Sebagian Kelurahan di Ibu Kota Masih Menunggu Air Surut
Jakarta dilanda hujan ekstrem, yaitu curah di atas 150 milimeter per hari. Kemampuan saluran-saluran air di Ibu Kota ialah mengalirkan paling banyak 100 milimeter air per hari.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah titik banjir di Ibu Kota tidak bisa segera surut dalam jangka waktu 6 jam seperti yang dikemukakan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Hujan deras yang masih diprediksi terus mengguyur Ibu Kota menjadi hambatan utama.
Salah satu wilayah yang surut genangan airnya adalah Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Lurah Pejaten Timur Rasyid Darwis mengungkapkan, genangan sudah terjadi setidaknya dalam tiga hari terakhir. Kedalaman genangan bervariasi, mulai dari 30 sentimeter hingga 1 meter.
”Warga mengungsi di sejumlah tempat. Sengaja kami perbanyak posko pengungsian agar tidak terlalu ramai pengungsi karena ada bahaya penularan Covid-19,” ujarnya.
Sengaja kami perbanyak posko pengungsian agar tidak terlalu ramai pengungsi karena ada bahaya penularan Covid-19.
Menurut Rasyid, air hanya surut beberapa sentimeter ketika dibiarkan. Saat hujan turun, air kembali naik. Pejaten Timur terletak di bantaran Sungai Ciliwung dengan ketinggian dataran yang rendah. Saat ini, Ciliwung tengah meluap karena hujan juga terjadi di hulu, seperti di Bogor dan Depok. Akibatnya, luapan air di Ciliwung tidak bisa berkurang.
”Kami terus mengevakuasi warga. Tapi, kalau sudah begini, mau tidak mau hanya bisa menunggu air surut dengan sendirinya. Habisnya, genangan air mau dibuang ke mana lagi kalau kalinya sendiri sudah penuh,” kata Rasyid.
Hal serupa dialami warga RW 003 Kelurahan Pondok Labu, Cilandak, Jaksel. Sekretaris RW, Moch Yahya, mengatakan ada enam rukun tetangga yang terendam air dengan rata-rata ketinggian seleher orang dewasa. Kelurahan ini juga merupakan dataran rendah dan berada di bantaran Kali Krukut.
Sebagian warga mengungsi ke posko dan sebagian memutuskan untuk menetap di rumah masing-masing karena memiliki tingkat atas yang tidak terkena air. Pihak RW mendorong warga yang bersikeras bertahan di rumah agar mengungsi. Alasannya agar koordinasi dan distribusi bantuan lebih mudah. Apabila warga tetap berada di rumah, petugas RW dan Taruna Siaga Bencana terpaksa bolak-balik mengantarkan bantuan.
Selain kondisi lahan yang lebih rendah dari bantaran sungai sehingga gravitasi mengalirkan air ke RW 003, juga ada masalah teknis. ”Pompa air kami rusak karena tertimbun longsoran tanggul dua hari lalu. Kalaupun pompa bisa bekerja, tetap saja susah membuang air genangan karena kalinya yang meluap,” ujarnya.
Sementara itu, di Kecamatan Tebet, warga juga berharap-harap cemas meski hujan tidak turun lagi. Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Tebet Lukman Haris yang berkeliling mengunjungi wilayah terdampak banjir, seperti di Kebon Baru dan Bukit Duri, mengatakan bahwa ketinggian air bervariasi, dari 30 sentimeter hingga 50 cm.
Sejumlah warga sudah mulai pulang untuk membersihkan rumah dari lumpur. Meskipun begitu, posko pengungsian tetap dibuka dan para petugas bersiaga. Kekhawatiran warga ialah apabila Jakarta tidak hujan, tetapi wilayah hulu hujan, mereka akan terendam kembali oleh aliran air dari sana.
Hujan ekstrem
Anies Baswesan beserta Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria meninjau Pintu Air Manggarai. Di sana, mereka menjelaskan bahwa Jakarta dilanda hujan ekstrem, yaitu curah di atas 150 milimeter per hari. Kemampuan saluran-saluran air di Ibu Kota ialah mengalirkan paling banyak 100 milimeter air per hari. Oleh karena itu, adanya genangan air selalu menjadi risiko yang harus dimitigasi.
”Prioritas Pemprov DKI Jakarta ialah tidak boleh ada korban jiwa dalam kondisi banjir ini dan genangan harus bisa surut dalam waktu enam jam,” ujarnya.
Berdasarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta pukul 09.00, ada 200 RT yang terkena banjir. Adapun jumlah RT di Jakarta ada 30.070. Wilayah yang terkena banjir adalah 0,6 persen dari keseluruhan RT. Sejauh ini ada 329 keluarga atau 1.361 orang penduduk yang mengungsi dan tersebar di 26 posko.
Dalam rapat dengan pendapat ahli di DPRD Jakarta terkait rencana perubahan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah, pekan lalu, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menekankan bahwa jalan keluar mitigasi banjir ialah pembenahan secara permanen. Artinya, semua sungai dan anak sungai yang mengaliri Jakarta harus diperbaiki atau direvitalisasi.
Kegiatan seperti pengerukan saluran air dan gerebek lumpur sejatinya adalah rutinitas penjaga kelancaran yang wajib dilaksanakan. Akan tetapi, jika sungainya tidak dilebarkan dan dibeton, pengerukan pun tidak akan memiliki efek yang maksimal terhadap penanganan banjir.
Pada waktu yang berbeda, Sekretaris Satuan Tugas Naturalisasi Ciliwung Kota Bogor Een Irawan Putra mengutarakan, kendala terbesar ialah koordinasi pusat dengan daerah. Pembenahan daerah aliran sungai antarkota berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pengalaman Satgas Kota Bogor ialah ketika mereka mengajukan titik untuk dibeton, Kementerian PUPR tidak memiliki anggaran untuk lokasi tersebut dan ketika kementerian mengajukan titik untuk dinormalisasi, tanahnya belum dibebaskan oleh pemerintah daerah.