Meninjau Niat DKI Jakarta Ubah Program Jangka Menengah
Perubahan rencana pembangunan dimungkinkan jika ada isu darurat. Yang terpenting ialah keterbukaan informasi kepada publik. Latar belakang dan pergeseran alokasi dana harus dipertanggungjawabkan secara transparan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengubah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD 2017-2022 menuai polemik di masyarakat. Salah satu isu yang dikritisi ialah dugaan Pemprov DKI hendak menghapus program penanganan banjir di Ibu Kota. Meskipun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyangkal hal tersebut, masih banyak aspek dari RPJMD sekarang dan rancangan perubahannya yang ditanggapi sebagian pihak dengan skeptis.
”Pembenahan banjir masih terus dijalankan. Keterangannya ada di Bab IV atau halaman 79 naskah perubahan RPJMD 2017-2022,” kata Anies ketika dihubungi, Rabu (10/2/2021). Ia berpendapat polemik akibat kesimpangsiuran isu tersebut tidak sehat dan mengakibatkan polarisasi yang tidak perlu di masyarakat.
Pada tahun 2021 ada alokasi anggaran Rp 1,073 triliun untuk penanganan banjir. (Nasruddin Djoko Surjono)
Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono. Penanganan banjir merupakan program dengan pemerintah pusat, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, melalui Rencana Aksi Penanggulangan Banjir dan Longsor di Kawasan Jabodetabekpunjur 2020-2024. Cakupan wilayahnya selain Ibu Kota adalah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
Dalam koordinasi ini, tugas pemerintah daerah ialah membebaskan lahan di sekitar bantaran sungai yang nanti akan dibangun sarana pencegahan serta penanganan banjir oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Menurut Nasruddin, tahun 2020 Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Rp 340 miliar untuk pengadaan lahan di sepanjang Sungai Ciliwung, Sunter, Pesanggrahan, dan Jatikramat.
”Pada tahun 2021 ada alokasi anggaran Rp 1,073 triliun untuk penanganan banjir. Kali Angke akan masuk dalam program ini. Selain itu, juga ada pengadaan lahan di lokasi sekitar waduk maupun tempat penampungan air lainnya,” katanya.
Hari Senin, fraksi-fraksi di DPRD DKI Jakarta menyampaikan pendapat mereka mengenai naskah perubahan RPJMD ini. Semua mendukung kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Tidak optimal
Sekretaris Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengutarakan beberapa faktor fraksi itu menolak rencana perubahan. Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2017 menyatakan bahwa RPJMD yang masa pelaksanaannya kurang dari tiga tahun lagi dilarang diganggu gugat atau tidak boleh diubah.
Faktor kedua, Gembong mengungkapkan, Fraksi PDI-P menilai perubahan RPJMD 2017-2022 seolah menggunakan pandemi Covid-19 sebagai dalih Pemprov DKI Jakarta tidak bisa bekerja optimal. Padahal, sebelum pandemi terjadi pada awal 2020, capaian RPJMD sudah meleset dari target.
Naskah perubahan yang diajukan Pemprov DKI Jakarta mengatakan alasan perubahan adalah karena memprioritaskan penanganan pandemi. Oleh sebab itu, terdapat program-program lama yang targetnya diturunkan atau pembiayaannya dialihkan ke penanganan Covid-19. Contohnya program Oke Oce yang ditargetkan menjangkau 361.518 orang diubah menjadi istilah Pengembangan Kewirausahaan Terpadu (PKT) dengan target 278.971 orang dan telah tercapai 89.954 orang per tahun 2019.
Ada pula program hunian dengan uang muka Rp 0. Awalnya, tipe rumah susun sederhana sewa (rusunawa) akan dibangun dengan memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebanyak 14.564 unit dan menggunakan APBN sebanyak 3.222 unit. Dalam naskah perubahan, target pembangunan rusunawa menjadi 13.798 unit dengan APBD, 2.444 unit memakai APBN, dan 2.664 unit dibangun oleh perusahaan pengembang properti swasta.
”Sebelum terjadi pandemi, capaian dari setiap program ini saja tidak mencapai setengah dari sasaran. Kalau seandainya mau memprioritaskan penanganan Covid-19, sejauh ini juga tidak ada terobosan spektakuler,” tutur Gembong.
Sementara itu, PSI melalui surat yang ditandatangani Ketua Fraksi Idris Ahmad dan Sekretaris Fraksi Anthony Winza Probowo juga memberi kritik terhadap cara penanganan pandemi yang tidak menelurkan program kesehatan baru. Tingkat keterisian ruang isolasi maupun unit perawatan intensif menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta masih di atas 70 persen.
Angka penularan masih tinggi, yaitu 20 persen, empat kali lipat batas aman global, yaitu 5 persen. Masyarakat membutuhkan waktu minimal dua hari untuk menunggu hasil tes usap reaksi berantai polimerase (PCR) keluar. Ini belum mencakup kendala pelacakan, seperti pasien tidak ditemukan karena salah alamat atau sudah pindah domisili. Semestinya, indikator pengetesan, pelacakan, dan pencegahan pandemi menjadi poin jelas dalam RPJMD.
Dari aspek penurunan jumlah target capaian PKT dan rumah Rp 0, PSI juga mengkritisi landasannya tidak jelas. Peruntukan program juga tidak memiliki ukuran yang transparan.
Keterbukaan informasi
Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, menjelaskan, perubahan RPJMD sesungguhnya wajar apabila memang ada isu darurat. Di samping itu, kesenjangan antara visi, misi, dan janji politik Pemprov DKI Jakarta dan kajian teknokratis oleh lembaga birokrasi juga bukan hal aneh.
”Namun, aspek terpenting ialah keterbukaan informasi publik. Pemprov dan DPRD DKI itu satu rumah tangga. Semestinya bukan gontok-gontokan, melainkan membahas setiap rinci permasalahan secara terbuka,” ujarnya.
Saat ini tidak ada kejernihan apabila target tidak tercapai karena pemprov kekurangan sumber daya manusia, tidak memiliki biaya, tidak ada lahan, karena demotivasi internal, atau justru akibat faktor eksternal seperti penolakan warga terhadap program tertentu. Simpul-simpul ini harus dikenali dulu dan diurai.
Terdapat pula program RPJMD yang tidak berjalan karena tidak memiliki payung hukum. Yayat mencontohkan program rumah Rp 0 yang persyaratannya adalah bagi warga Jakarta berpenghasilan rendah dan tidak memiliki tunggakan utang. Kenyataannya, masyarakat miskin Ibu Kota memiliki utang, setidaknya berbentuk cicilan sepeda motor. Otomatis mereka gugur dari daftar calon penerima rumah Rp 0.
Program Oke Oce yang kini berganti nama menjadi PKT menjadi contoh berikutnya. Pemprov mengeluarkan biaya untuk menjaring sebanyak mungkin warga agar mengikuti pelatihan keterampilan kerja, tetapi tidak melihat apabila pelatihan itu memberi dampak bagi keterserapan tenaga kerja dan peningkatan kompetensinya.
”Akan lebih efisien jika Oke Oce diberikan kepada pengusaha mikro atau kecil yang sudah ada. Mereka telah memiliki tempat, alat, SDM, dan pangsa pasar walaupun sangat kecil,” tuturnya.
Pelaku UMKM ini didampingi program Oke Oce untuk memasarkan produk secara daring, mengembangkan pasar, dan meningkatkan mutu produk. Jika berkembang, UMKM ini akan menjadi sektor menarik bagi warga untuk melamar pekerjaan. Jadi, bukan setiap orang harus menjadi pengusaha dan memulai dari nol.