Pembukaan bioskop sudah dapat lampu hijau dari Pemprov DKI Jakarta di masa PSBB transisi ini. Akan tetapi, pengusaha tidak serta-merta membuka pintu studio. Pembatasan jumlah penonton jadi salah satu pertimbangannya.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panduan pembatasan sosial berskala besar transisi jilid II di Jakarta membolehkan bioskop beroperasi dengan protokol kesehatan ketat. Pengelola bioskop ada yang setuju membuka layanan, ada pula yang tidak. Sementara itu, warga Jakarta sudah tak sabar ingin menonton di bioskop.
PSBB transisi jilid II berlangsung dari 12 Oktober 2020 hingga 25 Oktober 2020. Aktivitas dalam ruangan, termasuk bioskop, boleh dilakukan. Agar dapat beroperasi, pengelola harus mengajukan persetujuan teknis kepada pemerintah.
Adapun protokol kesehatan untuk bioskop, antara lain, kapasitas dibatasi maksimal 25 persen dan jarak antartempat duduk minimal 1,5 meter. Selain itu, peserta juga dilarang pindah tempat duduk dan berlalu lalang. Pengelola tak boleh menyediakan layanan makanan dalam format prasmanan. Semua petugas juga diharuskan menggunakan pelindung wajah, masker, dan sarung tangan.
Pekerja di salah satu bank swasta di Jakarta, Afridela Syafitri (25), sudah tak sabar ingin menonton di bioskop. Selama pandemi Covid-19, dia menggunakan aplikasi layanan video on demand. Namun, menonton di layar gawai tak bisa menggantikan sepenuhnya pengalaman menonton di bioskop.
”Kan, layarnya lebih lebar, terus di bioskop biasanya menonton ramai-ramai sama teman atau sama pasangan,” katanya ketika dihubungi pada Rabu (14/10/2020) siang.
Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, Fellisitas Yessy (18), rutin ke bioskop sebelum virus korona mewabah di Indonesia. Paling tidak, sebulan sekali ia menonton di bioskop. Menurut dia, aturan protokol kesehatan di PSBB jilid II sudah aman.
”Di bioskop sebenarnya lebih aman dibanding nongkrong di kafe atau restoran. Tetapi, mungkin sensasi menontonnya akan berbeda. Biasanya masih bisa ngobrol sama orang di samping kita. Dengan aturan sekarang, sepertinya kita akan diam saja selama menonton karena jarak kursinya jauh,” ujarnya.
Warga Jakarta Selatan, Eka Mawardi (25), sedang menanti pemutaran film Story of Kale yang dibintangi Ardhito Pramono. Dia ingin menonton film ini karena sangat mengidolakan penyanyi tersebut. ”Sebenarnya bisa juga ditonton lewat layanan video on demand, tetapi, ya, beda saja rasanya dengan menonton di bioskop,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Head of Corporate Communications & Brand Management Cinema XXI Dewinta Hutagaol menyatakan, Cinema XXI belum beroperasi hingga hari ini. Dia masih menunggu arahan lebih lanjut dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. ”Setelah mendapatkannya, kami akan mempelajari regulasi tersebut lebih lanjut,” ujarnya.
Public Relations CGV Cinemas, Hariman Chalid, menjelaskan, pihaknya sudah mengajukan izin ke Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. Selanjutnya, pemerintah akan berkunjung dan meninjau CGV. Dari tinjauan itu, pemerintah memutuskan apakah izin diberikan atau tidak. Dari 68 bioskop CGV di Indonesia, 11 di antaranya berada di Jakarta.
”Kami mengikuti aturannya saja. Bila aturannya seperti itu untuk pembukaan kembali bioskop, kami akan ikuti,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menjelaskan, aturan di PSBB jilid II ditanggapi beragam oleh pengelola bioskop. Ada yang memilih tetap buka, tetapi ada pula yang tidak setuju dengan batas maksimal kapasitas 25 persen. Jejaring bioskop terbesar di Indonesia Cinema XXI, misalnya, termasuk yang tidak setuju dengan batas maksimal 25 persen tersebut. ”XXI maunya 50 persen,” ujarnya.
Djonny juga terkejut dengan penerapan batasan maksimal 25 persen itu. Batasan itu dibuat tanpa ada konsultasi dengan GPBSI. Padahal, dalam aturan pembukaan bioskop sebelumnya, kapasitas penonton maksimal 50 persen. ”Kami terkejut, kok, angkanya jadi turun menjadi 25 persen. Kami sudah minta ke gubernur supaya dinaikkan lagi menjadi 50 persen,” tambahnya.
Menurut dia, aturan protokol kesehatan dengan penerapan batas maksimal penonton 25 persen dari kapasitas tak akan berjalan. Sebab, aturan itu tak disetujui oleh penyedia film, terutama film nasional.
”Perfilman nasional kita sudah jelas tidak mau bila dibatasi 25 persen. Kalau 50 persen masih oke. Kalau 25 persen, mereka sudah menyatakan tak akan kasih film. Terus nanti akan memutar film apa?” tanyanya.