya mengambil air tanah dengan pompa listrik sehingga ada kekeringan. Air hujan yang diserap ini menggantikan air yang disedot oleh warga,” ujar Nidya.
Setelah kelima sumur resapan di kantor kelurahan jadi, dinas SDA juga datang dan membantu membuatkan sepuluh sumur lagi untuk memaksimalkan konsep zero run-off atau tidak ada air yang terbuang ke dalam got. Nidya mengaku tidak tahu-menahu tentang anggaran pembuatan sumur resapan oleh dinas SDA karena penentuan bahan baku hingga lokasi di sejumlah aset pemerintah tidak melibatkan pihak kelurahan.
Warga Srengseng Sawah kemudian bisa mendatangi kantor kelurahan untuk mengambil insiprasi pembangunan sumur resapan swadaya di wilayah masing-masing.
”Sejauh ini ada 25 titik yang telah memiliki sumur. Persyaratan teknisnya diatur oleh Dinas SDA DKI, yaitu kedalaman 3 meter dan diameter 1 meter. Pembangunan ada yang berbasis individual ada yang patungan per RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga). Proses pembangunannya gratis karena dilakukan oleh petugas kelurahan,” tutur Nidya.
Sumur swadaya ini memiliki biaya paling murah Rp 1,8 juta. Konstruksinya menggunakan bata hebel sehingga bentuk sumurnya kotak, bukan silinder. Biaya itu sudah mencakup pasir, semen, kerikil, dan ijuk. Apabila warga ingin membuat sumur silinder dari buis beton harganya lebih mahal, yaitu Rp 300.000-Rp 350.000 per buis beton setinggi 0,5 meter. Pembangunan sumur dengan kedalaman 3 meter membutuhkan enam buis beton.
Titik dengan sumur resapan terbanyak di Srengseng Sawah adalah RW 004 yang memiliki 14 sumur tersebar di 17 RT. Permukiman ini telah sesak oleh rumah yang berada di kanan dan kiri jalan aspal selebar 2 meter. Rumah-rumah warga umumnya memiliki teras yang dicor sehingga tidak bisa dibangun sumur resapan, apalagi sumur ini tidak boleh dibuat di dekat fondasi dan tangki septik.
”Kami memilih membangun sumur resapan di tengah-tengah jalan. Bagian atasnya ada yang ditutupi beton berlubang, ada juga yang ditutup teralis besi,” kata Ketua RW 004 Srengseng Sawah Murijo.
RW itu tidak memiliki selokan. Walaupun letaknya di dataran cukup tinggi, setiap turun hujan di jalanan ada genangan setinggi 5-6 sentimeter karena air tidak memiliki tempat keluar selain ke jalan raya. Sejak 14 sumur resapan dibuat pada 2020, genangan air tidak ada lagi, bahkan ketika hujan deras di awal Februari 2021.
Menurut Murijo, keefektifan sumur perlu dilihat lebih lanjut di musim kemarau. Selama ini, warga selalu kekurangan air pada bulan-bulan panas. Apabila sumur bisa menyerap air dan menjaganya tetap di tanah sehingga warga tetap memiliki air saat kemarau, mereka berencana menambah sumur di sejumlah jalanan.
Bukan mitigasi
Pengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, menjelaskan, konsep sumur resapan di Jakarta sudah ada sejak 1996 ketika Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Jepang untuk membangun sistem tata air Ibu Kota. Pendekatan yang dipakai adalah on-stream atau menyentuh langsung sungai serta kali dengan cara dilebarkan dan dikeruk, serta ada pula pendekatan off-stream atau menata air di permukaan. Caranya membenahi hulu air, membangun saluran dan got.
Sumur resapan masuk ke dalam salah satu metode off-stream. Adapun tujuannya bukan untuk memitigasi banjir ataupun menghindari genangan, melainkan untuk menjaga ketersediaan air tanah tidak mengering atau pengawetan air. Sumur ini hanya bisa dibuat di daerah yang air tanahnya berada di minus 2 meter.
”Wilayah Jakarta Utara sudah tidak bisa dibangun sumur resapan karena berada di bawah permukaan laut. Jika tanah digali 40 sentimeter, air sudah keluar akibat rembesan got dan payau,” jelas Rudy.
Di Jakarta Timur dan Jakarta Barat bagian utara atau sepanjang pesisir kondisi juga sama. Pada 1996, para ahli tata air Indonesia dan Jepang menarik garis bayangan kedalaman air tanah dari timur ke barat. Batasan yang bisa untuk sumur resapan adalah Setiabudi dan Tanah Abang. Daerah Rawamangun tidak bisa karena meskipun pembangunannya telah menguruk tanah, pada konstruksi aslinya ini adalah wilayah rawa.
”Tahun 2013 di zaman Gubernur Fauzi Bowo dan awal masa Gubernur Joko Widodo, konsep sumur resapan ini sempat dilakukan, tetapi terbentur kendala terbatasnya lahan,” ujarnya.
Menurut Rudy, membangun sumur di sempadan jalan di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat bisa menjadi salah satu metode pencegahan genangan di titik itu, bukan untuk sebuah wilayah Ibu Kota secara umum. Mengingat wilayah utara, barat, dan timur tidak bisa dibangun sumur resapan karena konstruksi tanah rawa, mereka tetap berisiko tergenang ketika hujan.
Konsep sumur resapan di Jakarta sudah ada sejak 1996 ketika Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Jepang untuk membangun sistem tata air Ibu Kota.
Ia menerangkan, lebih efektif apabila fokus pembangunan sarana penanganan genangan berupa penambahan dan pelebaran saluran-saluran air. Artinya, setiap daerah di Ibu kota harus memiliki saluran air primer, sekunder, dan tersier di permukaan tanah ataupun berupa gorong-gorong.
”Selain pelebaran dan pengerukan sungai, pembangunan polder juga pendekatan yang ideal untuk Jakarta dan cocok dilakukan di dataran rendah,” kata Rudy.
Dalam sudut pandang tata air, contoh polder yang baik terdapat di Pantai Indah Kapuk. Polder-polder lain, seperti di Sunter, Kelapa Gading, dan Pluit, masih terkendala sampah yang dibuang oleh warga sekitar. Pekan lalu, ketika baru dilantik menjadi Kepala Dinas SDA Jakarta, Yusmada Faizal mengungkapkan akan membangun sepuluh polder baru.