Warga Lebih Butuh Keseriusan daripada Mengganti Istilah Penanganan
Mendekati satu tahun pandemi di Indonesia, belum ada tanda-tanda persoalan ini mereda. Warga menginginkan keseriusan semua pihak, bukan sekadar mengganti istilah penanganan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga menginginkan ketegasan dan keseriusan pemerintah untuk memperketat pembatasan sosial. Apa pun nama kebijakannya, mereka ingin program ini dapat benar-benar dijalankan. Pembatasan sosial yang selama ini berjalan dianggap warga belum efektif.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan kegiatan masyarakat atau pengetatan pembatasan sosial berskala besar dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 pada Rabu (6/1/2021). Instruksi itu ditujukan kepada semua kepala daerah, secara khusus kepada Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Instruksi tersebut, antara lain, mengatur pembatasan di perkantoran dengan menerapkan 75 persen bekerja dari rumah, pembelajaran secara daring, pembatasan operasional pusat perbelanjaan hingga pukul 19.00, dan pembatasan kapasitas tempat ibadah sebesar 50 persen.
Sebagian warga pesimistis terhadap pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang akan berlangsung pada 11 Januari hingga 25 Januari. Penyebabnya, melihat beragam pembatasan sosial yang telah berjalan tidak efektif.
Menurut San (29), karyawan swasta di Jakarta Pusat, pembatasan sosial tidak efektif karena berjalan setengah-setengah di lapangan. Dampaknya, pekerjaan tidak maksimal hingga pemasukan terganggu.
”Lebih baik sekalian lockdown dalam rentang waktu tertentu ketimbang ubah-ubah nama, tetapi tidak maksimal. Warga tidak boleh berkerumun, tetapi boleh jalan-jalan keluar kota dan liburan. Hasilnya kasus malah naik,” kata San, Jumat (8/1/2021).
Penambahan kasus positif Covid-19 pada Kamis (7/1/2021) mencapai 9.321 dalam sehari dan merupakan rekor tertinggi. Penambahan berasal dari pemeriksaan terhadap 44.791 orang sehingga rasio kasus kepositifan (positivity rate) mencapai 20 persen.
Jumlah kasus aktif per kemarin mencapai 114.766 orang dengan suspek 68.753 orang. Sementara rasio kasus kepositifan dalam sepekan mencapai 22,9 persen atau dari 5 orang yang diperiksa ada 1 yang positif.
Sepengamatan San ketika beraktivitas di ruang publik, warga terbiasa dengan longgarnya pembatasan sosial. Tidak heran banyak orang tak mengenakan masker, posisinya tidak tepat menutup area hidung dan mulut, jalan-jalan keluar kota, dan berkerumun.
Fisena Hardiyanto (29), warga Grogol, Jakarta Barat, menahan diri untuk tidak bepergian atau kongko di kafe dan pusat perbelanjaan. Situasi pandemi Covid-19 belum terkendali menjadi sebabnya. ”Situasi masih labil (turun-naik kasus positif). Tetapi miris juga lihat lini masa orang jalan-jalan, ramai-ramai, dan berkerumun,” kata Fisena.
Menurut dia, pembatasan sosial apa pun istilahnya harus tegas dan serius. Dengan demikian, warga sungguh-sungguh menjalankan protokol kesehatan dan tahu risiko pandemi Covid-19. Bukan sebaliknya, menjalankan pembatasan sosial tanpa protokol kesehatan.
”Percuma memperpanjang, tetapi tidak efektif. Banyak orang jenuh dan lelah sehingga sulit menahan diri untuk tidak keluar rumah,” ujarnya.
Secara spesifik, Instruksi Menteri Dalam Negeri itu diperuntukkan bagi bupati/wali kota di wilayah prioritas, meliputi Jabodetabek, Bandung Raya, Cimahi, Semarang Raya, Banyumas Raya, Solo Raya, Surabaya Raya, Malang Raya, Denpasar, Badung, serta lima kabupaten/kota di Yogyakarta.
Pembatasan mobilitas
Pegiat sosial pesimistis PPKM akan efektif tanpa pembatasan mobilitas antarkota/antarprovinsi. Firdza Radiany, pegiat sosial dari Pandemic Talks, menyebutkan, PPKM menjadi istilah pengganti pembatasan sosial. Akan tetapi, yang diatur hanya pembatasan kerumunan masyarakat.
”Idealnya pembatasan mobilitas diatur antarprovinsi, antarkota, dan antarkecamatan. Selama mobilitas tidak ditekan sanpai 80 persen, istilah-istilah pembatasan sosial yang banyak itu hanya jadi kebijakan pandemi setengah hati,” ucap Firdza.
Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan 3T (pelacakan, pemeriksaan, dan perawatan), penegakan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), menutup sementara mobilitas antarwilayah untuk aktivitas non-esensial.
Sementara itu, Dicky Pelupessy, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengharapkan adanya ketegasan dan penegakan pembatasan sosial terlepas apa pun nama kebijakannya. Dua hal itu, menurut dia, memainkan peran penting untuk membentuk persepsi warga terhadap risiko Covid-19.
”Gonta-ganti istilah menimbulkan tanya di benak warga dan kebingungan kebijakan mana yang berlaku. Mereka sudah lelah sepuluh bulan pandemi ini bisa jadi semakin tidak peduli karena tidak sanggup atau malas mengolah informasi,” kata Dicky.
Dicky, dalam riset persepsi risiko bersama Laporcovid-19, tahun lalu, menangkap penantian warga akan ketegasan terhadap pembatasan sosial di lapangan. Warga ingin aksi nyata bukan semata istilah supaya pandemi terkendali.
”Warga ingin ketegasan dan sanksi. Kalau hanya istilah, justru semakin tidak peduli karena tidak ada artinya,” ujarnya.