Angka kasus positif di Jakarta dan sekitarnya terus naik. Penerapan PSBB transisi di DKI diikuti makin longgarnya kebijakan di daerah tetangga menekan optimisme pengendalian wabah di Jabodetabek.
Oleh
Stefanus Ato/Laraswati Ariadne Anwar/I Gusti Agung Bagus Angga Putra/Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta memang melandai pada periode medio September hingga awal Oktober. Meskipun belum bisa dibilang rendah juga karena tren peningkatan kasus positif adalah 22 persen. Pada awal September tren peningkatan kasusnya 32 persen. Hal ini menjadi salah satu alasan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar transisi di Ibu Kota.
Pada Senin (12/10/2020), data dari Corona.jakarta.go.id, ada penambahan 1.168 kasus di Jakarta sehingga total ada 88.174 kasus positif. Selain itu ada penambahan 21 orang meninggal dan total 1.922 kasus meninggal. Angka kesembuhan 72.633 kasus.
Penambahan kasus juga terjadi di Kota Bekasi, Jawa Barat, data Satuan Tugas Covid-19 setempat pada Senin, menunjukkan akumulasi kasus Covid-19 di daerah itu mencapai 4.917 kasus. Dari jumlah tersebut, 4.045 kasus sembuh, 133 kasus meninggal, dan 739 kasus masih dirawat atau isolasi mandiri. Akumulasi kasus Covid-19 di Kota Bekasi pada Selasa (6/10) sebanyak 4.001 kasus. Artinya, selama enam hari terakhir ada penambahan 916 kasus baru.
Selain lonjakan kasus, angka kepositifan di Kota Bekasi juga tinggi, yaitu mencapai 13,75 persen. Presentasi itu jauh lebih tinggi daripada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 persen.
Pada saat kasus Covid-19 masih terus melonjak, kebijakan pembatasan jam operasional aktivitas usaha pada malam hari sampai pukul 18.00 yang didasarkan pada Maklumat Wali Kota Bekasi kini tak lagi diperpanjang.
”Kami kemarin melakukan (pembatasan jam operasional 2-9 September) selama seminggu, tidak banyak perubahan. Hal ini karena kami terus melakukan pelacakan dan pengendalian di daerah-daerah yang dianggap terjadi penularan secara masif,” kata Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, di Bekasi, Senin.
Penambahan kasus dan longgarnya penerapan pembatasan turut dilaporkan terjadi di Tangerang Selatan, Banten. Kasus terkonfirmasi Covid-19 di Kota Tangsel selama sepekan terakhir, 5-12 Oktober 2020, berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Tangsel, rata-rata ada penambahan 20 kasus per hari.
Kenaikan kasus secara drastis di Tangsel ini terjadi tiga pekan setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat pada 14 September 2020. Saat itu, Pemkot Tangsel tidak mengikuti langkah DKI Jakarta yang mengetatkan PSBB.
Kontraproduktif
Pelonggaran PSBB menjadi masa transisi dinilai sejumlah pengamat membawa penanganan penularan Covid-19 di Ibu Kota ke arah yang kian pesimistis. Apalagi, adanya unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Karya mempertinggi risiko jumlah kasus positif baru.
”Sekali lagi tidak tampak ada kajian perilaku manusia selama masa PSBB dengan pengetatan ataupun PSBB transisi fase pertama,” kata Rakhmat Wijayanto, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta.
Menurut Rakhmat, ketidakpedulian warga terhadap protokol kesehatan merupakan kendala utama dalam pengendalian pandemi Covid-19. Hal seperti memakai masker dan menjaga jarak dari bulan Maret hingga Oktober masih terus sukar dicapai secara komprehensif. Kembalinya PSBB transisi ini akan membuat masyarakat berpikir bahwa segala kegiatan bisa kembali seperti seolah tidak ada pengendalian.
Menurut dia, kehadiran pemerintah harus kentara selama PSBB transisi. Dalam hal ini adalah aturan mengenai protokol kesehatan, pengawasan, penindakan yang tegas, dan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat. Pada PSBB transisi pada bulan Agustus elemen-elemen ini sempat nyaris menghilang sehingga jumlah kasus positif meningkat.
”Namun, idealnya justru untuk dua pekan ke depan kami melaksanakan PSBB ketat. Apalagi, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tengah mengalami peristiwa unjuk rasa besar-besaran yang berarti tidak ada jaga jarak serta risiko penularan virus korona besar sekali,” kata Rakhmat.
Penurunan angka kematian dinilai juga tidak tepat dijadikan landasan membuat kebijakan. ”Percuma jika angka kematian menurun, tetapi angka orang terinfeksi Covid-19 tetap meningkat,” kata Rakhmat.
Pelonggaran PSBB Jakarta juga dikhawatirkan mengacaukan situasi di wilayah Bodetabek. Langkah-langkah di wilayah tetangga Ibu Kota itu masih berkembang dan dalam tahap penyelarasan dengan Jakarta. Akan tetapi, dengan Jakarta tiba-tiba memutuskan melakukan PSBB transisi, upaya yang masih prematur ini rontok. Sinergi pengendalian Covid-19 berbasis wilayah Jabodetabek akan mundur.
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Fadjar Thufail tetap mengemukakan penerapan kebijakan berbasis peta watak dan perilaku masyarakat adalah keniscayaan. Kegiatan ekonomi merupakan turunan dari budaya serta perilaku sosial sehingga segala aspek dalam PSBB harus dilihat secara komprehensif.
”Sudah jelas ada kejenuhan di masyarakat dan ada ketegangan sosial akibat berkurang drastisnya kegiatan ekonomi. Isu penolakan RUU Ciptaker akhirnya memicu masyarakat untuk keluar rumah dan beraktivitas tanpa memedulikan rambu kesehatan,” katanya.
Pemastian kedisiplinan tidak hanya pada tempat-tempat formal, seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan transportasi umum, tetapi juga pada lingkungan informal. Ia mengingatkan bahwa mental masyarakat Indonesia pada dasarnya akan mengikuti aturan apabila penegakan hukumnya jelas.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menjelaskan, untuk antisipasi lonjakan kasus Covid-19, Dinkes DKI memastikan kini total ada 90-an rumah sakit rujukan. Selain itu, DKI berkomitmen menambah tempat isolasi mandiri dan tenaga kesehatan hingga 1.000-an orang lagi.
Meskipun demikian, Widyastuti menegaskan penerapan disiplin individu dalam menerapkan protokol kesehatan berperan vital dalam PSBB transisi ini. Untuk itu, penegakan aturan dan pengendalian di lapangan tetap dilakukan.