Anak Bungsu yang Mengusik Kebutuhan Integrasi
Kebutuhan integrasi dijawab dengan pembentukan anak perusahaan bersama antara PT MRT Jakarta dan PT KAI. Anak bungsu bernama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) ini masih berproses.
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan integrasi antarmoda menyelip di tengah pro-kontra pembentukan PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek. Kata integrasi memang terdengar klise lantaran terlalu sering didengungkan dalam diskusi maupun rapat, tetapi teramat lamban terwujud di lapangan.
Sejatinya, bibit MITJ mulai tersemai dengan penandatanganan kesepakatan antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT MRT Jakarta (Perseroda), 10 Januari 2020, di kantor Kementerian BUMN.
Seperti dikutip dari harian Kompas (11/1/2020), MITJ diserahi tugas untuk menata kawasan stasiun, melakukan studi tentang integrasi kawasan Jabodetabek, dan membuat perencanaan pengembangan kawasan berbasis transit (transit oriented development). Untuk jangka pendek, integrasi antarmoda dilakukan di kawasan Stasiun Pasar Senen, Tanah Abang, Juanda, dan Sudirman. Wajah baru keempat stasiun itu diresmikan 17 Juni 2020.
Ke depan, integrasi yang bakal digarap MITJ diperluas meliputi rute, infrastruktur, sistem tiket, sistem pembayaran, hingga kelembagaan.
Kelembagaan yang terintegrasi, diyakini Gubernur Anies Baswedan, bakal memudahkan penataan kawasan stasiun karena tak terjadi saling bentur kepentingan.
”Yang selama ini terjadi, tidak ada yang mengelola keseluruhan. Jalannya dikelola (Pemerintah Provinsi) DKI, di dalam stasiun dikelola PT KAI, angkutan yang lewat di situ dikelola Transjakarta, dan ojek online dikelola oleh perusahaan-perusahaan ojek online. Perusahaan ini yang akan menata semua,” ujar Anies, saat penandatanganan itu.
Saat itu pula disepakati, 51 persen saham MITJ dimiliki PT MRT Jakarta dan 49 persen milik PT KAI. Menurut Anies, Pemprov DKI memiliki kendali utama dalam penataan kawasan karena pengelolaan transportasi harus sejalan dengan rencana tata ruang wilayah Jakarta.
Selepas penandatanganan itu, tidak terdengar protes yang keras atas lahirnya MITJ.
Memudahkan pengguna
Yohana, pengguna angkutan umum, merasa terbantu dengan penataan area di Stasiun Tanah Abang. Begitu turun dari kereta listrik, warga Serpong yang bekerja di kawasan Thamrin ini dengan mudah mengakses bus Transjakarta dari halte di depan gerbang stasiun. Bus rute Tanah Abang-Pasar Minggu ini mengantarnya ke halte Sarinah di Jalan MH Thamrin.
”Sebelum ada halte bus Transjakarta di depan stasiun, saya seringan pakai ojek. Tarifnya Rp 10.000-15.000,” ucapnya, Selasa (20/1/2021).
Pengguna KRL yang akan melanjutkan perjalanan dengan moda angkutan umum lain pun tinggal menuju titik yang disediakan untuk setiap jenis moda.
Trotoar yang tersedia pun luas. Ini penting karena Stasiun Tanah Abang merupakan salah satu simpul penting naik-turun penumpang KRL, terutama sebelum pandemi Covid-19. Selasa lalu, selain penumpang dan penyedia layanan transportasi, sejumlah pedagang pun terlihat menggelar lapak di trotoar sekitar stasiun ini.
Selain Tanah Abang, perpindahan penumpang di Stasiun Sudirman pun relatif nyaman karena trotoar yang lapang meskipun jarak ke halte transjakarta tidak sedekat di Tanah Abang. Di Stasiun Pasar Senen, tepat di depan, tersedia ruang untuk naik-turun pengguna bus Transjakarta.
Jalur penghubung pengguna KRL dan transjakarta di Juanda sudah lama tersedia, yakni menyatu dengan jembatan penyeberangan orang. Meskipun terkoneksi, akses ini belum ramah bagi difabel, lansia, anak balita, maupun ibu hamil.
Berbenah
Empat lokasi integrasi itu bisa menjadi contoh baik dari penataan kawasan. Sayangnya, upaya menyediakan transportasi publik terintegrasi memang bukan perkara mudah. Penataan kawasan Tanah Abang, misalnya, sudah dibahas sejak bertahun-tahun silam. Sejumlah pemangku kepentingan yang punya wilayah seperti pengusaha perpasaran, Pemprov DKI, maupun PT KAI sudah berulang kali terlibat dalam pembahasan perihal penataan kawasan ini.
Di lapangan, ramainya orang yang hilir-mudik berbelanja di salah satu sentra garmen Indonesia ini membuat jalan dan trotoar juga menjelma sebagai ruang ekonomi dalam bentuk lahan parkir, tempat berdagang para pedagang kaki lima, serta jalur ngetem angkot.
Biaya tinggi transportasi pun tak terelakkan, begitupun polusi udara yang harus dihirup oleh lebih 10 juta warga Jakarta saban hari. Sekitar 10 tahun lalu, memakai angkutan umum di Jakarta masih jauh dari rasa nyaman, aman, dan selamat.
Perbaikan lantas dilakukan, baik dari sisi operator kereta komuter dan stasiun, maupun penyedia bus transjakarta yang melintasi Tanah Abang.
PT KAI bergerak cepat setelah menerima penugasan untuk menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta api bandara dan KRL Jabodetabek. Penugasan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011.
Lewat anak perusahaannya, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ, sebelum menjadi PT Kereta Commuter Indonesia/KCI), penataan dilakukan di antaranya dengan menghapus layanan kereta lokal yang dulu sempat melintasi Tanah Abang dan mengganti seluruhnya dengan KRL. Pembayaran tiket menggunakan uang elektronik sehingga data pergerakan penumpang bisa didapatkan.
Dari sisi prasarana, satu jembatan penyeberangan antarperon dibangun dan kini difungsikan sebagai akses masuk-keluar penumpang menuju Jalan Jatibaru, Tanah Abang.
Perpres No 83/2011 pun memungkinkan PT KAI bekerja sama dengan BUMD DKI dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset properti PT KAI di wilayah DKI.
Perpres yang sama juga membuka peluang dukungan pemerintah pusat dan pemda, antara lain, untuk pembangunan pelintasan tidak sebidang, penataan area di sekitar stasiun, koordinasi antarmoda angkutan, serta akses ke stasiun.
Adapun Pemprov DKI menggantikan sejumlah rute bus reguler dengan bus transjakarta. Proses ini juga tidak mudah dan beberapa kali mengalami perobakan sebelum mendapatkan model seperti saat ini. Sejumlah bus kini bisa menaik-turunkan penumpang di halte sisi kiri, seperti halnya di halte Transjakarta Tanah Abang yang berlokasi di depan Stasiun Tanah Abang.
Di luar kawasan Tanah Abang, pemakai angkutan umum punya opsi lebih banyak setelah MRT rute Lebak Bulus-Bundaran HI beroperasi 24 Maret 2019. Pada 1 Desember 2019, LRT Jakarta rute Kelapa Gading-Rawamangun mulai mengangkut penumpang.
Bus transjakarta, KRL, MRT, dan LRT Jakarta memakai uang elektronik keluaran sejumlah bank nasional sebagai tiket. Jadi, penumpang tinggal membawa satu macam uang elektronik untuk naik aneka macam angkutan umum di Jakarta itu.
Memang belum ada satu tarif bagi semua penggunaan angkutan umum di Jakarta. Perlu atau tidaknya satu tarif juga perlu dikaji lagi, mengingat jenis dan banyaknya penggunaan moda angkutan umum bagi setiap orang tentu berbeda-beda.
Dirigen antar-instansi
Kalau semua perbaikan yang disebut sebelumnya merupakan upaya setiap instansi, maka integrasi antar-institusi atau operator diyakini masih perlu ditingkatkan. Menyamakan persepsi perihal integrasi rupanya bukan perkara mudah pula.
Pada rapat koordinasi terbatas terkait infrastruktur, 13 April 2011, pemerintah pusat menyetujui pembentukan otoritas transportasi Jakarta. Otoritas ini didesain memiliki kewenangan penuh untuk mengatur seluruh moda angkutan manusia dan barang di Jabodetabek.
Dalam catatan Kompas, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, saat itu, mengatakan, kewenangan otoritas tidak hanya terbatas pada pengaturan, tetapi juga otoritas keuangan sehingga dengan demikian diyakini masalah kemacetan di Ibu Kota akan teratasi.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2015, otoritas itu diresmikan dengan nama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Tujuan mulia sekaligus berat disandang BPTJ yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan, yakni mengembangkan, mengelola, dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di Jabodetabek.
Tugas ini tidak mudah lantaran siapa pun yang ada di BPTJ bakal berhadapan dengan ”kekuasaan” pemda setempat serta operator swasta yang selama ini menyediakan layanan publik seperti bus atau angkot. Belum lagi persoalan keterbatasan kewenangan dan anggaran. Padahal, kedua elemen itu bisa membentuk mekanisme penghargaan dan hukuman (reward and punishment), yang bisa mendukung terwujudnya integrasi.
Benar saja, lima tahun berjalan, belum banyak yang terlihat di lapangan dan dirasakan warga sebagai buah dari kehadiran BPTJ selaku regulator. Padahal, peta jalan mengatasi kemacetan sudah diresmikan dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Salah satunya dengan memasukkan target pemakaian angkutan umum 60 persen dari total mobilitas warga di akhir tahun 2029.
Di luar BPTJ, ada lagi Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabek Cianjur (BKSP Jabodetabekjur). BKSP terbentuk tahun 1976 seiring dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976. Badan ini diharapkan bisa menyelaraskan kerja sama di antara daerah terkait termasuk di tata ruang yang pada ujungnya juga memudahkan penataan transportasi publik.
Rupanya, adanya badan-badan itu belum cukup menguatkan Ibu Kota dalam menekan kemacetan. Sementara menunggu inisiatif antarinstansi untuk bekerja sama ibarat menunggu godot.
”Kegemasan” melihat lalu lintas Jakarta yang begitu-begitu saja, tampaknya mendorong Presiden Joko Widodo pada 8 Januari 2019 kembali menyoal penguraian kemacetan di ibu kota negara dan daerah sekitar dalam rapat terbatas pada 8 Januari 2019. Integrasi kembali disoroti demi meningkatkan layanan transportasi massal.
Di situ, arahan Presiden membuka kemungkinan Pemprov DKI Jakarta mengelola moda transportasi di Jabodetabek. Pertimbangannya, karena DKI memiliki anggaran besar, termasuk dari sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa).
Rapat terbatas ini yang di antaranya menjadi dasar MRTJ dan KAI membentuk MITJ.
Walaupun secara kelembagaan MITJ sudah ada setahun terakhir, peran dan kerjanya masih dalam kajian sejumlah konsultan. Dalam diskusi bertajuk ”Integrasi atau Akuisisi” yang diadakan Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA, wadah para pekerja di PT KAI), Rabu (20/1/2021), Direktur Keuangan PT KAI Salusra Wijaya mengatakan, pekerjaan rumah terkait MITJ sangat banyak. Masalah hukum, misalnya, perlu diselesaikan terkait landasan hukum, kelembagaan, posisi regulator-operator, serta aturan hukum lain yang berpotensi bertentangan dengan keberadaan MITJ ini.
Subsidi untuk penumpang kereta api (public service obligation/PSO) yang diterima PT KAI juga sulit dialihkan ke MITJ yang notabene merupakan anak perusahaan BUMN/BUMD dengan tingkat kepemilikan KAI yang minoritas di situ.
”Jangan sampai yang kita lakukan melanggar aturan. Seharusnya PSO tidak bisa diberikan begitu saja ke perusahaan swasta bukan BUMN/BUMD. Jangan sampai Kementerian Perhubungan salah beri PSO ini,” katanya.
Ruwetnya persoalan yang perlu diselesaikan ini, menurut Salusra, perlu diperhitungkan dengan hasil dari integrasi antarmoda kelak.
Jangan sampai yang kita lakukan melanggar aturan. Seharusnya PSO tidak bisa diberikan begitu saja ke perusahaan swasta bukan BUMN/BUMD. Jangan sampai Kementerian Perhubungan salah beri PSO ini.
Sejumlah pengamat, yakni Agus Pambagio (lembaga konsultan PH&H), Djoko Setijowarno (Unika Soegijapranata), Darmaningtyas (Institut Transportasi Indonesia/Instan), Deddy Herlambang (Instran), dan Sudaryatmo (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI) lebih condong agar pemerintah segera menguatkan kelembagaan BPTJ sebagai regulator alias komandan transportasi di Jabodetabek. Orang yang ditempatkan di BPTJ juga harus paham betul tentang peta angkutan darat sehingga bisa segera membuat perubahan yang efektif.
Di ujung dari semua keputusan yang bakal diambil pemerintah, pemerintah pusat, BUMD, BUMN, dan pihak terkait lainnya seharusnya bermuara ke kemudahan integrasi bagi pengguna angkutan umum. Keputusan itu seyogianya buah dari pertimbangan terbaik dan terefektif tanpa mengabaikan kebutuhan perusahaan dan para pekerja sektor transportasi yang ada sekarang.