Tidak semua bangku angkot di Jakarta kosong untuk memberi jarak antarpenumpang. Selama ada penumpang, sopir pun terus memenuhi angkotnya, semata demi menambah pendapatan yang tiris di masa pandemi Covid-19.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Penumpang keluar dari mikrolet yang melanggar batas maksimum jumlah penumpang angkutan umum di kawasan Jalan Lada, Pinangsia, Jakarta Barat, Senin (21/9/2020). Penindakan ini merupakan bagian dari pelaksanaan Operasi Yustisi Pencegahan Covid-19 dengan sasaran angkutan umum yang penumpangnya melebihi 50 persen kapasitas angkut.
Pengalaman naik angkutan umum sebulan lalu masih melekat di benak Aully Grashinta. Bukan kesan yang menyenangkan, melainkan rasa cemas yang tak kunjung sirna. Di tengah ancaman pandemi, penumpang terpaksa duduk berimpitan di bangku yang saling berhadap-hadapan.
Dosen psikologi ini bertolak dari Pasar Minggu menuju Pejaten, Jakarta Selatan. ”Nggak jauh, sih, jaraknya. Tapi, deg-degan juga karena enggak ada jarak antarpenumpang,” ujar Aully saat dihubungi pada Kamis (15/10/2020).
Aully—yang menjabat Sekretaris Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) periode 2017-2020 dari unsur pengguna jasa transportasi—prihatin dengan kondisi sebagian angkutan umum di Jakarta. Utamanya, angkutan yang masih mengandalkan setoran, belum terintegrasi dengan sistem jejaring transportasi di Jakarta. Angkutan model ini sering disebut sebagai angkutan reguler.
Kejadian bangku penuh di angkot tidak lepas dari kebutuhan pokok awak angkutan. Setoran dan hidup keluarga mereka tak dapat ditangguhkan. Padahal, di lapangan, mobilitas orang drop. Penumpang tak banyak lantaran sebagian aktivitas dialihkan ke jagat virtual.
Deretan mobil angkutan umum mikrolet parkir di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Minggu (24/8/2019).
Karena itu, manakala ada penumpang yang bisa diangkut, angkot akan tetap mengangkutnya meskipun kapasitas tempat duduk sudah melewati batas yang ditentukan pemerintah. Pintu angkot pun tetap terbuka semisal ada penumpang yang tak bermasker. Di titik ini, protokol kesehatan seakan belum terangkut di angkutan reguler.
Kebutuhan awak angkutan umum untuk memenuhi dua kebutuhan pokoknya itu acap kali mengorbankan hak penumpang atas keselamatan dan kesehatan. Pengalaman Aully adalah contoh atas perbedaan prioritas awak angkutan dengan penumpang.
”Sejak awal, awak angkutan berada di posisi tawar yang lemah. Enggak ada yang melindungi. Mereka enggak punya jaminan pendapatan. Hari ini narik, bisa saja besok diganti orang lain. Enggak ada juga kontrak kerja dengan pemilik kendaraan. Di masa pandemi Covid-19 ini, tiada pula yang melindungi kesehatan mereka. Bangku penuh di angkot itu pun terjadi,” papar Aully.
Kebutuhan awak angkutan umum untuk memenuhi dua kebutuhan pokoknya itu acap kali mengorbankan hak penumpang atas keselamatan dan kesehatan. Pengalaman Aully adalah contoh atas perbedaan prioritas awak angkutan dengan penumpang.
Upaya integrasi
Upaya pemerintah bukannya tidak ada. Di awal beroperasinya bus transjakarta, operator-operator bus besar di Jakarta diikutsertakan. Sekitar tahun 2017, Pemprov DKI mulai merangkul bus kecil, seperti mikrolet dan KWK, dalam sistem Transjakarta. Nama yang disematkan di integrasi ini semula OK-OTrip lalu berganti Jaklingko.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Angkot JakLingko melintas di Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengupayakan perluasan layanan angkutan umum yang mengintegasikan berbagai moda.
Bus sedang, seperti metromini dan Kopaja, juga ikut diintegrasikan di sistem Transjakarta. Bus sedang berwarna oranye yang melaju sekarang adalah wajah integrasi itu.
Sebagian angkutan sudah masuk sistem, tetapi banyak pula yang mental. Persoalannya beragam. Sebut saja kuota ideal jumlah angkutan umum yang di bawah angkutan yang kini mengaspal. Juga aneka persyaratan, seperti usia kendaraan dan kelengkapan pengemudi, yang belum selalu bisa dipenuhi pemilik kendaraan.
”Ini tidak mudah. Perlu terobosan yang berani. Angkutan reguler mesti dirangkul masuk ke layanan Transjakarta. Mereka yang tidak memenuhi syarat, ya, ditinggal saja. Ini demi kebaikan semua. Awak angkutan terlindungi. Pengusaha dapat jaminan pendapatan. Penumpang terjamin keselamatan dan keamanan selama perjalanan,” tutur Aully.
Sejumlah angkutan kota Koperasi Wahana Kalpika (KWK) berada di Terminal Grogol, Jakarta Barat, Rabu (10/6/2020).
Kesadaran untuk memenuhi kebutuhan penumpang juga tumbuh di benak operator angkutan umum. Salah satunya Mayasari Bakti. Sejak beberapa waktu lalu, bus hijau Mayasari Bakti tidak lagi mengaspal di jalur dalam kota Ibu Kota. Bus ini beralih menjadi Transjabodetabek. Yang di dalam kota tersisa bus-bus yang tergabung dengan operator PT Transportasi Jakarta.
Daryono, Koordinator Operasional Mayasari Bakti, menyampaikan, ada sejumlah alasan penghentian bus besar ini. Merosotnya jumlah penumpang, sementara tarif stagnan adalah salah satunya. Di sisi lain, Mayasari Bakti juga sudah bergabung dengan sistem Transjakarta. Penggabungan ini juga mensyaratkan pengurangan jumlah bus reguler.
Kehadiran pemerintah memang terasa bagi pengusaha dan awak angkutan dengan adanya sistem transjakarta. Ringkasnya, pemerintah membeli layanan angkutan umum yang disediakan operator lewat sistem ini.
Awak bus tidak lagi dikejar-kejar setoran karena digaji bulanan. Pelayanan ke penumpang bisa sesuai standar. Pengusaha bus juga dapat jaminan pengembalian investasi bus yang sudah dikeluarkan karena investasi ini termasuk dalam perhitungan harga layanan yang dibeli pemerintah. ”Waktu webinar dengan pemerintah, saya minta pemerintah hadir untuk meringankan operasional angkutan umum,” katanya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Bus Transjakarta melintas di proyek pembangunan Halte Transjakarta Senen, Jakarta Pusat, Minggu (23/8/2020).
Tidak terlindungi
Sebaliknya, bus reguler yang masih dioperasikan Mayasari Bakti di luar sistem transjakarta mencatat minimnya perlindungan atas awak angkutan.
Kondektur disebut Daryono sebagai pihak yang paling berisiko dari sisi kesehatan pada masa pandemi ini. Kondekturlah yang bersinggungan langsung dengan penumpang bus, terutama saat mengutip tarif bus dari setiap penumpang. Pembayaran tunai juga membuat kondektur bolak-balik bersentuhan dengan uang—kertas maupun logam—dari penumpang. Apabila ada yang pernah naik bus kota, pengalaman ini tentu tak asing.
”Saat ini, masih ada sekitar 200 sopir dan 200 kondektur yang mengawaki 150 bus reguler Mayasari Bakti yang beroperasi di luar Jakarta,” ucapnya.
Minimnya warga yang bepergian memakai angkutan umum juga membuat awak angkutan tertekan dari sisi ekonomi. Pendapatan yang tak menentu membuat uang yang sampai ke rumah pun tiris.
Kompas/Riza Fathoni
Bus Mayasari Bakti seenaknya berpindah dari jalur busway di Jalan Raya Jatinegara Timur, Jakarta Timur, Minggu (14/8/2018).
Haris Muhammadun, Ketua DTKJ, menyebut pemerintah dan DTKJ terus mengupayakan penggabungan angkutan reguler dalam sistem Jaklingko di Jakarta. ”Kalau angkutan umum masih di luar sistem, kami sulit mengontrolnya.”
Sebaliknya, dalam satu sistem memungkinkan tercipta transportasi berkeselamatan dan berkesehatan. ”Ini harus terus dilakukan oleh siapa pun operator angkutan umum,” tuturnya.
Kondisi ideal ini bakal menghapus kisah buruk penumpang duduk berimpitan selagi virus korona baru penyebab Covid-19 merajalela, seperti yang dialami Aully di awal cerita ini.