Melihat pengalaman pembatasan aktivitas di Jabodetabek, pembatasan sosial terbukti menuntut kerja sama solid antara kota induk, seperti DKI, dan kota-kota tetangganya. Hal serupa penting diterapkan di kota-kota lain.
Oleh
M. Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat Jawa-Bali tentu sangat diharapkan bakal efektif menekan persebaran Covid19. Belajar dari kawasan Jabodetabek, kunci penting keberhasilan ada pada pembatasan serentak antara kota induk dan kota penyangga.
Mulai 11 Januari lalu, pemerintah pusat melakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM secara serentak di beberapa kabupaten/kota di Jawa-Bali. Pembatasan kegiatan yang diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2021 tersebut mengatur pembatasan perkantoran dengan menerapkan 75 persen bekerja dari rumah, pembelajaran secara daring, pembatasan operasionalisasi pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00, serta pembatasan kapasitas tempat ibadah sebesar 50 persen.
Pemerintah pusat dan daerah melalui gubernur dan bupati/wali kota menyatakan, bagi daerah yang tidak termasuk dalam daftar wajib PPKM tetap harus mengikuti protokol kesehatan atau, dalam kata lain, turut melakukan pembatasan kegiatan.
Saat kasus di Jakarta melandai selama PSBB kedua, kasus di Bodebek terus meningkat. Pada saat yang sama, Bodebek juga melaksanakan PSBB dengan konsistensi penegakan aturan yang lemah.
Pengalaman menunjukkan, kebijakan pembatasan serentak antara kota-kota besar dan kota penyangga menjadi penentu keberhasilan. Contoh nyata adalah pengalaman pembatasan sosial di DKI Jakarta yang dikelilingi Bodetabek.
Kecenderungan perkembangan kota besar di Indonesia akan menjalar ke kota-kota sekitarnya. Fenomena urban sprawl ini penduduk bermukim di wilayah hinterland, tetapi bekerja di kota induk. Akibatnya, mobilitas antarwilayah tak terhindarkan, yang saat pandemi ini berkontribusi pada penyebaran Covid19.
Seperti dari catatan BPS, dari 29 juta penduduk Jabodetabek, 11 persennya merupakan komuter. Juga dengan penduduk di kawasan Surabaya Raya, yang hampir 5 persennya melakukan mobilitas harian lintas wilayah.
PSBB awal
Kebijakan pembatasan ketat yang diputuskan pemerintah pusat tersebut pernah dilakukan Pemprov DKI, disusul PSBB di Tangerang Raya dan Bodebek.
Belajar, bekerja, dan beribadah dilakukan di rumah. Selain itu, berkerumun di fasilitas publik dan mobilitas transportasi umum dibatasi sementara. Pusat perbelanjaan beroperasi terbatas, restoran hanya membuka layanan tanpa turun atau dibawa pulang, obyek wisata dan hiburan pun dilarang beroperasi.
Kebijakan PSBB pada April hingga Juni sedikit banyak mengerem laju peningkatan kasus. Meski ada kecenderungan kenaikan angka kasus positif. Seperti di Jakarta, seminggu setelah penerapan kebijakan tersebut, laju kasus positif menjadi 23,5 persen dari sebelumnya yang sempat 111 persen. Bahkan, lajunya sempat minus pada periode 18 April hingga 22 Mei.
Hal yang sama terjadi kawasan Bodebek. Misal di Kabupaten Bogor pada periode 25 April-1 Mei, pertumbuhannya minus 65,2 persen. Juga di Kota Depok yang kasusnya sempat menurun hingga 91 persen saat awal penerapan PSBB.
Adanya pembatasan aktivitas di luar rumah membuat mobilitas di rumah meningkat. Pada periode tersebut, tercatat dalam Google Mobility Index, rata-rata 23 persen di Jakarta, 18 persen di Jawa Barat sebagai gambaran Bodebek dan 20 persen di Banten, representasi Tangerang Raya. Sebaliknya pergerakan di perkantoran menurun hingga 47 persen di Jakarta, 36 persen di Banten dan Jawa Barat.
Rem darurat
Akan tetapi, nyatanya kasus Covid-19 kembali melonjak setelah masyarakat mengadaptasi kebiasaan baru di awal Juni. Saat itu pun bertepatan dengan liburan panjang 15-17 Agustus dan 20-23 Agustus. Kasus Covid-19 di Ibu Kota kembali rata-rata meningkat hingga 20 persen. Di Bodebek naik lebih dari 30 persen.
Selanjutnya, DKI Jakarta kembali menerapkan pembatasan ketat yang disebut PSBB kedua (14 September-11 Oktober). Jakarta berhasil mengurangi kasus harian. Kasus melandai dan cenderung menurun rata-rata 6,5 persen per minggu. Bahkan, setelah pembatasan selesai, kasus masih menurun selama tiga minggu.
Akan tetapi, saat kasus di Jakarta melandai selama PSBB kedua, kasus di Bodebek terus meningkat. Pada saat yang sama, Bodebek juga melaksanakan PSBB dengan konsistensi penegakan aturan yang lemah. Restoran dan pusat perbelanjaan tetap buka. Obyek wisata dan taman juga tetap dibuka untuk publik.
Alhasil, beberapa warga Jakarta memilih untuk mengunjungi restoran, taman, atau obyek wisata di luar Jakarta dan memilih menikmatinya di kawasan Bodetabek. Hal itu terlihat persentase mobilitas masyarakat Jakarta di rumah lebih tinggi ketimbang masyarakat Banten dan Jawa Barat. Dari data Google Mobility Index, 14 September-11 Oktober, rata-rata pergerakan masyarakat Jakarta tercatat 16 persen. Adapun Banten 14 persen dan Jabar 13 persen.
Sebaliknya, rata-rata mobilitas di kawasan rekreasi dan ritel Jakarta berkurang hingga 41 persen. Namun, di Banten dan Jabar hanya berkurang sekitar 20 persen. Juga dengan pergerakan di taman. Pergerakan taman di Jakarta berkurang hingga 71 persen. Sebaliknya, di Banten dan Jabar, ada beberapa hari yang tingkat mobilitas di taman-taman kota meningkat hingga 10 persen.
Melihat pengalaman pembatasan aktivitas di Jabodetabek, tidaklah berlebihan jika pembatasan sosial menuntut kerja sama solid antara kota induk, seperti DKI Jakarta, dengan kota-kota penyangganya. Hal serupa penting dilakukan di sejumlah kota besar lain, misalnya Semarang, Bandung, Surabaya. Jika hal tersebut dilakukan kompak dan dibarengi dengan kedisplinan protokol kesehatan masyarakat, laju kasus akan menurun.