Wabah Covid-19 belum juga mereda. Gereja pun hadir mewujudkan misi kasih. Meskipun berisiko terpapar, kalangan umat terjun menjadi sukarelawan gugus tugas.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Sudah 10 bulan, Hendri (44), warga Duren Sawit, Jakarta Timur, bertugas sebagai anggota Gugus Tugas Covid-19 Paroki Duren Sawit. Dia juga merangkap tugas yang sama di tingkat rukun warga.
Selama kurun waktu itu, aktivitasnya bertambah. Hendri memastikan protokol kesehatan di lingkungan gereja dan tempat tinggal, mendata umat atau warga yang terpapar, berkomunikasi dengan perangkat daerah dan layanan kesehatan, dan mengurus penyaluran bantuan sosial.
Semua tadi berawal dari temuan kasus warga positif Covid-19 di Duren Sawit. Temuan kasus amat mengagetkan warga. Namun, kasus juga menumbuhkan stigma.
Warga memandang sesama yang terjangkit atau positif Covid-19 layaknya sampah. Mereka menolak kehadiran warga terpapar di lingkungan.
Hendri miris melihat situasi itu. Dia tak bisa diam karena stigma dan penolakan seharusnya tidak perlu terjadi.
Komunikasi dengan pemuka gereja berkembang menjadi diskusi-diskusi. Dalam pembicaraan, hampir selalu ada penekanan jika di antara warga tidak terhindari kemunculan stigma. Meski begitu, umat tak bisa menutup mata atau membiarkan.
Ada suatu diskusi dengan pastor yang sampai membuat Hendri terkesan. Isi pembicaraan dimaksud, antara lain, bagaimana kehadiran Gereja Katolik di tengah masyarakat dalam situasi wabah Covid-19. Gereja perlu hadir sebagai penguatan untuk bersama-sama dengan umat melewati masa sulit.
Berdoa supaya virus hilang harus dibarengi dengan melakukan sesuatu, seperti menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin.
Hendri mengingat salah satu diskusi yang berkesan dengan pastor. Isinya tentang kehadiran Gereja Katolik di tengah masyarakat sebagai penguatan untuk bersama-sama melewati masa sulit.
Hendri menyadari pepatah ora et labora (berdoa dan bekerja). Wabah tidak bisa hilang dengan doa semata, tetapi memerlukan kerja yang keras dan cerdas. Bahkan, tidak jelas sampai kapan wabah yang telah menjadi pandemi global ini mereda dan terkendali.
Hendri merasa amat bersyukur karena inisiatif untuk terjun menangani wabah Covid-19 mendapat dukungan tidak sedikit dari umat. Padahal, mereka menyadari risiko tinggi terpapar karena Covid-19 amat cepat menular. Bahkan, dampak mematikan.
Mengutip laman resmi https://covid19.go.id/, wabah Covid-19 sejak Maret sampai kini, Selasa (22/12/2020), telah menjangkiti 678.125 jiwa warga. Wabah mengakibatkan kematian 20.257 jiwa. Jakarta masih terdepan sebagai episentrum atau provinsi dengan paparan terparah se-Indonesia.
Meski demikian, inisiatif Hendri tetap mendapat dukungan, yang terutama dari Keuskupan Agung Jakarta yang membentuk tim gugus kendali di tingkat paroki. Dari sini, para sukarelawan dari kalangan umat dapat melebur ke dalam gugus kendali paroki.
Dukungan dari luar datang dan mulai mengalir. Gugus tugas mendapat bantuan sosial, antara lain, dari Keuskupan Ketapang dan Nahdlatul Ulama.
Dukungan menguatkan dan meneguhkan hati para sukarelawan dalam gugus tugas. Mereka ingat dengan pesan seorang pastor.
Kalau semua masuk ke kandang, siapa yang melakukan ini (sukarelawan)? Harus ada orang yang melakukan (sukarelawan) sembari mematuhi protokol secara ketat dan juga berdoa.
Setidaknya 15 sukarelawan Paroki Duren Sawit terjun sebagai anggota gugus tugas. Untuk itu, mereka tes usap atau tes cepat di tempat kerja masing-masing dan tes mandiri secara rutin. Tes penting untuk memastikan situasi kesehatan sukarelawan agar tidak menjadi penular.
Selama sepuluh bulan berjalan, setidaknya ada satu pelajaran berharga yang dipetik oleh Hendri. Disadari bahwa mereka yang terjangkit bukan sekadar membutuhkan dukungan berupa dana. Jauh dari soal duit, pasien yang adalah sesama memerlukan dukungan berupa penguatan. Dalam bentuk terkecil, yang sakit perlu disapa.
Situasi wabah Covid-19 belum juga mereda mengetuk relung terdalam Yohana Teodosia Setu (30) untuk menjadi perawat.
Tekad Yohana sudah mantap dan bulat meninggalkan tanah kelahiran di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Yohana berangkat ke Ibu Kota untuk menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat.
Yohana tidak menampik kecemasan ibunda yang sempat tidak setuju karena khawatir bahaya paparan wabah Covid-19. Namun, Yohana berhasil meyakinkan ibunda. Ia percaya hidup dan mati berada pada Empunya Kehidupan.
Sejak April atau sebulan setelah pengumuman wabah menyerang Indonesia, Yohana memulai tugas. Ia ditempatkan di rawat inap Tower 6 dan bagian perawatan pasien dengan komorbid atau sakit bawaan. Jam tugas amat padat.
Bagi saya, hidup dan mati di tangan Tuhan. Mau di Kupang atau di Jakarta sama saja kalau sudah kehendak Tuhan. Tidak apa-apa dengan risiko karena sudah panggilan jiwa untuk membantu.
Yohana menepis jauh rasa gundah gulana. Ia memandang tugas sebagai bagian dari ibadah. Selain itu, berbagi sukacita dan semangat dengan merawat sesama.
Salah satu pasien di Wisma Atlet selalu mendoakan dan menyemangati Yohana. Pasien ini berasal dari luar daerah, berbeda keyakinan dengannya, dan dalam kondisi tak berdaya.
”Saya penganut Kristen, tetapi didoakan oleh pasien beragama lain. Saya pantang pulang sebelum korona tumbang,” kata Yohana.